Shirayuki Sakura adalah dunia fantasi medieval yang bangkit di bawah kepemimpinan bijaksana Araya Yuki Yamada. Kisah intinya berpusat pada Ikaeda Indra Yamada ("Death Prince") yang bergumul dengan warisan gelap klannya. Paradoks muncul saat Royal Indra (R.I.) ("Destroyer") dari semesta lain terlempar, menyadari dirinya adalah "versi lain" Ikaeda. R.I. kehilangan kekuatannya namun berperan sebagai kakak pelindung, diam-diam menjaga Ikaeda dari ancaman Lucifer dan trauma masa lalu, dibantu oleh jangkar emosional seperti Evelia Namida (setengah Gumiho) dan karakter pendukung lainnya, menggarisbawahi tema harapan, kasih sayang, dan penemuan keluarga di tengah kekacauan multidimensi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IΠD, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KINGSGUARDS : AKASHII' DAILY LIFE BEING GUARD OF ACADEMY
Angin sejuk dari Pegunungan Timur menggoyangkan jubah merah marun milik Akashii, sang Pengawas Murid Bolos dari Academia milik Liini. Ia berdiri di menara pengawas, mata birunya yang tajam menyapu seantero halaman sekolah yang dikelilingi tembok batu kuno. Rambut merah menyala miliknya kontras dengan jubah hitam panjang berpotongan ksatria yang ia kenakan-sebuah penampilan yang membuatnya terlihat gagah sekaligus sedikit berlebihan di matanya sendiri.
"Hanya demi formalitas," gumamnya, menyesuaikan syal merah tebal di lehernya. "Agar anak-anak nakal itu tahu bahwa ini bukan permainan."
Akashii dikenal sebagai mimpi buruk bagi para pembolos. Dengan kemampuan pengawasan yang seolah tak terhingga, tidak ada satu pun murid yang bisa lolos dari cengkeramannya. Namun, di balik kegarangan itu, ia adalah sosok yang santai dan suka bercanda, sering menjadi sasaran kejahilan murid-murid yang ia tangkap-semua ia tanggapi dengan senyuman.
Saat ia sedang menikmati ketenangan, pandangannya menangkap gerakan aneh di dekat gerbang belakang, tempat tumpukan jerami dan karung-karung gandum diletakkan. Dua siluet kecil bergerak mencurigakan.
Akashii menghela napas. "Sudah kuduga. Hari yang damai tak pernah bertahan lama di sini."
Ia turun dari menara dengan langkah ringan, jubahnya berkibar dramatis. Begitu mendekat, ia bisa mendengar bisikan tergesa-gesa.
"Cepat! Selagi Pengawas Merah itu masih di menara!" bisik salah satu suara.
"Ya, aku sudah bilang, dia tidak akan melihat kita dari sana. Tembok ini menaungi kita dengan baik," sahut suara yang lain dengan nada congkak.
Akashii tersenyum tipis. Mereka selalu meremehkannya. Ia mengeluarkan pedang panjang dengan hulu batu berukir dari sarungnya, bukan untuk mengancam, melainkan untuk disandarkan di bahunya.
"Sayangnya, tebakanmu meleset, Anak Muda," suara Akashii terdengar tenang dan ramah, namun memiliki otoritas yang tak terbantahkan.
Dua sosok-seorang pemuda dan seorang gadis, keduanya masih mengenakan tunik belajar mereka-terlonjak kaget. Mereka terdiam, menoleh perlahan, mata mereka melebar melihat Akashii berdiri tepat di belakang mereka, memblokir jalan menuju kebebasan.
"S-Sang Pengawas!" seru yang gadis, pipinya memerah.
Yang pemuda dengan cepat memasang wajah pemberani, meski lututnya tampak sedikit gemetar. "Apa-apaan! Kami hanya... hanya memeriksa tumpukan jerami. Mungkin ada tikus besar. Kami ini membantu, bukan?"
Akashii menyandarkan pedangnya ke tanah, bilah baja dingin itu mengeluarkan bunyi denting yang tajam. Ia menyilangkan tangan di dada, senyumnya semakin lebar.
"Tikus, katamu?" Ia melirik ke tas kain lusuh yang dipegang si pemuda. "Menarik. Tikus-tikus di sini rupanya menyukai Peta Harta Karun dan Kue Jahe, ya?"
Wajah keduanya pucat. Kejahilan mereka sudah pasti terbongkar.
"Dengar, Tuan," si pemuda mencoba bernegosiasi, nadanya berubah memelas. "Kami hanya ingin ke desa sebentar, beli... beli ramuan penambah konsentrasi. Kami janji, sebelum matahari terbenam kami sudah kembali!"
Akashii menggelengkan kepala pelan, tatapannya lembut tapi tegas.
"Kau tahu betul peraturan Academia, Sobat. 'Tidak ada yang diizinkan meninggalkan tembok tanpa izin tertulis dari Liini sendiri'." Ia mengambil satu langkah mendekat, suaranya sedikit merendah, bernada jenaka. "Lagipula, mengapa terburu-buru? Aku sudah mempersiapkan pelajaran kejutan khusus untuk kalian berdua di perpustakaan. Tentang, uhuk, Etika dan Ketaatan Warga Negara yang Baik."
Gadis itu mengerucutkan bibir. "Itu pasti membosankan sekali!"
"Oh, sama sekali tidak," balas Akashii, mengangkat alis. "Aku akan membumbuinya dengan beberapa cerita epik tentang para Ksatria Akademi masa lalu. Yang mencoba kabur, dan bagaimana mereka akhirnya menjadi pengawas murid yang disegani." Ia memberikan tatapan penuh arti. "Sama seperti diriku, misalnya."
Si pemuda menghela napas panjang, menyerah. Ia tahu, berdebat dengan Akashii sama saja memukul tembok kastil. "Baiklah, baiklah. Kami menyerah. Kau memang hebat, Tuan Akashii."
Akashii tertawa kecil, suara tawanya hangat. Ia mengambil kembali pedangnya.
"Bukan hebat. Hanya lelah memakai baju besi tebal seharian," candanya. "Sekarang, kembalikan tas itu. Dan kalian berdua, ikut aku. Kita akan mulai pelajaran etika. Setelah itu, mungkin aku akan membiarkan kalian membagi kue jahe itu denganku. Syaratnya, kalian harus mau mendengarkan cerita membosankan tentang seragam militerku yang gatal."
Keduanya tidak bisa menahan senyum tipis. Dihukum oleh Akashii memang bukan hukuman yang sesungguhnya. Mereka tahu, mereka akan mendapatkan cerita, sedikit wejangan, dan mungkin, sedikit kue jahe. Sang Pengawas Merah itu adalah mimpi buruk, sekaligus teman baik yang penuh canda.
.
.
.
.
.
.
Akashii memimpin kedua murid itu kembali ke dalam Academia. Langkahnya santai, seolah baru saja kembali dari jalan-jalan sore, bukan dari aksi pengejaran. Setibanya di ambang pintu perpustakaan kuno yang berbau perkamen dan tinta, ia menoleh pada mereka.
"Nah, ini dia. Istana Pengetahuan," ujarnya, menunjuk ke dalam dengan ujung pedangnya. "Masuklah. Pilih bangku paling depan, ya. Aku akan mengambil beberapa gulungan yang menarik."
Kedua murid itu bertukar pandang. Mereka tahu trik Akashii. Bangku depan berarti mereka tidak bisa berbisik atau mengantuk tanpa ketahuan. Namun, tak ada gunanya menolak. Dengan langkah gontai, mereka masuk.
Seorang penjaga perpustakaan, seorang pria tua berjanggut putih yang matanya selalu melirik tajam dari balik kacamata, mendongak saat Akashii masuk. Ia sudah sangat akrab dengan pemandangan ini.
"Kembali membawa 'tangkapan', Akashii?" sapa penjaga itu, suaranya serak. "Semakin hari semakin banyak saja yang mencoba kabur."
Akashii hanya tersenyum simpul. "Biasalah, Pak Tua. Jiwa muda memang penuh petualangan. Tapi petualangan terbaik seringkali ditemukan di antara halaman-halaman buku." Ia mengedipkan mata. "Apalagi jika aku yang menceritakannya."
"Hmph," dengus penjaga itu, meski senyum tipis tersungging di bibirnya. "Jangan sampai mereka tertidur. Aku benci suara dengkuran di sini."
Akashii mengangguk. "Tenang saja. Aku punya cara ampuh membangunkan mereka."
Ia berjalan menuju rak-rak tinggi, mencari gulungan-gulungan tertentu. Ia mengambil beberapa gulungan sejarah kuno tentang formasi militer dan strategi pertempuran. Lalu, ia tersenyum geli, menambahkan sebuah gulungan tentang legenda naga dan para ksatria.
Kembali ke hadapan kedua murid yang sudah duduk tegak di bangku depan, Akashii meletakkan tumpukan gulungan di meja dengan bunyi gedebuk ringan.
"Baiklah, Anak-anak," mulainya, suaranya berubah serius, seolah ia benar-benar akan memberikan pelajaran formal. "Pertama-tama, kita akan membahas tentang pentingnya disiplin. Di masa lalu, para ksatria dan penyihir hebat dari Insomnia ini tidak akan mencapai kejayaan mereka tanpa disiplin yang tinggi."
Ia membuka gulungan pertama, pura-pura membaca dengan seksama. "Dikatakan bahwa suatu kali, ada seorang calon ksatria yang sangat berbakat, namun ia memiliki kebiasaan buruk suka membolos latihan pedang demi mencari buah beri liar di hutan terlarang..."
Murid laki-laki itu menggeliat. "Tapi, Tuan, apa hubungannya dengan kami? Kami hanya ingin ke desa."
Akashii mengangkat telunjuk. "Sabar. Dengarkan dulu. Suatu hari, saat ksatria muda itu asyik memetik beri, ia disergap oleh sekelompok goblin. Pedangnya tidak bersamanya, karena ia sedang memanjat pohon." Akashii menatap mereka berdua dengan tatapan dramatis. "Bayangkan, di tengah hutan belantara, tanpa senjata, dikelilingi goblin yang kelaparan!"
Wajah kedua murid itu mulai menunjukkan minat. Gadis itu bahkan sedikit memajukan tubuhnya.
"Lalu, apa yang terjadi, Tuan?" tanyanya.
Akashii tersenyum tipis. Ini dia.
"Nah, di sinilah letak pelajarannya," lanjut Akashii, suaranya penuh misteri. "Karena kebiasaan bolosnya, ia tidak pernah mempelajari teknik bertahan hidup di hutan dengan baik. Ia hanya punya satu pilihan..."
Ia berhenti sebentar, membangun ketegangan.
"...yaitu berlari sekuat tenaga, membuang semua beri yang sudah ia kumpulkan, dan nyaris tidak selamat kembali ke benteng dengan celana robek dan hati yang ketakutan." Akashii memandang mereka. "Pelajaran moralnya, Anak-anak: disiplin tidak hanya tentang mematuhi aturan, tetapi juga tentang mempersiapkan diri untuk segala kemungkinan. Jika kalian hanya ingin ke desa untuk 'ramuan konsentrasi', mengapa kalian tidak meminta izin? Bukankah itu akan lebih efisien daripada harus berlari dari kejaran goblin?"
Murid laki-laki itu menunduk malu. "Maaf, Tuan."
"Nah, sekarang," Akashii beralih ke gulungan berikutnya, tentang naga. "Pernahkah kalian dengar kisah tentang 'Naga Pemakan Pembolos' yang konon bersembunyi di balik Tembok Utara?"
Mata kedua murid itu langsung membulat sempurna. Akashii tahu betul bagaimana membuat pelajaran yang membosankan menjadi petualangan yang tak terlupakan.
Setelah dua jam penuh dengan kisah naga, formasi militer yang gagal karena kesalahan sepele, dan selipan ceramah santai tentang pentingnya kehadiran di kelas Sejarah Sihir, Akashii akhirnya menutup gulungan terakhir.
"Baiklah," katanya, membersihkan debu dari tangannya. "Cukup untuk sesi 'Hukuman Edukatif' hari ini. Semoga kisah ksatria yang kehilangan celana karena goblin itu cukup mendalam untuk kalian."
Kedua murid itu kini tampak jauh lebih santai, bahkan tersenyum.
Murid perempuan itu berkata dengan nada antusias, "Saya tidak tahu cerita sejarah bisa seekstrim itu, Tuan! Terima kasih."
Murid laki-laki itu menambahkan, "Saya janji, kami tidak akan mencoba kabur lagi tanpa alasan yang sangat, sangat darurat. Atau setidaknya, kami akan minta izin dahulu."
Akashii tertawa kecil, suara tawanya memantul pelan di antara rak-rak buku. Ia mengambil tas kain yang berisi kue jahe dan peta harta karun yang ia sita tadi, lalu menyerahkannya kembali.
"Pegang ini," katanya. "Dan sekarang, tentang janji yang tadi kusebutkan."
Ia mengeluarkan dua keping kue jahe yang agak gosong dari dalam tas.
"Satu untukmu, dan satu untukmu," ujarnya, menyerahkannya kepada mereka. "Anggap saja ini sebagai imbalan karena telah menjadi audiens yang baik-walaupun terpaksa. Dan jangan beritahu siapa pun bahwa aku memakan barang sitaan." Ia berbisik, seolah-olah itu adalah rahasia terbesar.
Mereka menerima kue itu dengan mata berbinar.
"Terima kasih banyak, Tuan!" ucap si pemuda.
"Sama-sama," balas Akashii, memasukkan sisa kue jahe ke dalam saku jubah hitamnya. "Sekarang, pergilah. Nikmati sisa hari kalian. Dan ingat, jika ada yang bertanya mengapa kalian terlambat, katakan saja kalian baru saja mendapatkan pelatihan rahasia dari... yah, dari sang Pengawas Merah."
Saat kedua murid itu beranjak menuju pintu, Penjaga Perpustakaan yang sedari tadi pura-pura tidak mendengar, mendengus pelan dari meja kerjanya.
"Kau ini Pengawas, atau perunduk anak-anak, Akashii?" tanyanya, suaranya mengandung tawa.
Akashii bersandar santai di tumpukan buku, pedangnya disandarkan di sampingnya. Matanya memandang ke arah pintu, di mana bayangan kedua murid itu baru saja menghilang.
"Aku? Aku hanyalah seseorang yang mencoba memastikan anak-anak nakal ini belajar untuk mencintai tembok sekolah mereka, Pak Tua," jawabnya, tersenyum kecil. "Selain itu," tambahnya, meraba jubah tebal yang ia kenakan, "mengajar lebih menyenangkan daripada mengejar sambil kegerahan."
Ia kemudian mengambil syal merahnya dan mengikatnya erat. Misi selesai. Dunia kembali tenang.
Setidaknya, sampai ada lagi yang mencoba memanjat jendela asrama di malam hari. Dan Akashii, Sang Pengawas Murid Bolos, akan siap.