Eleanor tak pernah membayangkan akan bertemu Nicholas lagi, mantan suami yang bercerai darinya tujuh belas tahun silam. Semua berawal dari pesta rekan kerja yang ia datangi demi menemani sahabat kecilnya, William. Malam yang mestinya biasa berubah kacau saat tatapannya bertemu dengan Nicholas, lelaki yang dulu pernah ia cintai habis-habisan sekaligus orang yang paling ia hindari saat ini. Pagi hari setelah pesta, Eleanor menemukan dirinya terbangun tanpa pakaian di samping Nicholas. Pertemuan malam itu membawa hubungan baru dalam hidup keduanya. Apalagi setelah Nicholas dikejutkan dengan keberadaan remaja berusia enam belas tahun di rumah Eleanor.
Bagaimana takdir akan membawa hubungan mantan suami istri itu kembali? Atau justru Eleanor akan menemukan cinta yang baru dari seorang berondong yang sudah lama mengejar cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menekan Elio
Elio menyeka meja terakhir ketika manajer cafe tempatnya bekerja, Laurent, mendekat dengan wajah tegang.
“Elio… ada masalah.”
Elio menatapnya, masih memegang kain lap. “Masalah apa?”
Laurent menghela napas. “Pemilik gedung baru saja menghubungi. Mereka ingin menghentikan sewa kafe. Katanya ada perubahan kebijakan properti.”
Elio mengerutkan kening. “Kapan?”
“Minggu depan.”
“Tidak mungkin… kita masih punya kontrak enam bulan.”
Laurent menyerahkan surat di tangannya. Di bagian bawah tercetak jelas tanda tangan pemilik baru, Nicholas Armand.
Elio menatap surat itu, darahnya seperti berhenti mengalir.
“Apa ini lelucon?”
Laurent menggeleng, wajahnya penuh dengan penyesalan. Elio remaja dengan perilaku baik dan rajin, sedikit berat untuk melepaskannya. “Aku tidak tahu siapa orang itu, tapi dia baru saja membeli bangunan ini kemarin.”
Elio melangkah mundur, suaranya pelan namun tajam, “Dia tahu aku bekerja di sini.”
Laurent tidak menjawab.
Malamnya, di kantor pribadi Nicholas, Pierre berdiri di depan jendela sementara tuannya menuang wine ke gelas kristal.
“William Duval sudah kehilangan semua kontrak. Elio dikeluarkan dari kafenya, beasiswanya juga dibatalkan dari yayasan yang kita danai,” lapor Pierre.
Nicholas mengangguk pelan. “Bagus.”
Pierre menatapnya lama. “Dan kalau Madame Eleanor tahu semua ini, Tuan?”
Nicholas meneguk winenya, menatap pantulan dirinya di kaca jendela yang memantulkan lampu kota Paris.
“Justru itu tujuan kita, Pieree. Aku pastikan dia akan mendatangikut sendiri tanpa paksaan.”
Suara hujan tipis menampar kaca jendela apartemen William. Secangkir kopi hangat menemani malamnya kali ini. Sesekali ia mengacak rambutnya kasar, Nicholas Armand menggunakan kuasanya untuk menekan Eleanor dari berbagai sisi. William tidak keberatan kehilangan pekerjaan dan galerinya untuk Eleanor. Ia adalah satu-satunya orang yang membuatnya merasa berharga di dunia ini. William duduk di ujung meja, kepala menunduk di antara kedua tangan ketika suara langkah terburu-buru terdengar dari teras.
Pintu terbuka keras.
“Elio.”
Pemuda itu berdiri di ambang pintu, jaketnya basah dan rambutnya acak-acakan. Tak jauh berbeda dengan keadaannya saat ini. Matanya merah, bukan karena tangis tapi karena amarah.
“Kau tahu siapa yang melakukan ini, kan?” suaranya parau, tapi tajam.
William menatapnya, bingung. “Apa maksudmu, Elio?”
“Beasiswaku dicabut, kafe tempatku bekerja ditutup tiba-tiba. Dan aku tahu siapa yang membeli gedung itu. Kau juga tahu kan, Uncle?”
William berdiri pelan, suaranya rendah dan tenang. “Duduk dulu, Elio. Biar aku jelaskan…”
“Jangan suruh aku duduk, Uncle!” Elio membentak, suara kursi bergeser keras di lantai. “Kita tidak bisa diam saja sementara orang itu menghancurkan hidup kita satu per satu!”
“Elio…”
“Aku tahu dia juga pasti menghancurkanmu, Uncle. Kenapa kau diam, hah? Kenapa kau membiarkan dia melakukan hal yang sama padamu! Apa kau takut padanya?!”
William menghela napas panjang, lalu berkata dengan nada pelan tapi tegas, “Aku tahu siapa dia dan apa yang dia bisa lakukan, Elio.”
Elio menatapnya dengan mata menyala. “Aku juga tahu, tapi aku tidak peduli.” Ia mengambil napas dalam. “Kau tahu kenapa? Karena aku sudah muak jadi korban dari seseorang yang bahkan tak pernah kukenal sebelumnya.”
William berjalan mendekat, menahan bahunya. “Kau tidak tahu siapa yang sedang kau hadapi. Dia bukan orang biasa, Elio.”
Elio menepis tangan itu kasar. “Aku tidak peduli dia siapa. Kalau dia mau menghancurkan hidupku dan ibuku, aku akan menemuinya dan menghajarnya dengan tanganku.”
William hampir berteriak, “Kau pikir dia akan diam saja ketika kau menghajarnya?! Dia bahkan bisa menutup sekolahmu hanya dengan satu panggilan, Elio!”
Elio membalas cepat, “Kalau dia bisa, biar dia lakukan sekalian!” Ia meraih jaketnya lagi, menatap William dengan kemarahan yang berubah jadi getir. “Aku cuma mau tahu satu hal, Uncle. Kenapa semua orang harus selalu menunduk padanya? Karena uangnya? Karena namanya? Karena ketakutan seperti yang kau punya?”
William menutup matanya sesaat. Ia paham Elio hanyalah remaja yang masih kesulitan dalam mengontrol emosinya. “Elio, dengarkan aku,” suaranya hampir bergetar. “Kau tidak paham, orang itu… dia bukan orang biasa. Dia terbiasa membuat dunia tunduk. Kalau kau melawannya, dia tidak hanya menghancurkan hidupmu, dia akan membuatmu percaya bahwa kau memang pantas dihancurkan.”
Elio memandangnya lama lalu tersenyum tipis, senyum yang mengandung kebencian.
“Jika pun aku harus hancur,” katanya lirih, “aku bersumpah tidak mengizinkan dia yang memutuskan kehancuranku, Uncle.”
Ia melangkah cepat ke pintu keluar.
“Elio, jangan pergi,” kata William cepat. “Kau mau ke mana?”
Elio menatapnya singkat. “Aku mau melihat sejauh apa kekuasaan itu bisa menatap balik kalau kita tidak menunduk.”
Lalu ia pergi tanpa menghiraukan panggilan William.
William berdecak keras, menatap hujan yang makin deras. Tangannya gemetar saat meraih ponsel. Ia menekan satu nomor dengan terburu-buru seolah dikejar waktu. Nada sambung berbunyi lama sekali…
“Sial, Eleanor. Tolong angkat!” ia menekan tombol call sekali lagi.
Tak butuh waktu lama suara lembut terdengar di ujung sana.
“Will, maafkan aku. Aku baru saja…”
“Eleanor,” William memotong ucapannya dengan cepat. Suaranya serak dan tergesa. “Eleanor, dengarkan aku baik-baik. Elio datang padaku. Dia marah karena beasiswanya dicabut, dia juga dipecat dari cafe tempatnya bekerja part time. Dan… dia juga tahu ini ulah Nicholas.”
Keheningan sejenak memenuhi sambungan telepon.
Eleanor menegakkan tubuh, suaranya langsung berubah cemas dan terbata. “Apa?”
“Elio pergi… aku yakin dia mau menemuinya langsung.”
Eleanor berdiri, selimut jatuh dari bahunya. “Kau biarkan dia pergi sendiri?”
“Dia tidak mau mendengarkanku, Ele. Aku sudah coba…”
Suara Eleanor pecah, “Ya Tuhan, Will… dia tidak tahu siapa yang sedang dia datangi.” Suara napasnya memberat, seperti orang berlari tanpa bergerak.
Di seberang sana, William berkata lirih, “Aku tahu, Ele. Itu yang kutakutkan.”
Eleanor tidak menjawab, namun langkah kaki yang menjauh di tengah hujan dan suara pintu taksi yang menutup keras terdengar di Seberang sana.
Elio menatap keluar jendela di dalam taxi, lampu-lampu Paris melintas di wajahnya seperti garis-garis luka cahaya. Ia menggenggam ponselnya erat, tapi tidak menelepon siapa pun.
Sopir menatap dari kaca spion. “Ke mana, anak muda?”
Elio menjawab tanpa ragu, matanya menatap jauh ke arah gedung tinggi yang menjulang di kejauhan.
“Armand Tower.”
Hujan turun lebih deras. Kilat menyambar dari langit seolah menandai pertemuan yang tidak akan bisa diurungkan lagi.
Taxi yang ia tumpangi berhenti di depan menara kaca yang menjulang seperti bilah es di jantung kota. Lampu-lampu putih memantul di jalan basah, sementara air hujan menetes dari kap mobil, jatuh di genangan yang berkilau seperti cermin.
“Sudah sampai, Monsieur,” kata sopir.
Elio mengangguk tanpa bicara. Ia membuka pintu, langkah sepatunya langsung tenggelam dalam air hujan. Udara malam langsung menusuk, ketika ia menginjakkan kaki kedua kalinya di tempat ini. Armand Tower berdiri dingin dan sempurna, fasad logam dan kaca, bendera-bendera kecil di depan pintu berderak pelan diterpa angin. Dua penjaga keamanan di bawah naungan lampu neon menatapnya dari jauh.
kesian banget 😭
Zao Ming yg mana?🤔