Jiang Shen, seorang remaja berusia tujuh belas tahun, hidup di tengah kemiskinan bersama keluarganya yang kecil. Meski berbakat dalam jalan kultivasi, ia tidak pernah memiliki sumber daya ataupun dukungan untuk berkembang. Kehidupannya penuh tekanan, dihina karena status rendah, dan selalu dipandang remeh oleh para bangsawan muda.
Namun takdir mulai berubah ketika ia secara tak sengaja menemukan sebuah permata hijau misterius di kedalaman hutan. Benda itu ternyata menyimpan rahasia besar, membuka pintu menuju kekuatan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Sejak saat itu, langkah Jiang Shen di jalan kultivasi dimulai—sebuah jalan yang terjal, berdarah, dan dipenuhi bahaya.
Di antara dendam, pertempuran, dan persaingan dengan para genius dari keluarga besar, Jiang Shen bertekad menapaki puncak kekuatan. Dari remaja miskin yang diremehkan, ia akan membuktikan bahwa dirinya mampu mengguncang dunia kultivasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Pembagian Hadiah
Di dalam ruang pengobatan yang tenang, hanya diterangi cahaya bulan yang menembus masuk lewat celah tirai jendela, Jiang Shen dan Lin Xueyin akhirnya berbaring di ranjang masing-masing. Aroma obat-obatan masih memenuhi ruangan, samar bercampur dengan udara malam yang sejuk.
Hening cukup lama sebelum Jiang Shen tiba-tiba membuka mulut pelan, suaranya serak karena tubuhnya masih lemah.
“Menurutku … kau yang menang. Serangan terakhirmu lebih kuat dari milikku.”
Lin Xueyin yang tadinya menatap langit-langit, menoleh perlahan. Sepasang matanya yang jernih memantulkan sinar bulan, membuat wajah dinginnya tampak lembut.
“Lucu sekali … aku justru berpikir kau yang menang. Cahaya pedangmu hampir menelan teknikku. Kalau tidak ada ledakan itu, mungkin aku yang sudah terbaring di luar arena.”
Ucapan itu membuat Jiang Shen tersenyum tipis, senyumnya sederhana tapi tulus. “Berarti kita sama-sama keras kepala.”
Lin Xueyin menatapnya sejenak, lalu—untuk pertama kalinya sejak mereka saling mengenal—senyumnya merekah. Senyum itu tidak dingin, tidak angkuh, tapi murni. Sinar bulan jatuh di wajahnya, membuatnya terlihat begitu cantik, hingga Jiang Shen tanpa sadar menahan napas sepersekian detik.
Keheningan kembali turun, tapi kali ini bukan keheningan canggung. Suasana seolah hangat meski mereka berdua masih lemah.
Xueyin menutup matanya perlahan sambil bergumam, “Entah siapa pun yang menang … aku rasa aku tidak akan melupakan pertarungan itu.”
Jiang Shen memejamkan mata, rasa kantuk dan lelah mulai menenggelamkannya. “Aku juga … tidak akan lupa.”
Beberapa saat kemudian, napas keduanya terdengar teratur, saling mengiringi. Di bawah cahaya bulan yang lembut, Jiang Shen dan Lin Xueyin tertidur, meninggalkan dunia luar yang masih gaduh membicarakan mereka. Untuk sesaat, hanya ada kedamaian di antara dua jiwa muda yang baru saja saling mengakui keberadaan satu sama lain.
...
Pagi itu, cahaya mentari menembus jendela ruang pengobatan, menggantikan sinar bulan yang semalam menemani mereka. Jiang Shen dan Lin Xueyin terbangun hampir bersamaan. Rasa letih dan sakit yang sebelumnya menggerogoti tubuh mereka sudah hilang, hanya menyisakan sedikit pegal sebagai tanda pertarungan hebat yang baru mereka lewati.
Baru saja mereka selesai merapikan diri, seorang pengawal masuk dan memberi kabar,
“Jiang Shen, Nona Lin, para tetua turnamen memanggil kalian berdua. Mohon ikut dengan saya.”
Keduanya saling bertatapan sejenak, seolah bertanya lewat mata masing-masing: Ada urusan apa lagi? Tanpa banyak bicara, mereka pun mengikuti pengawal itu keluar. Jalanan kota sudah kembali ramai, tapi langkah mereka diarahkan menuju sebuah bangunan megah di pusat kota.
Begitu pintu aula besar terbuka, hawa serius langsung terasa. Di dalamnya, delapan tetua panitia turnamen sudah menunggu. Mereka duduk berderet di kursi tinggi, aura mereka menekan walaupun tidak secara sengaja. Jiang Shen dan Lin Xueyin diarahkan duduk berseberangan, masing-masing diberi secangkir teh hangat.
Tetua paling tua, berjanggut putih panjang, membuka pembicaraan.
“Kalian berdua, pemenang sejati turnamen kali ini. Hadiah sudah disiapkan, namun … kami ingin mendengar pendapat kalian sendiri terkait pembagiannya.”
Lin Xueyin menunduk hormat, sementara Jiang Shen hanya menatap lurus. Keheningan sempat menguasai ruangan sampai Jiang Shen akhirnya bicara.
“Jika boleh menyampaikan pendapat, aku tidak ingin Pil Penempa Jiwa itu.”
Kata-kata itu membuat ruangan seketika sunyi. Beberapa tetua langsung mengernyit, sementara Lin Xueyin spontan menoleh tajam.
“Apa kau sudah gila?” ucapnya, nada dingin tapi jelas menunjukkan keterkejutan. “Itu pil tingkat empat yang sangat langka. Nilainya ratusan koin emas. Tidak mungkin kau menolak begitu saja.”
Jiang Shen hanya tersenyum tipis, tidak terguncang sedikit pun oleh tatapan tajam Xueyin.
“Aku serius. Aku tidak membutuhkannya sekarang. Sebagai gantinya, berikan saja kepadaku seratus koin emas … dan satu set bahan untuk meracik Pil Awet Muda.”
Kali ini bahkan para tetua saling pandang, bingung dengan pilihan pemuda desa itu.
Salah seorang tetua akhirnya bertanya,
“Anak muda, apakah kau yakin tidak akan menyesal? Pil Penempa Jiwa bisa menjadi fondasi kuat bagi masa depanmu. Mengorbankan itu demi bahan pil tingkat rendah … sungguh keputusan yang tak masuk akal.”
Jiang Shen meneguk teh hangatnya dulu sebelum menjawab dengan suara mantap.
“Tidak perlu khawatir. Aku sudah memikirkan matang-matang. Saat ini, ibuku lebih penting bagiku. Selama dia bisa sehat dan berumur panjang, itu sudah cukup. Aku tidak akan menarik kembali kata-kataku.”
Lin Xueyin diam beberapa saat, menatap wajah Jiang Shen yang sama sekali tidak menunjukkan keraguan. Dalam hati, ia terpaksa mengakui—pemuda itu memang berbeda.
Akhirnya, tetua berjanggut putih menghela napas panjang.
“Baiklah. Kalau begitu, keputusan sudah jelas. Jiang Shen akan mendapatkan seratus koin emas dan satu set bahan Pil Awet Muda. Sedangkan Pil Penempa Jiwa akan jatuh ke tangan Nona Lin.”
Keputusan itu pun ditetapkan. Jiang Shen hanya mengangguk singkat tanpa ekspresi berlebihan, sementara Lin Xueyin menatapnya sekali lagi, seolah berusaha memahami apa yang sebenarnya ada di balik pikirannya.
...
Langkah Jiang Shen terdengar ringan saat ia keluar dari aula megah itu. Udara pagi masih sejuk, angin berhembus lembut melewati jalanan yang sudah mulai ramai. Namun, sebelum ia benar-benar melangkah jauh, suara lembut tapi tegas memanggil dari belakang.
“Jiang Shen.”
Ia menoleh. Lin Xueyin berdiri tak jauh darinya, gaun putihnya berkilau tertimpa cahaya matahari. Wajahnya seperti biasa, dingin dan tak tergoyahkan, namun matanya menyimpan sesuatu yang berbeda—rasa penasaran yang belum terjawab.
Xueyin mendekat, tatapannya menusuk dalam.
“Kenapa kau menolak Pil Penempa Jiwa itu? Bukankah itu peluang langka yang mungkin tidak akan pernah datang dua kali?”
Jiang Shen tidak menjawab langsung. Ia menatap ke langit sebentar, seolah mencari kata yang tepat, lalu kembali menatap Xueyin dengan tenang.
“Karena bagiku, ibuku jauh lebih penting daripada sekedar pil langka itu. Apa gunanya kekuatan besar jika aku harus mengorbankan kebahagiaan orang yang paling berarti bagiku?”
Kata-kata itu sederhana, tapi suaranya tegas dan penuh keyakinan.
Untuk pertama kalinya, dinginnya hati Lin Xueyin terguncang. Ia menatap Jiang Shen tanpa sadar, ada sesuatu yang bergetar halus di dadanya. Perasaan asing yang membuatnya bingung. Kenapa a… hatiku jadi begini hanya karena kalimat sederhana darinya?
Xueyin segera menunduk sedikit, mencoba menyembunyikan perubahan di wajahnya.
“…Kau benar-benar berbeda, Jiang Shen.” gumamnya pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri.
Jiang Shen hanya tersenyum tipis, lalu menunduk hormat.
“Terima kasih, Nona Lin. Aku pamit dulu. Semoga pil itu bermanfaat untukmu.”
Tepat saat itu, sebuah kereta kuda mewah berhenti di depan mereka. Lambang klan Lin yang megah terukir di sisinya. Seorang pengawal turun dan membuka pintu dengan hormat.
Xueyin melangkah masuk ke dalam kereta, tapi sebelum pintu ditutup, matanya sekali lagi mencari sosok Jiang Shen. Dari balik jendela kereta, ia menatap pemuda itu—pakaian sederhana, tubuh tegap, tapi dengan tatapan mata yang tidak bisa digambarkan dengan kata-kata.
Kereta mulai bergerak perlahan, meninggalkan Jiang Shen yang berdiri diam di jalan. Namun, Xueyin tidak bisa mengalihkan pandangannya. Dari balik kaca, ia terus menatapnya. Sejuta pertanyaan memenuhi pikirannya: Kenapa dia memilih begitu? Kenapa dia rela mengorbankan sesuatu yang begitu berharga? Dan … kenapa hatiku terasa berbeda saat melihatnya?
Kereta kuda semakin menjauh, tapi mata Xueyin tetap melekat pada sosok Jiang Shen sampai akhirnya bayangan itu hilang dari pandangannya. Ia bersandar ke kursi empuk, mencoba mengatur napas, namun debaran aneh di dadanya tidak juga mereda.
Di luar sana, Jiang Shen hanya menghela napas panjang, lalu berbalik dan melangkah pergi dengan tenang. Tidak sedikit pun ia tahu bahwa hatinya baru saja meninggalkan goresan pertama pada seorang gadis yang terkenal dingin bagai es abadi.
MC nya belom mengenal luas nya dunia karena belom berpetualang keluar tempat asal nya,hanya tinggal dikota itu saja
Jangan buat cerita MC nya mudah tergoda pada setiap wanita yg di temui seperti kebanyakan novel2 pada umum nya,cukup 1 wanita.