NovelToon NovelToon
Melting The Iced Princess

Melting The Iced Princess

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa pedesaan / Cintamanis / Cinta pada Pandangan Pertama / Cintapertama
Popularitas:11k
Nilai: 5
Nama Author: Mumu.ai

Sekuel dari Bunga dan Trauma.

Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.

Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.

Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?

follow fb author : mumuyaa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ditemani Ibu

Keesokan harinya, pagi masih menggantung dingin ketika Rian bersiap kembali ke kampung. Langit Jakarta belum sepenuhnya terang saat mobilnya sudah terparkir rapi di depan rumah Fadi.

Jelita ikut pulang bersamanya.

Bukan tanpa alasan. Kakek Doni ternyata masih harus tinggal beberapa hari lagi di Jakarta untuk mengurus beberapa hal pribadi yang tak bisa ditinggalkan. Sementara Jelita bagaimanapun juga harus kembali bekerja. Jadwal praktiknya tidak bisa ditunda, dan ia bukan tipe orang yang mudah meninggalkan tanggung jawab.

Dan tentu saja… ada Zaidan yang wajib ikut serta.

Fadi berdiri di teras rumah, tangan bersedekap di dada, menatap Rian dengan tatapan yang sulit diartikan. Bukan galak, tapi jelas protektif.

“Kamu pulang ke kampung, boleh,” ucap Fadi akhirnya. “Tapi Jelita nggak boleh berdua aja sama kamu di jalan.”

Rian mengangguk patuh. “Saya paham, Om.”

“Itu sebabnya,” lanjut Fadi sambil melirik ke arah Zaidan yang sedang menguap lebar, “adiknya ikut.”

Zaidan menatap malas ke arah papanya.

“Kamu kan lagi libur sekolah,” jawab Fadi santai, seolah itu keputusan paling logis di dunia. “Sekalian jalan-jalan. Sekalian ngawasin.”

Zaidan menghela napas panjang. “Aku ini adik, Pa. Bukan satpam.”

“Anggap aja bodyguard keluarga,” sela Bunga sambil tersenyum, mencoba mencairkan suasana.

Jelita hanya diam sejak tadi, berdiri di samping Rian. Wajahnya tenang, tapi matanya sempat melirik papanya sekilas. Ada rasa tidak enak, juga rasa paham. Ia tahu, izin ini bukan hal kecil bagi Fadi. Rasanya baru kali ini diizinkan pergi dengan pria. Ya walaupun tidak sendirian melainkan harus ditemani sang adik, tapi tetap saja ini adalah pertama kalinya Fadi mengizinkannya pergi bersama pria.

Rian sendiri berdiri dengan sikap nyaris sempurna. Tegap, sopan, dan tentu saja sedikit tegang. Ia tahu betul, perjalanan ini bukan sekadar pulang ke rumahnya, melainkan ini ujian kepercayaan.

“Jaga kakakmu,” pesan Fadi pada Zaidan.

Zaidan mengangguk asal. “Siap, Jenderal.”

“Dan kamu,” Fadi kembali menatap Rian, kali ini lebih lama. “Jaga sikap.”

Rian menunduk sedikit. “InsyaAllah, Om.”

Mobil akhirnya melaju meninggalkan halaman rumah. Jakarta perlahan menjauh, digantikan jalanan panjang yang akan membawa mereka kembali ke kampung dimana menjadi tempat semuanya bermula.

Di dalam mobil, suasana awalnya sunyi. Zaidan kembali sibuk dengan ponselnya, sesekali bersungut karena sinyal yang mulai tidak stabil. Jelita duduk di kursi belakang, menatap keluar jendela, dengan pikirannya yang entah melayang ke mana.

“Kamu capek?” tanya Rian pelan, memecah keheningan.

“Sedikit,” jawab Jelita jujur. “Tapi nggak apa-apa. Besok sudah harus kerja.”

Rian mengangguk. “Aku antar sampai rumah Kakek.”

“Hmm.”

Tidak ada tambahan kata, tapi ada rasa nyaman yang tidak perlu dijelaskan oleh Rian.

Zaidan tiba-tiba menurunkan ponselnya.

“Mas Rian,” katanya. “Aku ikut ini bukan cuma karena disuruh, ya.”

“Oh ya?” Rian melirik Zaidan yang tetap duduk di sampingnya.

“Iya. Aku juga penasaran,” lanjut Zaidan santai. “Seberapa serius sih Mas sama Kak Jelita.”

Jelita menoleh cepat. “Zaidan.”

“Apa? Aku jujur kok,” jawab adiknya tanpa merasa bersalah.

Rian tersenyum kecil. “Serius,” jawabnya singkat, tapi tegas.

Zaidan mengangguk pelan, lalu kembali ke ponselnya. “Oke. Berarti tugasku bukan ngawasin… tapi nyaksiin.”

Jelita menghela napas, kali ini diiringi senyum tipis yang tak ia sadari.

Perjalanan masih panjang. Tapi untuk pertama kalinya, arah pulang ini terasa bukan sekadar kembali, melainkan melangkah ke sesuatu yang baru.

*

*

*

Hari demi hari berlalu. Jelita dan Rian kembali menjalani aktivitas masing-masing. Kakek Doni pun telah kembali ke rumahnya di kampung setelah seluruh urusannya di Jakarta selesai.

Di rumah sakit, Jelita merasakan suasana yang nyaris normal. Nyaris karena tetap saja ada beberapa pasang mata pengunjung yang menatapnya lebih lama dari seharusnya. Tidak lagi sinis, tidak pula penuh prasangka, lebih seperti rasa ingin tahu yang belum sepenuhnya padam. Anehnya, kali ini Jelita tidak terlalu terusik.

Ia teringat pesan sang mama malam itu, sebelum ia kembali ke kampung.

“Nggak usah diambil pusing, nggak usah dipikirin. Kamu pasti akan terus jadi perhatian orang-orang. Apalagi kalau nantinya kamu menerima Rian. Dia lurah, dan mungkin suatu saat nanti akan naik jabatan jadi kepala daerah yang lebih tinggi. Anggap aja sekarang ini latihan mental.”

Pesan itu terus terngiang dan menjadi penguat langkahnya. Jelita belajar berdiri tegak, menata wajah setenang mungkin seperti biasa, dan menjalani hari tanpa membiarkan bisik-bisik orang lain menentukan nilai dirinya.

Sampai hari ini, Jelita memang belum memberikan jawaban pasti atas ungkapan perasaan Rian. Namun satu hal jelas, ia juga tidak menolak kehadiran pria itu.

Rian hampir selalu datang setiap pagi. Mengantar Jelita ke rumah sakit, meski mereka harus menggunakan dua motor berbeda demi menjaga jarak pandangan warga. Sesekali, Rian juga mengirimkan makan siang untuknya, yang ironisnya sering kali baru disentuh Jelita menjelang sore karena terlalu sibuk.

Hal-hal kecil itu tidak luput dari perhatian orang-orang sekitar.

Gosip lama tentang Jelita yang dituduh menjadi orang ketiga dalam hubungan halu Nadya dan Rian perlahan padam. Berganti arah. Kini warga lebih sering membicarakan Rian yang ‘sudah memilih’, dan Jelita yang ‘kelihatannya akan jadi Bu Lurah’. Obrolan warga memang tidak pernah benar-benar berhenti. Hanya topiknya saja yang berganti. Dan justru itulah yang membuat Bu Sri mulai merasa khawatir.

Suatu sore, saat Rian pulang lebih awal dan mendapati ibunya tengah menyiangi sayur di dapur, Bu Sri menatap putranya lama. Tatapan seorang ibu yang terlalu mengenal anaknya.

“Kamu kok kelihatannya santai banget, Mas?” tanya Bu Sri tiba-tiba.

Rian menoleh. “Santai gimana, Bu?”

“Itu lho,” Bu Sri menghela napas kecil. “Gosip di luar sana makin ke mana-mana. Sekarang orang-orang bukan cuma ngomongin Jelita, tapi juga ngomongin kamu. Lurah muda, sering antar-jemput gadis cantik. Kalau nggak kamu ikat dengan jelas, nanti malah jadi bahan omongan yang nggak-nggak lagi.”

Rian terdiam.

“Kamu serius sama Jelita, kan?” lanjut Bu Sri, suaranya kali ini lebih lembut tapi menusuk.

“Iya, Bu. Dua rius ini,” jawab Rian tanpa ragu.

“Kalau gitu jangan digantung terlalu lama,” kata Bu Sri tegas. “Kebetulan orang tuanya Jelita sekarang lagi di kampung, kan? Katanya mau jemput Zaidan yang liburan di sini.”

Rian mendongak. “Ibu tahu dari mana?”

“Dari ibu-ibu pengajian,” jawab Bu Sri santai. “Informasi mereka itu cepat, Mas.”

Rian tersenyum kecil, lalu kembali serius.

“Ibu cuma nggak mau kamu dan Jelita jadi korban omongan orang lagi,” lanjut Bu Sri. “Datang baik-baik. Niatkan melamar. Biar jelas arahmu, jelas juga posisi Jelita.”

Rian menarik napas dalam. Jantungnya berdegup lebih kencang.

“Kalau kamu ragu, wajar,” tambah Bu Sri sambil menepuk lengan putranya. “Tapi jangan sampai keraguanmu malah melukai perempuan yang kamu suka.”

Rian menunduk sesaat, lalu mengangguk mantap.

“Iya, Bu,” ujarnya pelan namun penuh tekad. “Kalau mereka sudah di kampung… Rian akan datang. Dengan niat baik.”

Bu Sri tersenyum lega.

“Akan ibu temani.”

****

Temans, author mau tanya nih.

entah kenapa pembaca makin hari makin nurun. Kalau misalnya belum habis cerita Jelita, tapi author langsung up cerita baru tentang Zaidan, boleh nggak ya???

Kasih author saran dooong...

1
😇😇
banyak banget alasan dan dan 🤣🤣
😇😇
dipanasin thor biar cair wkwkwkw
Supryatin 123
lnjut thor 💪 💪
Supryatin 123
lnjut thor 💪💪
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
cieeeeee.... mau.lihat cemburu nya papa fadi saat jelita nemplok melulu sama rian...🤣🤣🤣🤣
Esther Lestari
terharu baca part ini.
Jelita begitu disayangi oleh keluarga Bunga.
Gak sabar menunggu hari pernikahan Jelita dan Rian
Supryatin 123
🤭🤭🤭 mulai luluh tu lnjut thor 💪💪
Esther Lestari
Harimau betina nya kalau lagi ngamuk bahaya ya Zaidan🤭
Lyana
wkwkwkwk bisa ae remaja tanggung
Esther Lestari
Fadi sudah rela nih anak gadis ada yang meminta.
Bahagia banget pak lurah😄
Yanti Gunawan
please lah mbok yo d banyakin thor 😍
Hary Nengsih
lom akad jangan kawin dulu😄
Supryatin 123
otw nikah nich.siapin amplop donk.lnjut Thor 💪💪
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
heh nikah bambang bukan kawin lu kata jelita anak kucing,, emang sih dulu si fadi kucing garong...🤣🤣🤣
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
fadi said,,, atit hati papa dek,, diduakan sama si lurah sableng..🤣🤣🤣🤣
dramatisasi si fadi dan mama bunga cuma bisa tepok jidat....🤣🤣🤣🤣
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈
mosokkk...... winginane wae ngamuk ngamuk🤣🤣🤣
NNPAPALE🦈🦈🦈🦈: masaaaaaakkk.... kemarin aja marah marah..🤣🤣🤣🤣
total 2 replies
Supryatin 123
lnjut thor 💪💪
Esther Lestari
Semoga bu Sri bisa menerima masa lalu Jelita dan menjadikan Jelita menantunya
Supryatin 123
lnjut kan donk Thor Ampe hbis baru lnjut Laen ya lnjut thor 💪💪
mumu: siip kak 👍👍 makasih sudah setia ya 🥰🥰
total 1 replies
Hary Nengsih
lanjut jelita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!