Gadis cantik selesai mandi, pulang ke gubugnya di tepi sungai. Tubuh mulus putih ramping dan berdada padat, hanya berbalut kain jarik, membuat mata Rangga melotot lebar. Dari tempatnya berada, Rangga bergerak cepat.
Mendorong tubuh gadis itu ke dalam gubug lalu mengunci pintu.
"Tolong, jangan!"
Sret, sret, kain jarik terlepas, mulut gadis itu dibekap, lalu selesai! Mahkota terengut sudah dengan tetesan darah perawan.
Namun gadis itu adalah seorang petugas kesehatan, dengan cepat tangannya meraih alat suntik yang berisikan cairan obat, entah apa.
Cross! Ia tusuk alat vital milik pria bejad itu.
"Seumur hidup kau akan mandul dan loyo!" sumpahnya penuh dendam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syarifah Hanum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Pintu rumah terbuka sedikit, ada cela yang mampu membawa suara dari luar ke telingan Nadira yang saat itu sedang selonjoran di ruang tamu.
Dua perempuan tengil dan pendengki itu terus saja mengolok olok Nadira.
Dinna mencela Nadira karena sakit hati, tidak diberi hutangan untuk membayar angsuran motornya yang sudah jatuh tempo.
Sedangkan mbak Tika, ibunya Yeyen, karena tidak ditraktir oleh Nadira saat mereka bertemu di restoran M.
Pada hal saat melihat Nadira sedang makan di situ, besar harapan mereka, Nadira mentraktir keduanya.
Namun Nadira tidak peduli, setelah selesai makan, ia pergi begitu saja meninggalkan ibu dan anak itu tanpa basa basi.
"Dasar pelit! Pada hal kata Bella, mbak Nadira itu baik, Bella suka sekali ditraktir. Tapi dengan kita kok pelit ya Ma?!", ucap Yeyen nelangsa, karena harapannya makan di situ kandas.
" Sudahlah, lain kali kita beli sendiri! Hari ini uang mama habis, ayo kita pulang!"
Mbak Dita menyeret lengan anaknya untuk keluar dari restoran itu.Malu sekali dia karena beberapa pengunjung melihat ke arah mereka.
"Sialan kau Nadira! Gara gara kau kami jadi malu, masuk ke dalam restoran lalu keluar lagi, tanpa membeli apa pun juga!", gerutu mbak Tika kesal luar biasa.
Dari dalam rumah, Nadira masih mendengarkan ocehan dua perempuan tetangganya itu, hatinya memanas, namun ia tetap menjaga kewarasannya.
" Tahu nggak mbak Dinna, bisa bisanya Nadira makan di restoran M, tanpa menawari kami sedikit pun.
Pada hal kami sudah masuk ke dalam dan menemuinya. Masa dia tidak bisa melihat Yeyen sudah kepingin makan ayam goreng di situ", ucap mbak Tita tidak tahu malu.
Di ruang tamu, Nadira menahan tawanya, lucu saja mendengar mbak Tika minta berkata seperti itu. Berharap ditraktir tapi belanjaannya banyak.
Pelan pelan, Nadira bangkit dari selonjorannya lalu ia menutup pintu rumahnya dengan gerakan perlahan.
Klik..!
Nadira mengunci pintu, malas mendengar ocehan receh tetangganya itu.
'Lihatlah dia, tidak sopan banget, main kunci pintu segala, pada hal kita ada di depan rumahnya", kata Dinna sewot.
Nadira tidak peduli, ia melanjutkan istirahatnya di kamarnya.
Menjelang maghrib, Nadira bangun, perutnya terasa lapar. Ia bergegas ke dapur, memasak apa saja yang ringkas dan cepat karena waktu sholat akan segera tiba.
Malam harinya, Nadira, mengemas barang barangnya yang tidak seberapa.
Hanya pakaian dan alat alat masak yang perlu dia masukkan ke dalam kardus kardus bekas mi instan.
Sedangkan sisa bahan makanan untuk jualannya lumayan banyak, rencananya besok kulkas ia matikan dan bahan makanannya akan ia masukkan ke dalam kotak kabinet.
Nadira tidak mau membaginya dengan tetangganya, ia bukan sakit hati karena sikap tetangganya yang kurang baik, namun ia memilih untuk tidak peduli.
Di saat ia sendiri di rantau, awalnya ia bersikap ramah dan santun, berharap kedatangannya di tempat itu diterima dengan baik.
Namun ternyata, kenyataannya tidak sesuai harapannya, makanya dia gantian bersikap masa bodoh.
"Mungkin aku salah pilih tempat!", monolog Nadira.
Banyak.yang dipikirkan oleh Nadira.
Salah satunya sisa uang kontrak rumahnya, ia merasa sayang karena masih ada sisa waktu enam bulan lagi.
Namun ia juga sadar, itu resikonya karena ia yang memutuskan untuk keluar dari rumah itu.
Ia juga teringat, jika ia butuh kenderaan bak terbuka untuk mengangkut barangnya.
Di tempat ini ia belum banya mengenal orang, jadi ia belum tahu siapa yang bisa ia sewa mobilnya.
" Coba ku hubungi Ganda, siapa tahu ia bisa dimintai tolong".
Nadira menghubungi Ganda, mereka memang sempat berganti nomor ponsel.
"Ada yang bisa saya bantu mbak Nadira?"
Suara Ganda terdengar lembut sekali, masuk menyusup ke liang pendengaran Nadira.Gadis itu sampai terhenyak.
Mungkin karena kaget mendengar suara Ganda yang begitu manis, Nadira menyahut terbata bata.
"Saya butuh mobil bak terbuka untuk mengangkut barang barang saya, apa mas Ganda bisa mengusahakannya? Sekalian saya tanya, berapa ongkosnya?".
Tanpa Nadira sadari, ia ketularan Ganda, bicara lembut.
Mendengar suara Nadira, Ganda kelimpungan, entah mengapa ada gelenyar aneh di hatinya.
" Biasanya ada mbak, milik tukang angkat angkat sayur. Tapi mobil itu kosong setelah jam dua siang, setelah selesai urusannya di pasar.
Biasanya, ongkosnya sekitar lima ratus ribu mbak, dengan jarak lebih sepuluh kilo meter.
Tapi bisa ditawar kok! Berapa mbak bisa tawar untuk ongkosnya mbak?"
"Sudah tidak usah ditawar, jika mas Ganda mau nego ke pemilik mobil tak apa apa! Terserah mas Ganda saja!", ucap Nadira.
Ada denyut sakit di dada Ganda, ia tulus tanpa pamrih, namun Nadira menganggapnya hanya hubungan bisnis belaka.
Sejak pertama kali ia melihat gadis itu, jantungnya langsung berdebar debar. Ia merasa, ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Sebagai preman jalanan, yang suka melakukan pungli di wilayah kekuasaannya, nama Ganda cukup disegani.
Tampangnya yang sedikit sangar dengan tubuhnya yang kekar, orang akan berpikir dua kali untuk berurusan dengannya.
Namun, saat Ganda berhadapan dengan Nadira, nyalinya menciut, ia tidak berani meminta uang keamanan dengan cara menekan gadis itu.
Ganda tahu, gadis yang diincarnya itu sedang hamil dan punya kisah hidup yang ruwet.
Ganda juga bisa menerka, jika Nadira hamil karena sesuatu yang mengerikan.
Dan kini, gadis itu, mengontrak ruko dua tingkat, yang cukup besar, sendirian pula, bukankah itu sesuatu yang janggal? Terlalu berani mengambil resiko, begitu pikiran Ganda berkerja.
"Mas Ganda!"
Teguran Nadira memotong lamunan Ganda.
"Eh, iya mbak, ada apa?"
"Nanti saya kirim alamatnya mas Ganda! Assalamualaikum..!"
Nadira menutup panggilannya setelah Ganda membalas salamnya.
Sedangkan Ganda meremas dadanya dengan mata terpejam. Menikmati aliran darahnya yang mendadak bergolak karena lembutnya suara Nadira.
"Huh, lebay..!"
Kepala Ganda ditoyor oleh rekannya cukup kuat, sehingga ia mendongak wajahnya ke atas dan kepalanya terlempar ke belakang.
"Sialan lu..!", maki Ganda marah. Ia bermaksud membalas kelakuan temannya itu, namun rekannya itu sudah menjauh dengan tawa mengejek.
" Sadar diri woi..! Mana mau mbak Nadira sama preman! Spek bidadari itu cocoknya berhodoh dengan CEO, seperti di novel novel, bukan dengan preman lontang lantung! Ha ha ha..!"
Omongan rekannya tidak membuat Ganda tersinggung, namun ia merasa jadi rendah diri. Rekannya benar, pekerjaannya cuma preman, yang mencari uangnya dengan cara melakukan pungutan liar kepada pelaku usaha di tempat ini, termasuk Nadira.
Namun cinta datang tidak bisa diajak kompromi. Saat pertama melihat Nadira, Ganda langsung tahu, gadis itu sedang dilanda beratnya ujian hidup.
Matanya yang besar dan.indah itu, sarat akan duka yang terpancar, entah apa itu.
Sejak.itu pula cinta di hati Ganda berlabuh, ia ingin menjadi pelindung bagi gadis itu dan membantu mengurai derita di hati Nadira.
Keesokan harinya, tepat pukul dua siang, Ganda sudah tiba di depan rumah kontrakan Nadira.
Ia datang dengan mobil pick up, bersama dengan dua orang temannya, yang sama sangar dan kekarnya dengan dirinya.
Nadira menemui bu Iyus dan bermaksud pamit sekalian.
"Maaf bu Iyus, ini mendadak, saya permisi, akan keluar dari kontrakan bu Iyus".
Tentu saja hal itu membuat geger bu Iyus dan Bella.
" Nadira, mengapa tiba tiba?", seru bu Iyus panik.
"Bukan begitu bu, saya sudah mendapatkan ruko sesuai dengan keinginan saya.
Mohon maaf atas salah kata dan sikap saya selama ini.
Dan Bella, kamu bisa meneruskan usaha kakak, semoga semua dilancarkan!", kata Nadira sambil mengelus elus kepala Bella dengan sayang.
Sebelum benar benar pergi, Nadira menemui Dinna dan mbak Tika. Dengan menurunkan ego ia juga meminta maaf kepada keduanya.
Sebagai manusia tempatnya khilaf dan salah, Nadira tidak mau pergi dari tempat itu meninggalkan jejak yang buruk.
Tiba tiba Dikki datang, ia heran melihat ada mobil mengangkut barang di deoan rumah Nadira.
" Ada apa ini?", tanya Dikki mengambang, ditujukan pada semua orang.
"Kak Bella pindah rumah!" Bella yang menjawab. Wajah gadis itu terlihat sedih dengan mata sembab dan pipi basah.
"Benarkah?"
Melihat Nadira berjalan dari rumah Dinna menuju ke mobil, Dikki berlari menyongsong Nadira dan langsung memegang tangan gadis itu.
"Eh..!"
Tentu saja Nadira kaget, spontan menghentakan tangannya untuk melepaskan tangan Dikki.
"Nadira, mengapa kau pindah?", tanya Dikki dengan suara tinggi.
Bukannya melepaskan tangan Nadira, genggaman tangan Dikki semakin erat.
Dari balik kemudi, Ganda melihat, hatinya panas, jika bisa ingin sekali ia menghabisi Dikki saat itu.
Ia menatap tajam pada keduanya, betapa emosinya kian tinggi saat ia melihat Nadira berusaha melepaskan diri dari pria brengsek itu.
" Tolong lepaskan tangan saya!", ucap Nadira dengan keras.
"Oh maaf! Tapi mengapa kau pergi?", kejar Dikki.
" Mbak Nadira, ayo cepat! Mobilnya sebentar lagi mau dipakai oleh pemiliknya!"
Ganda berdiri tegak mendekati keduanya, matanya tajam menatap Dikki.
Jelas Dikki menciut, tubuh Ganda yang tinggi kekar itu bukan tandingannya.
Apa lagi kedua rekan Ganda juga berperawakan sama dan juga sedang menatap Dikki, mengintimidasi. Dikki keder.
"Nadira mengapa kau pergi bersama laki laki seperti itu!?", tanya Dikki dengan seribu prasangka buruk.