Brian Carlos adalah seorang presiden direktur sekaligus pewaris tunggal salah satu perusahaan terbesar di suatu negara. Ia diterpa gosip miring tentang minatnya pada wanita.
Valerie, seorang wanita yang bekerja sebagai instruktur senam dengan keahlian beladiri yang mumpuni serta kehidupan penuh rahasia.
Keduanya terlibat masalah karena sebuah kesalahpahaman, hingga Brian menuntut Valerie atas kasus penganiayaan.
Demi menyelamatkan nama baiknya, Valerie menerima tawaran Brian untuk bekerja sebagai bodyguard. Namun tidak menyangka jika Brian sudah memiliki maksud lain sejak pertama kali mereka bertemu.
Akankah kisah mereka berakhir manis seperti kisah dalam novel pada umumnya?
Yuk baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vey Vii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menemui Brian
Valerie terpaksa menunda jadwal kegiatan kelas senamnya pagi ini agar bisa bertemu dengan Brian. Ia ingin masalah ini cepat selesai, sebelum polisi benar-benar mengeluarkan surat penangkapan.
Karena Brian sedang meeting, Valerie terpaksa menunggu. Ia duduk dengan sabar di sebuah kafe karyawan yang berada di dalam gedung tersebut. Setelah hampir dua jam, seseorang datang dan memberitahunya jika Brian sudah bersedia menemuinya.
Valerie berjalan mengikuti sorang laki-laki bertubuh tinggi tegap dengan berpakaian rapi, mereka sedang menuju ruangan tempat sang presiden direktur menunggu.
"Silahkan masuk," ucap si pengantar pada Valerie saat mereka tiba di sebuah ruangan yang terletak di lantai ketujuh gedung tersebut.
"Baik, Terima kasih." Valerie mengangguk sopan.
Wanita itu mengetuk pintu kaca tiga kali, lalu membukanya perlahan. Terlihat Brian sedang duduk di kursi kebesarannya sambil sibuk mengamati sesuatu di layar laptopnya.
Valerie berjalan beberapa langkah, mengamati sekitarnya. Di ruangan itu hanya ada Brian, Valerie lega karena tidak perlu berurusan dengan lebih banyak orang.
"Hai," sapa Valerie canggung. Ia mengangkat sebelah tangan sambil tersenyum tipis.
Brian mendongak, mengalihkan pandangan dari layar laptopnya ke wajah cantik Valerie. Laki-laki itu menatap Valerie dengan sedikit menyipit.
"Hei?" Brian mengulang sapaan Valerie. Ada banyak kalimat di dalam kepalanya, termasuk, "Dia menyapa dengan kalimat 'hei?' Berani sekali dia, apa dia tahu saat ini dia sedang berbicara dengan siapa?"
Namun, Brian sama sekali tidak mengeluarkan apa yang sedang ia pikirkan. Ia hanya menatap Valerie dengan pandangan kesal.
"Ah, aku bingung harus memulai dari mana. Tujuanku datang adalah untuk bernegosiasi. Maaf jika kedatangan ku mengganggu," ujar Valerie. Ia berjalan mendekat ke meja Brian, namun tetap berdiri sebelum laki-laki berkuasa itu mempersilahkan dirinya duduk.
"Aku mohon, bisakah kita cari jalan lain selain melibatkan polisi? Aku paham jika aku bersalah karena gegabah dan ceroboh, tapi kau juga harus mengerti situasi ku saat itu," jelas Valerie.
Wanita itu tersenyum, kedua tangannya memegang tali dari tas selempang yang ia kenalan. Sementara Brian, masih diam dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
"Jalan lain?" tanya Brian setelah beberapa menit diam dan berpikir.
"Ya, seperti mengganti biaya perawatan Max. Atau memberikan ganti rugi. Meski aku butuh waktu untuk mengumpulkan uang, tapi aku berjanji akan melakukannya," ujar Valerie yakin. Itu adalah pilihan terbaik, daripada harus berurusan dengan polisi, mencoreng nama baiknya dan membuat kakeknya khawatir.
"Aku kaya, aku punya banyak uang untuk biaya perawatan Max. Aku tidak tertarik dengan negosiasi yang berkaitan dengan uang!" tolak Brian tegas.
Valerie mendesah resah. Sejak awal ia yakin jika Brian akan menolak dan memamerkan kekayaannya, karena laki-laki itu sudah pernah melakukannya. Hanya saja, Valerie tidak memiliki ide lain sebagai penawaran.
"Tolong, Brian. Katakan saja apa yang perlu aku lakukan, jangan membuat situasiku menjadi sulit, seolah-olah hanya aku yang bersalah!" seru Valerie.
Mendengar kalimat penuh penekanan dari wanita yang berdiri di sisi meja kerjanya, Brian pun ikut berdiri. Ia melangkah dan berdiri tepat di depan Valerie.
"Pertama-tama, kau memanggil namaku sesuka hatimu. Apa kita teman? Apa kita dekat, Nona Valerie?"
"Ah, maaf," ucap Valerie pelan, ia menunduk. Lagi pula ia tidak tahu harus memanggil laki-laki itu dengan sebutan apa, karena Brian jelas terlihat seumuran dengannya.
"Kau sangat tidak sopan!" gerutu Brian sambil menghela napas.
"Lalu, bagaimana aku harus memanggilmu?"
"Mr. Carlos! Bukankah nama itu tertera dalam kartu namaku?" Brian balik bertanya.
"Maaf, baiklah."
"Sekarang, duduk," pinta Brian. Laki-laki itu membiarkan Valerie duduk di depan meja kerjanya, sementara ia kembali duduk dan mengendurkan dasi di lehernya.
🖤🖤🖤