menjadi sukses dan kaya raya tidak menjamin kebahagiaanmu dan membuat orang yang kau cintai akan tetap di sampingmu. itulah yang di alami oleh Aldebaran, menjadi seorang CEO sukses dan kaya tidak mampu membuat istrinya tetap bersamanya, namu sebaliknya istrinya memilih berselingkuh dengan sahabat dan rekan bisnisnya. yang membuat kehidupan Aldebaran terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Di parkiran apartemen yang temaram, Aldebaran mematung di depan pintu mobilnya, memandang buket bunga lili yang tergeletak manis di kursi penumpang. Wajahnya berkerut seperti Jendral perang yang sedang memikirkan strategi pertempuran yang paling rumit.
Ia menghela nafas lalu menggaruk kepalanya sendiri, meskipun tidak gatal. "Oke, ini konyol," gumamnya. "Ini bukan bunga romantis, kan?" maksudku... Lilia itu putriku bukan gebetan. jadi kenapa rasanya seperti aku mau ngajak dia kencan?"
Dia menatap bunga itu lagi, menunggu mereka memberi solusi. "Tapi kalau aku kasih ini tanpa konteks, bagaimana kalau dia mikir aku ini tiba-tiba jadi bapak-bapak lebay yang suka drama? Ya Tuhan, aku ini Aldebaran Maximilian Blackspire! Konglomerat kaya dan tentunya masih tamfan! bukannya aktor sinetron murahan!"
Tak lama Brian tiba di parkiran apartemen dengan kecepatan tinggi menggunakan mobil perusahaan, Brian bermanuver seperti seorang pembalap yang sedang mengejar kemenangan di putaran terakhir, Brian memarkir mobil tepat di sebelah mobil Aldebaran, sampai suara kampas rem berdecit nyaring saat Brian memarkir mobil.
Aldebaran memandangnya dengan tangan terlipat di dada, tatapannya seperti seorang komandan militer yang mengawasi prajurit yang sedang latihan.
"Pak! Pak!" panggil Brian, setengah berlari menghampiri Aldebaran yang masih berdiri di sebelah mobilnya.
"Apa lagi sekarang." Gumam Aldebaran.
"Baguslah! Saya bertemu dengan anda di sini." Kata Brian, sambil menyerahkan sebuah dokumen pada Aldebaran.
Tiba-tiba Aldebaran menghujamkan tinjunya di perut Brian cukup keras untuk membuat pria muda itu membungkuk sambil memegangi perutnya dengan wajah berkerut menahan sakit.
"Hoo... Jadi begini, ya? caramu menyetir mobil perusahaan? kau tidak tahu berapa harganya? Brian! Mobil itu mobil dinasku keluar kota!! KELUAR KOTA!! Kau membuatnya seperti mobil balapan!" omel Aldebaran, sambil menunjuk kap mobilnya yang kini penuh debu.
"Tapi... Tapi Pak, ini mendesak!"
"Apanya yang mendesak?!" Kata Aldebaran, setengah marah dan setengah frustasi.
Brian dengan tangan sedikit gemetar berusaha kembali menyerahkan dokumen yang ia pegang. "I-ini, Pak... Perlu anda tandatangani."
Mata Aldebaran menyipit tajam. "Apa tidak bisa besok saja?" Geram Aldebaran. "Kalau tahu begini aku mencari sekretaris wanita saja di banding punya asisten sepertimu." Gerutu Aldebaran, lalu dengan gerakan cepat ia menyambar dokumen di tangan Brian Seperi seekor elang yang menyambar mangsanya di padang rumput.
Brian menunduk dalam mencoba menghindari tatapan maut Aldebaran. Aldebaran membuka berkas itu dan mulai membacanya dengan seksama, lalu ia merogoh pena di saku kemejanya sebelum membubuhi tandatangan di dokumen itu.
"Ya... Jika Lilia tahu anda memiliki sekretaris wanita, mungkin dia akan sering ngambek." Gumam Brian, pelan namun cukup keras untuk di dengar oleh Aldebaran.
"Apa maksudmu?" Tanya Aldebaran tajam.
"Em... Ya, kan. Ayah adalah cinta pertama putrinya." Jawab Brian. Sontak Aldebaran tersentak setalah mendengar perkataan Brian.
Aldebaran terdiam sesaat sebelum menyerahkan dokumen kembali ke tangan Brian.
"Brian!"
"Y-Ya, Pak?" Brian langsung berdiri tegak seperti pasukan yang di panggil untuk inspeksi mendadak.
"Aku butuh pendapatmu," Aldebaran menunjuk buket bunga lili dan sekotak coklat di kursi penumpang dalm mobilnya, mata Brian menyipit tampak bingung.
"Kalau kau jadi Lilia dan ayahmu tiba-tiba memberimu bunga ini, apa yang akan kau pikirkan?"
Mata Bria berkedip beberapa kali, mencoba mencerna pertanyaan yang absurd itu. "Uh... Mungkin saya berpikir, 'Kenapa ayah saya tiba-tiba menjadi romantis? Apa dia habis nonton drama Korea?'"
Aldebaran memutar matanya tampak sedikit kesal dan tidak puas dengan jawaban Brian. "Bukan itu! Maksudku, apa ini kelihatan normal? Apa ini... Ya, semacam hadiah dari seorang ayah ke putrinya?"
Brian menghela napas panjang, mencoba menahan tawanya. "Pak, dengan segala hormat, Lilia itu anak angkat Bapak, kalau Bapak kasih bunga ke dia, dia mungkin cuma bakal senang-senang saja. Maksud saya, dia remaja. Remaja itu suka di perhatikan, terutama oleh orang tua mereka." jelas Brian panjang lebar.
Aldebaran terdiam, ia terdiam cukup lama, sebelum akhirnya mengambil buket bunga lili itu dan menatapnya dengan serius. "Jadi intinya... Aku tidak perlu merasa sedang melamar, ya?"
Brian akhirnya tak bisa menahan tawanya, tawa Brian pecah di parkiran. "Hahaha... Kalau Bapak melamar Lilia, itu baru aneh."
"DIAM KAU!!" Aldebaran menyalak, tapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya. "Baiklah, aku akan memberikannya. Dengan cara normal. Ya, normal."
Namun, saat akan melangkah menuju lift, Aldebaran berhenti lagi. Ia menatap buket bunga lili dan coklat di tangannya dengan ekspresi curiga. "Tapi... Apakah ini terlalu normal? Seperti, membosankan?"
Brian hanya bisa menggeleng pelan, menyerah pada tingkah bosnya. "Hadeh... Padahal hanya hadiah untuk anaknya sendiri, tapi tingkahnya seperti orang jatuh cinta." gumam Brian.
Di dalam lift Aldebaran mencoba menenangkan pikirannya, namun bayangan Diana saat bersama Dimitri sore tadi masih menghantui Aldebaran, ia melihat betapa bahagianya Diana saat itu. "Aku harus fokus pada kehidupanku. Aku tidak bisa terus seperti ini." Batin Aldebaran berusaha meyakinkan dirinya.
Saat itu, Aldebaran mengingat kembali momen-momen manis yang sudah ia lewati bersama Lilia—putri angkatnya, meski di dalam hati ia tahu, dia menganggap gadis itu lebih dari seorang anak.
Aldebaran memandangi buket bunga lili putih yang lembut dan sekotak coklat di tangannya. Mata coklatnya yang tajam kini redup, menyiratkan keraguan yang mendalam. Bibirnya bergerak perlahan, membisikkan satu nama dengan penuh kerinduan. "Lilia..."
Lift berdenting saat pintunya terbuka di lantai apartemennya. Langkah Aldebaran terasa berat saat ia melangkah menuju pintu apartemen, seolah ada ribuan beban yang menahan langkahnya. Tangan besar dan kokohnya kini sedikit gemetar, saat menggenggam gagang pintu.
Ia berhenti di depan pintu, berdiri cukup lama. Pandangannya jatuh kelantai, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. Akhirnya, dengan satu tarikan napas dalam, ia memutar kenop pintu dan mendorongnya perlahan.
Kemudian Aldebaran menyelipkan buket bunga lili dan coklat itu di balik punggungnya. Tatapannya menyapu ruangan. Di sofa ia melihat Lilia masih menonton televisi di ruang tengah, terdengar tawa kecil dari bibir gadis itu saat melihat adengan lucu di layar televisi di hadapannya.
Aldebaran berjalan perlahan mendekati Lilia, menatap punggung mungil gadis itu. Langkahnya seperti prajurit yang akan menghadapi musuh terbesarnya. Tapi kali ini, 'musuh' itu adalah gadis remaja yang sedang duduk manis menonton televisi di sofa. Aldebaran berdehem keras—terlalu keras—hingga Lilia tersentak kaget.
"Lilia." panggil Aldebaran dengan nada berat, lebih seperti sedang memberi perintah dari pada sapaan.
Lilia menoleh dengan alis terangkat. Ia melihat Aldebaran berdiri kaku, dengan tangan di belakang punggungnya, wajahnya serius tapi... Ada sesuatu yang aneh. Seperti ia sedang menyembunyikan sesuatu.
"Ada apa, Papa? Bagaimana barangnya sudah di ambil?" Tanya Lilia, setengah bingung, setengah curiga.
"Em... Lilia... Papa..." katanya dengan suara pelan, dengan gerakan kaku ia menarik buket bunga lili besar dan sekotak coklat dari balik punggungnya. "I-ini... Ini untukmu, sa-sayang. Pa-Papa... Pa-Papa hadiahkan... Eh! Maksudku, Papa bawa hadiah! Untukmu! Ya, ya... Hadiah..." suaranya terpatah-patah, dan dan senyumnya lebih menyerupai cengiran kaku yang aneh.
Lilia memandangi bunga itu, lalu memandang Aldebaran. "Bunga? Untuk Lilia?" tanyanya, jelas terkejut.
"Iya, bukanya kau suka bunga, kan? Papa dengar kau bilang bunga lili di toko bunga kemarin cantik. Jadi... Ya... Papa beli... Untukmu," jawab Aldebaran cepat seperti anak kecil yang ketahuan mencuri kue sebelum makan malam.
Lilia menatap bunga itu lebih dekat. "Tunggu... Papa beli ini di mana? Ini masih ada Lebel diskonnya. 70 persen, loh!" kata Lilia dengan polos sambil menunjuk stiker besar di salah satu tangkai.
Aldebaran langsung panik. "Eh?! Itu... Itu bukan diskon! Itu... Strategi marketing! Biar kelihatan menarik!" jawabnya sambil mencoba mencabut lebelnya, tetapi gagal karena tangannya gemetaran.
Lilia yang mulai menahan tawa, tapi gagal. Tawa kecilnya berubah menjadi ledakan gelak tawa yang menggema di ruang tengah apartemen. Aldebaran terlihat tertawa canggung dan kaku berusaha menyembunyikan rasa malunya.
"Hahahaha! Papa serius belikan Lilia bunga diskon! Hahahaha!"
Aldebaran menunduk malu. "Yah... Papa kan cuma mau buat kau senang... Lagipula, siapa yang peduli dengan diskon? Bunga itu tetap cantik, kan?" katanya sambil mencoba menyakinkan, tapi wajahnya sudah keburu memerah seperti tomat matang.
Lilia akhirnya menghentikan tawanya dan menerima buket itu dengan senyum lebar. "terima kasih, Papa. Lilia suka sekali hadiahnya. Diskon atau tidak, ini hadiah paling lucu yang pernah Lilia terima."
Aldebaran menghela napas lega, meskipun harga dirinya sebagai seorang CEO sedikit terluka. "Lain kali aku akan pastikan label diskon itu lenyap!" gumam Aldebaran, sambil bersumpah dalam hati, lain kali ia akan memastikan semua label diskon di lepas dulu sebelum memberikan hadiah apapun.
Bersambung......
sukses buat novelnya, jangan lupa support baliknya di novel baru aku ya 🙏☺️