Tanpa perlu orang lain bicara, Aya sangat menyadari ketidaksempurnaan fisiknya.
Lima tahun lamanya, Cahaya bekerja di kota metropolitan, hari itu ia pulang karena sudah dekat dengan hari pernikahannya.
Namun, bukan kebahagiaan yang ia dapat, melainkan kesedihan kembali menghampiri hidupnya.
Ternyata, Yuda tega meninggalkan Cahaya dan menikahi gadis lain.
Seharusnya Cahaya bisa menebak hal itu jauh-jauh hari, karena orang tua Yuda sendiri kerap bersikap kejam terhadapnya, bahkan menghina ketidaksempurnaan yang ada pada dirinya.
Bagaimanakah kisah perjalanan hidup Cahaya selanjutnya?
Apakah takdir baik akhirnya menghampiri setelah begitu banyak kemalangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Tas dari bahan daur ulang
.
“Dasar pincang tidak tahu diri!”
Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang mengawasi dari kejauhan. Santi berdiri di balik tirai jendela dapur, memandang ke arah Aya dan Marcel dengan tatapan sinis.
Kebencian dan iri dengki yang selama ini terpendam dalam hatinya semakin membara melihat kedekatan Aya dan Marcel. Santi merasa tidak adil. Ia sudah bertahun-tahun mengabdi di rumah itu, namun tidak pernah mendapatkan perhatian lebih dari keluarga Dirgantara. Sementara Aya, seorang pembantu yang cacat, dengan mudahnya merebut perhatian seluruh keluarga besar.
"Cih, dasar muka dua!" gumam Santi geram, mengepalkan tangannya erat-erat. "Sok polos di depan Tuan Marcel, padahal aslinya licik!"
Santi merasa Aya hanya memanfaatkan Marcel untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Ia yakin, Aya mendekati Marcel hanya karena tuan muda itu kaya raya dan berkuasa.
“Untung yang didekati adalah tuan muda Marcel. Aku juga tidak tertarik dengan tuan muda buruk rupa itu. Kalau sampai dia juga mendekati tuan muda Marvel yang tampan, aku pasti akan membuatnya menderita!”
"Lihat saja nanti," bisiknya pelan. "Aku akan membuat semua orang membencimu, Aya.”
Santi berbalik dan meninggalkan jendela dapur dengan langkah cepat. Pikirannya dipenuhi rencana jahat untuk mencelakai Aya. Ia akan melakukan segala cara untuk menyingkirkan Aya dari rumah itu, dan merebut kembali perhatian keluarga besar Dirgantara yang seharusnya menjadi miliknya.
Sementara itu, masih di taman, keheningan menyelimuti Marcel dan Aya. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan itu, sebuah perasaan yang lebih dalam dari sekadar persahabatan.
“Ayo ke dalam! Sudah hampir gelap.” dengan dada berdebar Marcel memutuskan tatapan mereka menetralkan wajahnya dari rasa canggung lalu berdiri lebih dahulu dan menunggu cahaya mengikutinya.
Cahaya menatap sekeliling. Ternyata benar matahari hampir tenggelam. Ia pun mengangguk lalu berdiri dan mengikuti langkah tuan muda Marcel.
Malam itu, Marcel duduk termenung di kamarnya. Pikirannya dipenuhi oleh Aya. Ia tidak bisa berhenti memikirkan gadis itu, senyumnya, kebaikan hatinya, dan keteguhannya dalam menghadapi cobaan.
"Bagaimana caranya aku membendung perasaan ini?" gumam Marcel pada dirinya sendiri. " semakin hari rasanya dada ini semakin ingin meledak."
Marcel menggelengkan kepalanya, mencoba menepis pikiran itu. Ia merasa tidak pantas untuk Aya. Ia cacat, tidak sempurna. Siapa yang mau mencintai pria buruk rupa seperti dirinya?
Trauma masa lalunya kembali menghantui. Dulu, setelah dirinya mengalami kecelakaan, Selina gadis yang ia cintai, bukannya memberikan dukungan malah memutuskan pertunangan karena jijik pada wajahnya yang rusak.
Di kamar lain, Aya juga berbaring gelisah. Pikirannya dipenuhi oleh Marcel. Ia merasa nyaman dan aman di dekatnya. Marcel selalu memperlakukannya dengan hormat dan perhatian, tidak pernah memandang rendah dirinya karena keterbatasannya.
"Apa aku... menyukai tuan muda Marcel?" bisik Aya pada dirinya sendiri. "Tidak mungkin. Dia kan majikanku. Aku hanya seorang pembantu. Tidak mungkin ada perasaan lebih dari itu."
Namun, semakin ia mencoba menyangkal, semakin kuat perasaannya terhadap Marcel. Ia mulai menyadari bahwa Marcel bukan hanya sekadar majikannya, melainkan seseorang yang istimewa di hatinya.
Malam itu, dua insan yang terbaring di tempat berbeda, tengah bergulat dengan pemikiran masing-masing. Aya merasa tidak pantas untuk Marcel, karena ia hanya seorang pembantu dan memiliki keterbatasan fisik. Sementara Marcel, merasa takut ditolak oleh Aya karena ia cacat dan memiliki trauma masa lalu.
*
*
*
Hari-hari berlalu. Perlahan-lahan, Aya mulai melupakan Yudha, mantan tunangannya yang telah mengkhianatinya. kesibukannya membuatnya tak lagi berpikir tentang masa lalu yang pahit.
Hari Minggu, rumah keluarga Dirgantara terkesan sepi karena semua pembantu diizinkan berlibur. Aya yang memang tidak pergi ke manapun di hari libur, merasa bosan. Ia berkeliling rumah, mencari kegiatan yang bisa mengusir kejenuhannya.
Sampai di dapur ia mendengus kesal. “Mbak Santi selalu saja seperti ini. Kantong sampah belum dibuang tapi dia sudah pergi jalan-jalan,” gerutunya.
Namun tak urung, ia segera mengangkat kantong plastik itu dan berniat untuk membuangnya di tempat pembuangan sampah yang berada di belakang rumah.
Walaupun itu bukanlah bagian dari tugasnya. Karena tugasnya adalah merawat kebun bunga milik Nyonya Syifana dan mengurus kamar para tuan muda.
Sampai di tempat pembuangan sampah ia membuka kantongnya, dan terlihat olehnya gelas gelas plastik bekas minuman instan.
Tiba-tiba satu ide terbersit di otak pintarnya. "Kenapa tidak aku manfaatkan saja?" gumam Aya pada dirinya sendiri.
Cahaya pun urung membakar sampah itu. Ia mengumpulkan gelas-gelas plastik bekas minuman instan itu dan meletakkannya di dekat ayunan, lalu kembali ke dapur untuk mengambil gunting.
Dengan telaten, Aya menggunting bagian tepian bibir gelas-gelas itu, menciptakan potongan-potongan plastik berbentuk lingkaran kecil, lalu mencucinya supaya tidak lengket. Ia memilih warna-warna yang menarik.
Dengan menggunakan benang, Aya mulai merangkai potongan-potongan plastik itu menjadi sebuah tas, menyusunnya dengan pola yang unik, menggabungkan warna-warna cerah dan gelap untuk menciptakan kontras yang menarik.
Beberapa jam berlalu, Aya akhirnya menyelesaikan kegiatannya. Sebuah tas berbentuk persegi panjang dengan ukuran sedang, cukup untuk membawa dompet, ponsel, dan beberapa barang kecil lainnya kini ada di tangannya.
Aya tersenyum puas melihat hasil karyanya. "Lumayan juga hasilnya," gumam Aya sambil memandangi tas buatannya.
Saat Aya sedang mengagumi tas buatannya, Nyonya Syifana tiba-tiba menghampirinya. Nyonya Syifana terkejut melihat tas unik yang dipegang Aya.
"Aya, tas apa itu? Cantik sekali!" seru Nyonya Syifana dengan nada kagum.
Aya tersenyum malu. "Ini tas dari gelas plastik bekas, Nyonya. Saya iseng saja membuatnya karena bosan."
Nyonya Syifana mendekat dan mengamati tas itu dengan seksama. Ia tidak menyangka, tas secantik itu terbuat dari bahan daur ulang.
"Kamu kreatif sekali, Aya! Tas ini benar-benar unik dan menarik." seru Nyonya Syifana.
"Terima kasih atas pujiannya, Nyonya." Aya tersipu malu.
"Kamu punya bakat terpendam, Aya. Kenapa tidak kamu kembangkan saja?" saran Nyonya Syifana.
"Siapa yang mau beli, Nyonya. Saya hanya iseng saja," jawab Aya merendah.
"Jangan merendah begitu. Tas ini sangat berpotensi untuk dijual. Kamu bisa membuat tas dengan berbagai model dan warna, pasti banyak yang tertarik," kata Nyonya Syifana dengan antusias. “Nanti aku yang akan menawarkan pada teman-teman arisanku,” tambahnya.
Cahaya tertegun mendengar ucapan Nyonya Syifana. Padahal tadi ia hanya iseng untuk mengisi waktu luang.
"Saya coba pikirkan dulu, Nyonya," jawab Aya.
"Baiklah. Tapi ingat, jangan sia-siakan bakatmu, Aya. Siapa tahu, tas daur ulang buatanmu bisa menjadi bisnis yang sukses," kata Nyonya Syifana sambil tersenyum.
Malam itu, Aya tidak bisa tidur nyenyak. Ia terus memikirkan ucapan Nyonya Syifana dan teman-temannya. Ia mulai membayangkan dirinya membuat tas daur ulang dengan berbagai model dan warna, lalu menjualnya ke pasaran.
"Apa aku bisa?" gumam Aya pada dirinya sendiri.
Namun, keraguan itu segera ditepisnya. Ia teringat akan masa lalunya yang penuh dengan hinaan dan cemoohan. Ia tidak ingin terus-menerus terpuruk dalam kesedihan. Ia ingin membuktikan kepada semua orang bahwa ia juga bisa sukses, meskipun memiliki keterbatasan fisik. Apalagi ia juga tidak mungkin selamanya akan bekerja di rumah orang kaya. Pasti akan ada saatnya nanti dia ingin pulang dan hidup hanya berdua dengan ibunya.
"Aku harus mencoba!"
. cuit cuit