Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.
Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.
Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langitmu Terlalu Terang
Hari itu berlalu lebih lambat dari biasanya.
Sejak kedatangan Hayden, suasana di Petunia Hill berubah, meski tidak ada hal mencolok yang terlihat. Namun Elena bisa merasakan ketegangan tipis menggantung seperti kabut yang tidak tampak.
Adrian berusaha bersikap tenang, tapi Elena bisa membaca matanya. Mata yang dulu gelap karena obsesi, kini gelap karena kewaspadaan.
Sore menjelang ketika Elena sedang berjalan di taman.
Ia tiba-tiba merasakan sesuatu. Bukan suara, bukan bayangan, tapi semacam insting yang menusuk.
Seperti ada mata lain yang ikut mengawasi.
Ia menoleh ke arah gerbang.
Tidak ada siapa-siapa.
Hanya pepohonan bergoyang oleh angin, dan jalan setapak yang basah oleh embun.
Hanya paranoia? pikirnya.
Tapi hatinya menolak menjawab ya.
Ketika ia kembali ke rumah, Adrian duduk di ruang depan.
Wajahnya lebih tegang dari biasanya.
“Elena,” katanya tanpa basa-basi, “ada sesuatu yang harus kau lihat.”
Ia menyerahkan sebuah amplop coklat tipis, tanpa nama, tanpa alamat.
Hanya satu kalimat di sampulnya: “Untukmu.”
Elena menelan ludah. “Siapa yang mengirim ini?”
“Aku tidak tahu,” jawab Adrian. “Clara menemukannya tergelincir di bawah pintu gerbang. Tidak ada kamera yang menangkap siapa pun.”
Tangan Elena bergetar saat ia membuka amplop itu.
Di dalamnya hanya ada satu lembar foto.
Dan foto itu membuat jantungnya berhenti sejenak.
Itu foto dirinya. Sedang berjalan sendirian di taman Petunia Hill. Diambil dari jarak jauh.
Langit tampak mendung di foto itu.
Ia memakai sweater ringan, memegang buku kecil di tangan.
Tepat seperti hari sebelumnya.
“Ini… diambil kemarin,” bisik Elena. “Saat aku keluar sore itu.”
Adrian berdiri dari kursinya, napasnya berat. “Seseorang memasuki properti ini. Seseorang yang tahu ke mana harus mengarah.”
Elena menatapnya, wajahnya pucat. “Itu berarti mereka sudah memantau kita sejak sebelum Hayden datang.”
Adrian mengepalkan tangannya. “Atau lebih lama dari itu.”
Malam itu, Elena tidak bisa tenang.
Ia duduk di kamar, memandangi foto itu lagi dan lagi.
Ada sesuatu tentang foto itu yang membuatnya merinding.
Sudut pengambilan gambarnya terlalu tepat. Terlalu hening. Terlalu… personal.
Seperti seseorang yang tidak hanya mengawasi, tapi mengincar.
Ia menggigit bibirnya, berusaha menenangkan dirinya.
Jangan panik. Adrian ada di sini. Kau tidak sendirian.
Namun saat itu juga terdengar ketukan lembut di pintu.
“Elena?” suara Adrian. “Apa aku boleh masuk?”
Ia mengangguk, meski pintu tertutup.
Pria itu masuk, membawa dua cangkir teh.
Wajahnya tampak penat. Bukan karena marah, tapi karena takut kehilangan.
“Aku tahu kau cemas,” katanya sambil duduk di sampingnya. “Aku pun begitu.”
Elena menatap teh di tangannya. Hangat.
Tapi hatinya tetap dingin oleh rasa was-was.
“Adrian…” suaranya pelan, “apa ini berarti kita tidak aman?”
Adrian terdiam lama. Ia tidak ingin berbohong. Tidak lagi.
“Aku tidak yakin,” katanya jujur. “Tapi satu hal yang pasti… siapapun mereka, mereka ingin aku keluar dari tempat yang sedang kubangun sekarang.”
Elena mengangkat kepala. “Tempat apa?”
Adrian menatapnya lembut, suara rendah. “Tempat di mana aku bisa berubah bersamamu.”
Kata-kata itu membuat Elena ingin menangis.
Ia meraih tangannya.
“Apa yang harus kita lakukan?”
Adrian mengencangkan genggamannya.
“Kita tidak akan lari.”
Ia menatap foto itu, lalu kembali menatap Elena.
“Jika mereka ingin menghancurkan kita, kita akan berdiri menghadapnya. Bersama.”
Elena menarik napas panjang.
Bagian dirinya menginginkan kedamaian selamanya.
Tapi bagian lain tahu bahwa kedamaian adalah sesuatu yang harus diperjuangkan. Terutama ketika dunia luar tidak ingin mereka mendapatkannya.
Ia menatap Adrian. Dan untuk pertama kalinya, ia berkata jujur dari lubuk hatinya.
“Aku tidak takut… selama kau di sini.”
Adrian menariknya dalam pelukan hangat. Bukan posesif, bukan memaksa. Tapi pelukan seseorang yang benar-benar takut kehilangan hal yang mulai membuatnya menjadi manusia lagi.
....
Hujan mereda, menyisakan bau tanah basah yang memenuhi udara.
Elena berdiri di balkon kamarnya, memandangi kota Verona yang dipenuhi titik-titik cahaya. Meski turun lembut, hujan malam itu membawa perasaan ganjil. Seperti sebuah tanda dari sesuatu yang mendekat tanpa suara.
Ia menggenggam foto yang tadi dikirim.
Bayangan dirinya diambil dari jauh, dari sudut yang seharusnya tidak dapat dijangkau siapa pun.
Semakin ia menatapnya, semakin ia merasakan hawa dingin merambat ke tulangnya.
Pintu kamarnya diketuk.
“Elena?” suara Adrian. “Aku ingin bicara.”
Ia mengangguk. Adrian masuk, menutup pintu perlahan.
Tatapannya bukan tatapan pria yang marah atau panik… melainkan tatapan seseorang yang sudah menimbang banyak hal dan akhirnya memutuskan untuk mengatakan kebenaran.
“Elena,” katanya pelan, “aku rasa sudah waktunya kau tahu semuanya.”
Nada suaranya membuat jantung Elena berdebar.
“Apa yang ingin kau ceritakan?”
Adrian duduk di kursi dekat jendela. Elena ikut duduk di depannya, menunggu.
“Ada seseorang,” Adrian memulai, “yang selama ini memikul kebencian yang sama beratnya dengan rasa bersalahku. Dan dia… tidak senang aku mencoba hidup seperti manusia biasa.”
Elena mengerutkan kening. “Hayden?”
Adrian menggeleng. “Tidak. Hayden bukan musuh. Dia hanya utusan.”
“Lalu siapa?”
Adrian menunduk. Jemarinya mengusap cincin Isabella yang kini tergeletak di atas meja dekatnya. Cincin yang ia lepas pada malam perubahan.
“Mereka menyebut dirinya Cassian Moretti.”
Nama itu bagai angin dingin yang menembus jendela tertutup.
Elena menelan ludah. “Siapa dia?”
Adrian mengangkat wajah. Matanya gelap, tapi bukan amarah. Lebih pada rasa takut yang jarang muncul pada dirinya.
“Cassian adalah seseorang yang dulu bekerja bersama keluargaku. Setelah ayahku meninggal, keadaan keluarga kacau. Isabella ingin kita keluar dari lingkaran itu. Keluar dari dunia gelap penuh kekerasan dan balas dendam.”
Ia menarik napas berat.
“Cassian tidak setuju. Baginya, keluarga Valtieri adalah simbol kekuasaan yang tidak boleh berubah. Saat Isabella mencoba keluar, dia menganggap itu pengkhianatan.”
Elena merasakan dadanya mengencang. “Apa yang dia lakukan?”
Adrian memejamkan mata sejenak. “Yang membuat Isabella pergi malam itu… bukan kecelakaan. Itu ancaman.”
Elena menutupi mulutnya dengan tangan.
“Adrian…”
“Dan setelah Isabella hilang,” lanjut Adrian, “Cassian menunggu aku mengambil alih posisi ayah. Tapi aku menolak. Aku memilih membangun hidup lain. Hidup yang dia anggap lemah dan memalukan.”
Ia menatap Elena dalam-dalam. “Dan dengan kau di sisiku sekarang, dia pikir aku semakin lemah.”
Elena menggigit bibirnya. “Foto itu… pesan itu… itu peringatan dari Cassian?”
Adrian mengangguk perlahan.
“Dia ingin aku tahu bahwa dia mengawasi. Dia ingin menunjukkan bahwa ia bisa menyentuh siapa pun yang dekat denganku.”
Elena merasakan hawa dingin kembali merambat ke tulangnya.
“Kenapa sekarang?”
Adrian menjawab tanpa ragu.
“Karena gerbang sudah kubuka. Karena aku mulai menjalani hidup di luar lingkaran itu. Dan itu membuatku terlihat seperti ancaman… atau sasaran empuk.”
Hening panjang menyelimuti ruangan.
Hanya suara angin yang memukul jendela, seolah mengingatkan bahwa dunia di luar sedang bergerak perlahan menuju mereka.
Elena akhirnya berkata pelan, “Lalu apa yang akan kita lakukan?”
Adrian mendekat, berlutut di depannya.
“Elena… aku tidak akan memaksamu bertahan dalam bahaya ini. Kalau kau ingin pergi ke negara lain, atau tempat yang jauh, aku akan memastikan kau aman. Aku tidak akan menahanmu.”
Elena menatapnya, mata berkaca-kaca.
“Jadi kau ingin aku pergi?”
Adrian cepat menggeleng.
“Tidak. Tuhan, tidak.”
Suaranya pecah. “Aku hanya ingin kau aman.”
Elena memegang wajahnya dengan lembut.
“Adrian… aku tidak memilih bertahan karena aman. Aku bertahan karena aku percaya kita bisa melawan ini bersama.”
Adrian menutup matanya, wajahnya tenggelam di telapak tangan Elena.
Butir penyesalan dan ketakutan tampak jelas. Sesuatu yang dulu mustahil ia perlihatkan.
“Kau tidak tahu seberapa berbahayanya Cassian, Elena.”
Elena menyentuh dahinya dengan lembut.
“Tapi aku tahu satu hal, kau bukan lagi pria yang sendirian dalam ketakutan itu.”
Saat itu juga terdengar suara pesan masuk dari ponsel Adrian. Ia mengambilnya. Layarnya menunjukkan sebuah pesan tanpa nama.
Hanya satu kalimat.
“Langitmu terlalu terang. Mari lihat berapa lama itu bertahan.”
Adrian merasakan darahnya membeku. Elena menatap layar itu, wajahnya memucat.
Ini bukan sekadar ancaman.
Ini adalah deklarasi perang.
Dan keduanya tahu, mulai malam itu, babak baru telah dimulai.
Babak yang tidak bisa dihindari. Baik oleh Adrian maupun Elena.
Tapi tidak seperti dulu, kali ini mereka menghadapinya bersama.