Tiga Roh Penjaga datang dengan membawa sejumlah misteri. Dari medali, koin, lonceng misterius, sampai lukisan dirinya dengan mata ungu menyala, semuanya memiliki rahasia yang mengungkap kejadian masa lalu dan masa depan. Yang lebih penting, panggilan dari Kaisar Naga yang mengharuskan Chen Li menjalankan misi yang berkaitan dengan pengorbanan nyawa, sekaligus memperkenalkan peluang rumit tentang kondisi Mata Dewanya.
Dengan ditemani dua murid, mampukah Chen Li memecahkan misteri tersebut, sekaligus menyelesaikan misi dari Kaisar Naga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmat Kurniawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch. 1 ~ Pagi Yang Berdarah
Matahari belum mencapai puncak langit ketika Chen Li menyelesaikan pertarungannya. Pedang panjangnya yang bernama Kesetiaan Bulan masih bergetar di tangannya, meneteskan darah segar yang membentuk genangan kecil di tanah berdebu.
Setiap tetes yang jatuh mengeluarkan suara plink yang nyaris tak terdengar, menambah kesunyian yang tiba-tiba menyergap hutan kecil itu.
Di sekelilingnya, puluhan perampok berserakan dalam posisi yang tidak wajar, tidak ada yang benar-benar utuh. Salah satu dari mereka, seorang pria muda yang mungkin belum genap dua puluh tahun, masih menggelepar perlahan. Tangannya yang penuh luka mencengkram tanah, mencoba merangkak menjauh.
Chen Li mengamatinya dengan mata yang tak berkedip. Matanya berwarna ungu keemasan menangkap aliran energi terakhir yang perlahan meninggalkan tubuh pemuda itu. Dia menghela napas, lalu dengan gerakan cepat yang hampir tak terlihat, ujung pedangnya menyentuh belakang leher pemuda itu, mengakhiri penderitaannya dengan cepat dan tanpa rasa sakit.
"Tuan Chen!"
Suara anak kecil itu memecah kesunyian. Xiao Lan, putri kepala desa yang baru berumur 13 tahun, berdiri gemetar di balik pohon ara, wajahnya pucat seperti kertas. Jari-jari mungilnya mencengkram erat kulit pohon yang kasar, sampai kukunya yang kotor berwarna kecoklatan. "Ibu... Ibu menyuruhku memanggil Tuan. Makan siang sudah siap."
Chen Li menghela napas panjang, mengusap keringat yang bercampur debu di dahinya dengan lengan bajunya yang sudah robek di beberapa tempat.
"Katakan padanya aku akan datang sebentar lagi," jawabnya sambil membersihkan pedangnya dengan sehelai kain dari saku dalam jubahnya. Kain itu sebenarnya terlalu bagus untuk membersihkan pedang, sebuah saputangan sutra dengan sulaman bunga sakura yang diberikan oleh seorang gadis di kota sebelah bulan lalu. Tapi Chen Li bukanlah orang yang sentimental terhadap benda-benda semacam itu.
Dia berlutut di samping mayat pemimpin perampok, seorang pria bertubuh besar dengan otot-otot yang masih terlihat jelas meski sudah tak bernyawa. Di lengan kirinya, tato naga hitam dengan mata merah menyala terlihat jelas dengan ekor yang melingkar sampai ke pergelangan tangan. Chen Li mengerutkan kening.
Tato itu familiar—terlalu familiar. Simbol dari Gerombolan Naga Hitam yang seharusnya sudah dia basmi sebulan lalu di kota sebelah. Dia sudah membakar habis markas mereka bahkan menggantung kepala pemimpin mereka di gerbang kota. Namun, tato ini jelas adalah lambang dari anggota kelompok itu.
"Mereka berkembang lebih cepat dari yang kukira," pikirnya sambil membalikkan tubuh mayat itu dengan kaki kanannya. Bau anyir darah segar dan kotoran yang keluar dari tubuh yang sudah tak bernyawa itu memenuhi hidungnya, tapi dia sudah terlalu terbiasa dengan bau semacam itu.
Tangannya yang bersarung tangan kulit hitam menggeledah saku jubah mayat itu dengan gerakan terampil. Di saku dalam, jarinya menyentuh sesuatu yang dingin dan keras, sebuah medali perunggu bergambar gerbang surga dengan detail yang sangat halus.
Chen Li memutar-mutar medali itu di antara jarinya. Di bawah sinar matahari, dia bisa melihat tulisan kecil yang terukir di bagian belakangnya, Gerbang menuju Langit Ketiga. Sesuatu di dalam dadanya berdesir, sebuah ingatan samar yang mencoba muncul tapi tak bisa ditangkap. Mata Dewanya bereaksi terhadap benda itu, memberikan sensasi hangat yang aneh di balik matanya.
"Barang ini sangat langka untuk sekelompok perampok desa. Mengapa ini bisa dimiliki olehnya?"
Dia mengangkat pandangannya ke arah timur, ke arah pegunungan yang membentang di kejauhan. Beberapa hari perjalanan dari sana terletak kota terdekat dengan kuil kuno. Mungkin di sana dia bisa menemukan jawaban tentang arti medali ini.
"Tuan Chen..." Xiao Lan masih berdiri di sana, suaranya kecil dan ragu-ragu. "A-apakah mereka... apakah mereka akan datang lagi?"
Chen Li berdiri, menyelipkan medali itu ke dalam saku dalam jubahnya. Dia memandang anak kecil itu dengan ekspresi yang tiba-tiba menjadi lebih lembut. "Tidak, Xiao Lan. Mereka tidak akan mengganggu desa kita lagi."
Dia berjalan mendekati anak itu, lalu tiba-tiba berhenti. Di tanah, di antara jejak kaki yang berantakan, ada sesuatu yang mengkilat. Sebuah koin perak dengan lubang di tengahnya, tergores simbol yang sama dengan tato di lengan mayat tadi.
Chen Li memungutnya dengan cepat, menyembunyikannya di telapak tangannya. Entah mengapa tiba-tiba saja timbul gejolak dalam hatinya, sesuatu mengatakan bahwa hari ini mungkin adalah hari terakhir ketenangannya di desa kecil ini.
Chen Li memandang koin perak di telapak tangannya dengan tatapan tajam. Sinar matahari yang menembus dedaunan membuat simbol naga hitam di permukaan koin itu seolah hidup, matanya yang merah menyala seperti mengikuti gerakannya.
"Tuan Chen?" Xiao Lan menarik ujung jubahnya, wajah polosnya penuh keheranan melihat ekspresi Chen Li yang tiba-tiba berubah. "Ada apa?"
Dia dengan cepat mengepalkan tangan, menyembunyikan koin itu. "Tidak ada, Lan-er. Mari kita pulang."
Sepanjang jalan kembali ke desa, punggung Chen Li terasa berat. Koin dan medali perunggu di sakunya seperti bara api yang membakar pahanya. Gerombolan Naga Hitam seharusnya sudah musnah. Dia sendiri yang memastikannya, menyisir setiap sudut markas mereka, membunuh setiap anggota yang mencoba melarikan diri.
Kecuali satu.
Kenangan itu menyergapnya seperti tamparan. Malam terakhir di markas Naga Hitam, ketika api sudah mulai memakan bangunan kayu. Seorang anak muda, mungkin baru berumur belasan tahun, berlutut di hadapannya dengan mata penuh ketakutan dan kebencian.
"Kau akan membunuhku juga, Pembunuh?" suara itu masih jelas di telinganya.
Chen Li mengangkat pedangnya, tapi tiba-tiba ragu. Mata anak itu... ada sesuatu yang aneh. Pupilnya yang hitam pekat tiba-tiba berubah menjadi ungu, persis seperti Mata Dewanya sendiri.
Dan dalam sekejap, anak itu menghilang.
"Tuan Chen! Lihat!" Xiao Lan tiba-tiba menarik lengannya, memutus alur pikirannya.
Di depan gerbang desa, tiga orang asing berpakaian jubah hitam sedang berbicara dengan kepala desa. Salah satu dari mereka memegang gulungan kertas yang nampaknya adalah gambar seseorang.
Chen Li segera menarik Xiao Lan ke balik pohon besar. "Pulang lewat jalan belakang," bisiknya. "Jangan bilang siapa-siapa kalau kau melihatku."
Xiao Lan tidak mengerti arah perkataan Chen Li. Namun dia tetap mengangguk dan menyetujuinya.
Dia mengamati dari kejauhan saat ketiga orang asing itu menunjukkan gambar kepada kepala desa. Bahkan dari jarak beberapa meter, penglihatannya yang tajam bisa melihat dengan jelas, itu adalah gambarnya sendiri.
Namun ada yang salah dengan gambar itu...
Salah satu pria jubah hitam mengangkat tangannya, menunjukkan sesuatu yang membuat kepala desa mengangguk cepat. Di pergelangan tangan pria itu, tergantung sebuah liontin perak berbentuk naga - persis seperti yang dikenakan pemimpin Naga Hitam yang dia bunuh sebulan lalu.
Chen Li merasakan Mata Dewanya berdenyut panas, sebuah pertanda bahaya yang belum pernah dia rasakan sejak pertempuran terakhirnya di Istana Naga Langit beberapa tahun silam.
Dia mundur perlahan ke balik pepohonan, pikirannya berputar cepat. Medali perunggu, koin perak, dan sekarang 3 pemburu bayaran. Semua ini terlalu terhubung untuk menjadi kebetulan.
Di kejauhan, awan hitam mulai berkumpul di atas puncak gunung, membentuk pola yang aneh - seperti cakar naga raksasa sedang mencengkeram langit. Chen Li tahu ini bukan sekadar pertanda hujan.
"Gerbang menuju Langit Ketiga?" gumamnya sambil meraba medali di sakunya. Mungkin sudah waktunya untuk mengunjungi kuil tua di pegunungan itu.
Tapi pertama-tama, dia harus memastikan desa ini aman. Chen Li menghela pedangnya, merasakan beratnya yang familiar di genggaman. Malam ini akan panjang, dan darah mungkin akan mengalir lagi.
Dia berbalik berniat menyusup ke desa dari arah belakang. Namun, niat itu segera terhenti kala 3 sosok berpakaian hitam itu tidak lagi nampak jejaknya.
"Hah? Kemana?"