Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.
Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berubah Perlahan
Akhir-akhir ini cuaca tidak menentu. Semalam tiba-tiba hujan deras, tapi pagi ini matahari muncul dengan teriknya. Luna duduk di bangku dekat jendela, menunggu Damian datang membawa perlengkapan fisioterapi.
Di seberangnya, Orion sudah siap dengan alat bantu berdirinya.
“Sudah siap?” tanya Luna pelan.
Orion hanya mendengus kecil. “Aku nggak pernah siap.”
“Tapi kamu selalu datang,” balas Luna lembut.
Ia tersenyum samar, dan kalimat sederhana itu membuat Orion tidak membalas lagi.
Sesi terapi berlangsung lebih tenang dari sebelumnya. Orion berhasil berdiri lebih lama, meski keringat membasahi kening dan nadinya berdetak cepat. Luna berdiri di sisinya, tidak membantu terlalu banyak, hanya menjaga agar ia tahu ada seseorang di sana.
Sesekali Luna berbisik lirih, memuji Orion yang hebat. Sebentar lagi menghela nafas berat saat Orion nyaris terjatuh. Komentar-komentar spontan Luna, terdengar seperti respon komentator acara olahraga.
“Aku bisa sendiri,” kata Orion, nada suaranya setengah menolak, setengah butuh diyakinkan.
“Aku tahu,” jawab Luna tenang. “Tapi kamu udah gak sendiri sekarang."
Orion menatapnya sekilas.
Kata itu "udah gak sendiri sekarang" terasa sederhana, tapi berarti. Dia tak membalas, hanya melanjutkan langkah kecilnya dengan alat bantu.
Damian memperhatikan dari jauh. dia melihat ekspresi di wajah Orion bukan sekadar fokus, tapi juga sesuatu yang lain. Sesuatu yang bahkan Orion sendiri tidak sadari.
Setelah terapi selesai, mereka bertiga duduk di sudut ruangan. Damian menulis catatan perkembangan, sementara Luna menyiapkan air minum.
Orion menatap tangannya yang gemetar halus.
“Berapa lama lagi sampai aku bisa jalan tanpa alat ini?”
“Kalau kamu terus berlatih seperti ini, mungkin tiga atau empat bulan lagi,” jawab Damian.
“Kalau aku berhenti?”
“Selamanya.”
Luna menatap Orion. “Jadi, kamu pilih yang mana?”
Orion diam, tapi di sudut bibirnya muncul senyum kecil. “Kamu suka ngatur ya.”
“Aku bukan ngatur,” jawab Luna sambil menatapnya. “Aku cuma tanya.”
Damian menatap keduanya bergantian dan tersenyum kecil.
Siang menjelang sore, Luna duduk di taman belakang rumah sakit. Angin sore meniup lembut rambutnya yang terurai.
Damian datang membawa dua cangkir kopi.
“Capek?” tanyanya ramah.
Luna menggeleng. “Lumayan, tapi menyenangkan lihat dia mulai semangat lagi.”
“Dia berubah karena kamu,” ucap Damian tanpa sadar.
Luna menoleh cepat. “Aku cuma bantu sedikit.”
“Tetap saja, dia nggak pernah seberani itu sebelumnya.”
Hening sejenak.
Luna menatap kopi di tangannya, bibirnya menegang pelan. “Kak Dami,aku nggak tahu apa aku ngelakuin hal yang benar atau nggak.”
“Maksudmu?”
“Kadang aku takut dia bakal salah paham. Aku benar-benar pengen dia sembuh, bukan kasih harapan.”
Damian menatapnya lama, lalu tersenyum kecil.
“Luna, kadang penyembuhan justru datang dari harapan itu.”
Luna menunduk. Ia tahu kata-kata itu benar, tapi justru itu yang membuatnya takut. Dia takut jika kembali gagal dan hanya memberikan luka lebih dalam untuk Orion.
____
Jakarta..
Di ruang pribadinya, Selene duduk di depan meja kerja. Tablet di tangannya menampilkan laporan dari salah satu staf rumah sakit sponsor.
Subject: Kondisi Orion Delvano —Rehabilitasi menunjukkan kemajuan signifikan.
Pendamping: Luna Carter.
Selene berhenti membaca, matanya menyipit.
Nama itu terasa begitu familiar dan menusuk.
Tangannya menggenggam tablet lebih erat.
“Luna Carter…” gumamnya lirih.
Senyum tipis terlukis di wajahnya, tapi matanya dingin.
“Jadi ini alasan dia berubah, ya?”
⸻