Maksud hati merayakan bridal shower sebagai pelepasan masa lajang bersama teman-temannya menjelang hari pernikahan, Aruni justru terjebak dalam jurang petaka.
Cita-citanya untuk menjalani mahligai impian bersama pria mapan dan dewasa yang telah dipilihkan kedua orang tuanya musnah pasca melewati malam panjang bersama Rajendra, calon adik ipar sekaligus presiden mahasiswa yang tak lebih dari sampah di matanya.
.
.
"Kamu boleh meminta apapun, kecuali perceraian, Aruni." ~ Rajendra Baihaqi
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20 - Sedikit Perhatian
Mata Aruni membulat sempurna, seenteng itu Rajendra menyebutnya istriku sementara dia bahkan sampai berbisik tatkala membahas tentang Rajendra bersama Daddy-nya.
"Kamu ngomong apasih?" Masih dengan kekhawatiran yang begitu mendominasi, Aruni melirik kanan kiri dan memastikan bahwa memang sepi.
Kekhawatirannya dapat Rajendra tangkap dengan jelas, dan baginya sungguh lucu sekali. "Aku tadi tanya, kamu ngapain di sini? Tumben."
Kembali Rajendra mengulangi pertanyaannya, tapi memang meralat kalimat yang dia lontarkan lewat lisannya.
Tanpa sedikit pun perasaan takut yang tergambar dalam diri Rajendra, pria itu tampak santai bahkan kian mengikis jarak di antara mereka.
Sebaliknya, Aruni justru ketar-ketir dan khawatir sampai kebersamaan mereka tertangkap oleh beberapa pasang mata yang mungkin saja sengaja mengawasi mereka.
Terlebih lagi saat ini Rajendra tengah hangat-hangatnya menjadi topik pembicaraan. Kabar kandasnya hubungan pria itu dengan Agnes, Kadita dan juga Kirana sudah tersebar di mana-mana.
Mengingat status mereka di kalangan mahasiswa cukup dikenal, sama-sama populer hingga berita semacam itu menjadi amat menarik untuk diperbincangkan.
Dan, berhubung Aruni enggan terseret dan berakhir menjadi topik pembicaraan juga, tanpa pikir panjang Aruni berlalu meninggalkan Rajendra begitu saja.
Begitu panjang dia melangkah, dan tujuan utama melarikan diri adalah perpustakaan untuk sementara.
Hendak ke kelas percuma, mata kuliah Pak Anas baru saja di mulai dan hendak ke kantin juga belum waktunya.
Aruni benar-benar tidak terbiasa meninggalkan jam pelajaran dengan berleha-leha. Karena itulah dia sedikit bingung ketika mengalaminya secara tidak sengaja.
Namun, begitu di perpustakaan pun Aruni bingung buku apa yang harus dia baca. Dia muak membaca buku yang berhubungan dengan bidang keilmuannya, sesekali Aruni ingin mengganti bahan bacaan.
Dan, pilihannya jatuh pada sebuah buku yang cukup menarik dari sampul beserta judulnya, tapi ternyata cukup tinggi dan tidak semudah itu bagi Aruni untuk meraihnya.
"Ck, yang naro siapa sih? Kenapa harus setinggi it-" Ucapannya terhenti, Aruni terdiam tatkala pria bertubuh jangkung yang berdiri tepat di belakangnya meraih buku itu dengan mudah.
Setelahnya, dia memberikan buku itu untuk Aruni sembari mengulas senyum tipis. "Kalau sekiranya tidak bisa, sesekali minta tolong itu tidak masalah."
"Thanks, tadi memang mau minta tolong sama yang lain ... keburu kamu ambilin," balas Aruni menerima pemberian Rajendra dengan sedikit kasar.
Sudah tentu dia memperlihatkan gelagat bahwa tidak suka diikuti sampai ke perpustakaan oleh sang suami.
Sengaja Aruni duduk menyendiri dan berlagak pura-pura membaca buku tersebut. Namun, tak disangka Rajendra ikut mendekat hingga berhasil meraih atensi Aruni.
"Kamu ngapain sih ke sini?"
"Kenapa memangnya? Bukankah ini fasilitas kampus yang boleh dinikmati seluruh mahasiswa?" Rajendra balik bertanya dan kian membuat Aruni murka.
Sebelum menjawab, dia menghela napas panjang lebih dulu. "Iya betul, ini memang fasilitas kampus, tapi tolong jangan nikmati di dekatku ... cari tempat lain sana," ucap Aruni berusaha mengusir Rajendra dengan alasan yang lagi-lagi sama, khawatir ketahuan oleh mantan pacar Rajendra.
Namun, di luar dugaan pria itu bisa menerka apa yang ditakutkan sang istri. Sembari tertawa pelan, pria itu kemudian berucap. "Santai saja, mereka bertiga tidak pernah masuk ke perpustakaan ... mana mungkin keberadaan kita ditemukan."
"Ih, nyebelin banget sih? Sekalipun perpustakaan bukan habitat mereka tetap saja ada antek-anteknya, Rajendra!!" desis Aruni penuh penekanan, dari raut wajahnya bisa dipastikan bahwa pikiran Aruni begitu runyam.
Rajendra tak begitu menanggapi kegelisahan Aruni dengan kata-kata. Akan tetapi, dia langsung bertindak dengan menggunakan hodie berwarna hitam dan juga menutup kepalanya.
Dengan penampilan seperti itu, memang cukup sulit untuk Rajendra dikenali. "Ini lagi, kamu ngapain sebenarnya?"
"Bawel, aku mau tidur ... tolong bangunkan satu jam lagi ya," ucapnya kemudian dengan begitu lancang menarik tas Aruni untuk dijadikan bantal.
Seketika itu, Aruni mengerjap pelan lantaran tak habis pikir dengan tingkah suaminya sendiri.
"Dasar aneh, apa maunya sih makhluk ini?" Aruni bergumam pelan, tapi masih bisa terdengar dengan jelas oleh Rajendra yang kini benar-benar terpejam.
.
.
"Kak ... Kak bangun."
Sesuai permintaan, tepat satu jam atau beberapa menit sebelum mata kuliah keduanya dimulai, Aruni membangunkan Rajendra.
Beberapa kali dia coba, dan di luar dugaan pria itu terlelap sungguhan, sama sekali tidak bercanda.
Bahkan, ketika terjaga, begitu jelas mata Rajendra terlihat memerah dan suaranya begitu serak ketika bertanya. "Jam berapa?"
"Nih, sesuai permintaan 'kan?"
Rajendra mengangguk kecil, permintaannya benar-benar Aruni ikuti, tidak meleset sama sekali. "Thanks ... aku mau rapat, kamu tetap di sini atau ...."
"Aku ada kelas setelah ini," ucap Aruni cepat.
Meski tak begitu yakin apa yang akan diucapkan sang suami, tapi dia yakin betul bahwa Rajendra akan menawarinya untuk ikut dapat rapat aneh itu.
Ya, bagi Aruni yang bukan anak organisasi jelas saja kegiatan Rajendra aneh. Sibuknya mengalahkan para pejabat, seolah sepenting itu padahal kalau sudah bersatu lebih banyak bercanda.
Begitu yang Aruni ketahui, dan di sisi lain dunia mereka hanya tentang hal-hal tak penting.
"Oh, baiklah kalau begitu ... nanti pulang jam berapa?"
"Mungkin jam tiga, bisa jadi jam empat," jawab Aruni seadanya, karena memang jelas begitu adanya.
"Sama berarti, aku juga pulang jam segitu."
Aruni tidak bertanya, tapi Rajendra menjelaskan dan hal itu sejenak Aruni tanggapi dengan helaan napas panjang.
Untuk pertama kalinya, dia menatap lekat mata tajam Rajendra seolah ada yang ingin dia bicarakan serius.
"Kak ...."
"Iya? Kenapa?" sahut Rajendra sehalus itu, dia mengimbangi Aruni yang entah kenapa mendadak lembut juga.
"Bertahun-tahun, kayaknya kegiatan kamu begitu melulu?"
"Begitu? Begitu gimana?"
"Ya begitu, rapat tanpa tahu apa faedahnya ... padahal, skripsimu itu loh, selesaikan apa susahnya?" Aruni tak peduli sekalipun pertanyaan itu cukup sensitif untuk seseorang yang tengah memperjuangkannya.
Namun, terkhusus di hadapan Rajendra dia tidak merasa salah karena memang pria itu agaknya perlu diperhatikan, juga didesak agar punya pikiran.
"Kalau tidak salah, ini sudah tahun ketujuh ... kalau lihat NIM kamu ya, itu artinya nyaris di DO, apa sampai akhir kamu akan benar-benar jadi pejabat yang tidak ada tunjangannya itu? Hem?"
Rajendra terdiam, ini adalah kali pertama dia mendapat perhatian dari seseorang tentang pendidikannya setelah dua tahun terakhir.
Setelah Bagas muak menasihatinya dua tahun lalu, baru kali ini Rajendra mendengarnya lagi dan, tanpa kebohongan hatinya merasa hangat seketika.
"Secepatnya aku bereskan, tinggal sedikit lagi kok."
"Sedikit kata siapa? Pak Rakri yang bilang kalau skripsimu stuck di landasan teori bahkan judulmu sudah basi." Tajam sekali ucapan Aruni, tapi jauh dari dalam hati Rajendra bahagia setengah mati.
"Iya, Runi iya ... mulai nanti malam aku lanjutkan."
"Bagus!! Aku pegang ucapanmu, kalau sampai cuma dianggap angin lalu, aku akan ...."
"Akan apa? Akankah kamu menghukum ku dengan memintaku tidur di sofa? Atau yang lainnya? Hem?"
.
.
- To Be Continued -
KK Desi thanks ya punya semoga KK sehat selalu🤲 di tunggu punya