NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:463
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9

Fajar di hari kesebelas menyingsing di atas Jakarta dengan kebrutalan yang ironis. Langit yang berwarna oranye dan ungu itu tampak seperti lukisan katedral, sebuah keindahan yang sia-sia. Karena di lantai empat puluh tujuh sebuah menara kaca di jantung SCBD, keindahan itu ternoda oleh pemandangan neraka. Kantor Riana Wulandari, yang dulu merupakan simbol kekuasaan dan kontrol, kini telah diubah menjadi altar kedua bagi sebuah keyakinan yang bengis.

Bagi AKP Daniel Tirtayasa, melangkah melewati garis polisi ke dalam TKP ini terasa seperti déjà vu yang paling mengerikan.

Bau-nya, pikir Daniel, memaksa dirinya untuk bernapas normal. Udara dingin dari pendingin ruangan yang masih menyala di 18°C bercampur dengan bau anyir darah dan kematian yang sama. Aroma khas dari kekacauan yang terencana. Kemewahan di sekelilingnya kursi kulit Italia, karya seni abstrak yang mahal, pemandangan kota yang tak ternilai semuanya terasa seperti properti panggung yang hambar, latar belakang bisu bagi sebuah tragedi yang begitu akrab.

Kapel. Kantor. Altar yang berbeda, dosa yang berbeda, tapi ritualnya sama.

Timnya bergerak dalam keheningan yang tegang. Ipda Adit, yang pucat pasi saat pertama kali melihat mayat Lukas, kini tampak kaku, wajahnya mengeras. Tidak ada lagi keterkejutan. Yang ada hanyalah kengerian yang tumpul dan pengakuan yang suram bahwa mereka telah gagal. Mereka terlambat sebelas hari.

Riana Wulandari ditemukan oleh petugas kebersihan pagi. Posisinya adalah gema yang disesuaikan dari korban pertama. Ia tidak berlutut di depan salib, tetapi di depan sumber kekuatannya: meja kerjanya yang besar dari kayu mahoni. Kepalanya tertunduk, bersandar pada sebuah bingkai foto perak foto dirinya saat menerima penghargaan filantropi. Kedua tangannya tergenggam di atas foto itu, seolah sedang berdoa memohon pengampunan atas dosa yang ia sembunyikan di balik citra kemurahan hatinya.

Modus operandinya adalah sebuah tanda tangan.

“Sama persis, Ndan,” bisik Adit di samping Daniel. Suaranya serak, sarat ketidakpercayaan. “Luka-lukanya… polanya, jumlahnya. Seolah-olah pelakunya bekerja menggunakan cetak biru yang sama.”

Daniel mengangguk, matanya yang tajam memindai. Ratusan luka tusukan kecil yang presisi. Tidak ada tanda-tanda perlawanan. Tidak ada darah yang berceceran. TKP-nya bersih secara supernatural. Sadis, bersih, dan teatrikal. Sebuah ritual yang diulang dengan kesempurnaan yang membekukan.

“Dia menggunakan skalpel nomor 11 lagi,” gumam Daniel, lebih pada dirinya sendiri. Kata-kata Dr. Samuel dari ruang autopsi kini terdengar seperti nubuat yang menjadi kenyataan.

Lalu, matanya beralih ke jendela kaca raksasa. Jendela yang tadinya memamerkan kekuasaan Riana atas kota, kini telah diubah menjadi mimbar bagi khotbah sang pembunuh. Dengan darah korban, sebuah ayat baru telah ditulis dengan kaligrafi yang sama rapinya.

Seperti ayam hutan yang mengerami telur yang tidak ditelurkannya, demikianlah orang yang menggarap kekayaan dengan tidak jujur; pada pertengahan usianya ia akan meninggalkannya, dan pada kesudahannya ia akan menjadi seorang bodoh. - Yeremia 17:11

Sebuah ayat tentang kekayaan haram. Sebuah pesan yang ditujukan langsung pada dosa spesifik Riana Wulandari atau lebih tepatnya, Wulan.

Daniel merasa dingin menjalari tulang punggungnya. Ini bukan lagi dua pembunuhan terpisah. Ini adalah Bab 1 dan Bab 2 dari sebuah manifesto yang ditulis dengan darah.

Beberapa jam kemudian, ruang komando investigasi berdengung dengan energi yang berbeda. Frustrasi yang kemarin mendominasi telah lenyap, digantikan oleh adrenalin yang gelap dan mendesak. Papan tulis putih kedua telah dipasang. Di kiri, foto Lukas Santoso. Di kanan, foto Riana Wulandari dari sampul majalah bisnis, disandingkan dengan foto mengerikan dari TKP.

Daniel berdiri di depan kedua papan itu, spidol hitam di tangan. Seluruh timnya Adit, Iptu Hasan, dan belasan detektif lainnya berdiri di belakangnya, diam dan menunggu. Wajah Iptu Hasan, yang begitu yakin dengan teori "balas dendam preman", kini tampak keras dan defensif.

“Selama sebelas hari terakhir,” Daniel memulai, suaranya tenang namun membelah keheningan ruangan. “Kita telah mengejar hantu. Hantu dari masa lalu Lukas sebagai preman, dan hantu dari masa lalu Riana sebagai penipu. Kita menyusun daftar musuh. Kita menyelidiki motif balas dendam.”

Ia berhenti, menatap mata setiap anak buahnya. “Kita telah bekerja keras. Dan kita telah gagal total.”

Adit sedikit tersentak mendengar kata-kata itu. Hasan mengalihkan pandangannya ke lantai.

“Kita gagal,” lanjut Daniel, “karena kita mencari motif yang salah. Kita mencari kemarahan manusia biasa keserakahan, kecemburuan, dendam. Tapi kita tidak sedang berhadapan dengan manusia biasa.”

Ia berjalan ke papan tulis Lukas. Dengan spidol, ia menarik lingkaran besar di sekitar foto yayasan dan catatan pertobatannya. Ia menggarisbawahi dua kata: PENDOSA YANG BERTOBAT.

Kemudian, ia berjalan ke papan tulis Riana. Ia melakukan hal yang sama, melingkari foto-foto kegiatan amalnya. PENDOSA YANG BERTOBAT.

“Ini adalah polanya,” kata Daniel, berbalik menghadap timnya. “Ini bukanlah tentang siapa mereka di masa lalu. Ini adalah tentang siapa mereka berusaha menjadi di masa kini. Lukas membangun yayasan untuk menebus dosa kekerasannya. Riana membangun citra dermawan untuk mengubur dosa penipuannya. Keduanya adalah individu yang hidup dalam narasi penebusan.”

Ia meletakkan spidolnya. “Pelaku kita tidak peduli pada dosa-dosa itu. Dia terobsesi pada konsep penebusan itu sendiri. Dia melihat pengampunan yang mereka raih sebagai sebuah kebohongan. Sebuah ‘pengampunan palsu’, seperti yang tertulis di catatan yang kita temukan di Alkitab Lukas. Dan dia telah mengangkat dirinya sendiri untuk menjadi ‘korektor’-nya.”

Hening menyelimuti ruangan. Para detektif yang terbiasa dengan logika jalanan yang brutal kini dipaksa memasuki dunia psikologi dan teologi yang bengis.

“Lupakan daftar musuh lama,” perintah Daniel. Suaranya kini mengeras, memotong keraguan mereka. “Hasan, aku tidak peduli lagi pada Burhan ‘Kapak Naga’. Adit, lupakan korban penipuan Riana. Aku mau kalian semua mengalihkan fokus seratus persen. Kita tidak lagi memburu gangster. Mulai sekarang, kita memburu seorang pembunuh berantai dengan sebuah misi. Misi teologis.”

Ia menatap tajam ke sekeliling. “Dia percaya dirinya adalah tangan Tuhan, yang ditugaskan membersihkan kota ini dari para pendosa yang ia anggap tidak layak diampuni. Dia hakim, juri, dan algojo. Dan kedua korban ini... hanyalah permulaan dari khotbahnya.”

Daniel menatap wajah-wajah anak buahnya. Ia melihat ketakutan, tapi juga pemahaman baru. Mereka tidak lagi hanya menyelidiki pembunuhan. Mereka sedang berperang melawan sebuah ideologi.

Malam itu, Daniel meninggalkan kantor jauh setelah tengah malam. Jalanan Jakarta lengang. Lampu jalan membiaskan cahaya kuning lelah di atas aspal yang basah oleh gerimis. Pikirannya berpacu, mencoba menyusun profil monster ini. Cerdas. Terdidik. Sabar. Pengetahuan medis dan teologis. Dan yang paling penting... absolutis. Yakin akan kebenarannya sendiri. Orang-sangka seperti itu adalah yang paling berbahaya.

Ia sedang mengemudi melewati Taman Suropati yang gelap ketika ponsel pribadinya bukan ponsel dinas berdering. Melodi lembut yang biasanya ia setel untuk istrinya.

Tetapi nama yang tertera di layar bukanlah “Istriku”. Yang ada hanyalah tulisan: NOMOR TIDAK DIKENAL.

Ragu-ragu, ia mengaktifkan hands-free di mobilnya. “Halo?”

Hening sejenak. Hanya suara statis yang sangat pelan, seperti bisikan angin di sirkuit elektronik.

Lalu, sebuah suara berbicara.

Suara itu tidak wajar. Datar. Tanpa nada. Setiap suku kata diucapkan dengan jeda yang sama persis, seolah dirangkai oleh komputer yang lambat. Sintetis dan mengerikan.

“A-pa-kah… ka-u… mu-lai… me-nger-ti… pe-san-ku… se-ka-rang… Gem-ba-la?”

Darah Daniel seolah membeku. Mobilnya sedikit oleng ke kiri sebelum ia membanting setir, menguasai kemudi. Jantungnya berdebar begitu keras hingga terasa sakit di dadanya.

Dua kata.

Pesanku. Sebuah konfirmasi. Ini adalah komunikasi yang ditujukan padanya.

Gembala.

Jantungnya seolah berhenti. Itu bukan nama panggilannya. Itu bukan julukan resminya. Itu adalah sebuah identitas. Sebuah peran yang ia sandang dalam keheningan doanya setiap pagi. Sebuah kata yang ia gunakan untuk mendefinisikan dirinya di hadapan Tuhannya seorang gembala yang mencoba melindungi kawanannya, baik di rumah maupun di kantor. Itu adalah kata rahasianya.

Bagaimana...

Bagaimana mungkin dia tahu?

Itu berarti satu hal. Si pembunuh tidak hanya mengamati para korbannya.

Dia juga telah mengamati sang penyelidik.

Perburuan ini bukan lagi searah. Sang pemburu kini sadar bahwa ia juga sedang diburu.

“Siapa ini?” desis Daniel, tangannya mencengkeram setir begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, seolah sedang mencengkeram leher si penelepon.

Tidak ada jawaban. Hanya suara klik pelan, dan sambungan pun terputus.

Daniel menepikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi. Ia duduk dalam keheningan total, hanya ditemani suara mesin mobilnya yang berputar pelan dan deru napasnya sendiri di dalam mobil yang kedap suara. Suara digital yang dingin itu terus terngiang di telinganya.

Kasus ini baru saja berubah. Dari profesional, menjadi sangat, sangat personal. Monster yang ia buru kini memiliki suara. Dan suara itu mengetahui nama rahasianya.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!