Tipe pria idaman Ara adalah om-om kaya dan tampan. Di luar dugaannya, dia tiba-tiba diajak tunangan oleh pria idamannya tersebut. Pria asing yang pernah dia tolong, ternyata malah melamarnya.
"Bertunangan dengan saya. Maka kamu akan mendapatkan semuanya. Semuanya. Apapun yang kamu mau, Arabella..."
"Pak, saya itu mau nyari kerja, bukan nyari jodoh."
"Yes or yes?"
"Pilihan macam apa itu? Yes or yes? Kayak lagu aja!"
"Jadi?"
Apakah yang akan dilakukan Ara selanjutnya? Menerima tawaran menggiurkan itu atau menolaknya?
***
⚠️NOTE: Cerita ini 100% FIKSI. Tolong bijaklah sebagai pembaca. Jangan sangkut pautkan cerita ini dengan kehidupan NYATA.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon widyaas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
"Saya calon suaminya."
Deg!
Bu Laila seketika hampir serangan jantung. Dia menatap Ara yang terlihat acuh sambil menatap ke arah lain. Gadis itu seperti tak minat mendengar pembicaraan mereka.
"C-calon suami? Maksudnya?" tanya Bu Laila tak paham. Ara masih sekolah, kenapa Gevan mengatakan jika dia adalah calon suami Ara?
"Kami sudah bertunangan." Gevan mengangkat tangan Ara yang tersemat cincin pertunangan mereka. Gevan juga mengeluarkan cincin yang ia jadikan kalung.
Ara sedikit terkejut melihatnya. Dia kira hanya ia saja yang memakai cincin, ternyata Gevan juga ada. Hanya saja Gevan tak memakainya di jari.
Bu Laila mengangguk kaku. Jujur, dia masih tak percaya.
"Jadi, apa yang diperbuat Ara, sampai anda memberikan surat peringatan?"
****
"Kak Gevan langsung pulang?" tanya Ara.
Koridor kelas sudah mulai sepi karena sudah jam masuk pembelajaran. Ara belum masuk kelas karena dia menghadap Bu Laila untuk menyelesaikan kasusnya tadi.
"Saya ke kantor dulu," jawab Gevan.
"Ah, iya, itu maksudku," timpal Ara, karena dia merasa salah dengan pertanyaannya tadi.
"Ya udah, deh, kalau gitu. Hati-hati," lanjut Ara.
Gevan mengangguk dan menepuk-nepuk puncak kepala Ara sebentar.
Ara menarik tangan Gevan, lalu dia mengecup punggung tangan Gevan dengan lembut. Meskipun sudah biasa, tapi hati Gevan selalu berdesir saat Ara menyalami tangannya.
"Saya pergi dulu," pamit Gevan dan diangguki oleh Ara.
Ara memperhatikan punggung lebar Gevan yang semakin jauh.
Seketika dia teringat ucapan Gevan tadi yang seperti ancaman untuk Bu Laila.
"Saya tau Ara seperti apa. Dia tidak akan bertindak jika tidak ada yang mengusik. Jangan pernah melihat dari sebelah sisi. Ibu harus menyelidikinya dengan benar. Dan kalau sampai ada yang mengusik Ara lagi, maka saya tidak akan segan-segan untuk menuntut orang itu. Tolong sampaikan pada murid-murid anda."
Hampir saja saat itu Ara hendak bertepuk tangan karena takjub pada Gevan. Baru kali ini ada yang membelanya seperti Gevan.
Tapi, Ara lega karena sekarang dia memiliki seorang pelindung. Gevan adalah superhero Ara.
Dengan langkah yang begitu yakin, Ara pun masuk ke dalam kelasnya. Ternyata guru mata pelajaran jam pertama belum datang.
Seisi kelas langsung menatap ke arah Ara. Mereka tak lagi berbisik-bisik karena tau backingan Ara adalah Gevano Alexander, si pengusaha muda dengan segala kekuasaannya. Dengan sekali jentik saja, Gevan pasti akan membuat hidup mereka anjlok.
Dalam hati, Ara tersenyum puas melihat semuanya terdiam. Padahal dia yakin jika bibir mereka sangat gatal ingin bergosip. Ternyata pengaruh Gevan begitu besar, dan Ara baru menyadarinya. Seketika ia merasa bangga karena bertunangan dengan Gevan.
Entah apa yang terjadi kalau semua orang tau bahwa Gevan lah yang lebih dulu datang pada Ara dan melamarnya. Mungkin mereka akan serangan jantung berjamaah.
****
"Pasti dia yang goda Pak Gevan, iya, kan?"
"Bener. Gak mungkin kalau Pak Gevan yang mau."
"Dia tau aja yang mana yang berduit. Sampai berani banget jual diri ke Pak Gevan."
Sepertinya Bu Laila belum memberi peringatan pada murid-murid. Kalau sampai Gevan tau apa yang dibicarakan mereka, bisa habis bibir ember itu.
Ara mendengarnya, tapi dia acuh. Lagi pula Gevan sudah turun tangan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.
"Tebel banget mukanya. Padahal aslinya jallang."
Sebenarnya telinga Ara panas mendengar bisikan yang tak bisa dikatakan bisikan itu. Namun, Ara tetap diam karena tak mau lagi mendapat surat peringatan.
Kantin lumayan ramai karena sekarang jam istirahat. Seperti biasa, Ara duduk di pojok dekat jendela. Dia menikmati makanannya tanpa terganggu. Selagi perutnya kenyang, maka dia akan tenang.
"Cie yang berhasil goda Pak Gevan..."
Ara mendongak menatap Chyntia bersama dua temannya. Terlihat wajah Chyntia seperti mengejek Ara.
Ara mengabaikannya, dia lanjut makan. Malas meladeni ulat bulu macam mereka.
"Kira-kira satu malam berapa, Ra? Katanya Bagas mau nyewa juga," lanjut Chyntia. Dia sengaja memanas-manasi Ara agar gadis itu lepas kendali.
Bagas yang sedang antri makanan pun tak terima mendengar hal itu.
"Gak usah bawa-bawa aku, bisa?" sahut cowok itu.
Chyntia melirik sinis ke arah Bagas. "Kenapa? Bukannya kamu sendiri yang bilang kemarin?"
Tentu saja Bagas semakin tidak terima. Sejak kapan dia bicara seperti itu. Dengan penuh amarah, cowok itu menghampiri Chyntia lalu mencengkram lengan gadis itu.
Seketika Ara puas melihat wajah Chyntia yang kesakitan.
"Sejak kapan? Sejak kapan aku bicara seperti itu?" sentak Bagas.
"Lepasin, Bagas!" seru Chyntia.
"Kamu yang mulai! Kalau punya mulut itu dijaga! Gak usah mencemarkan nama baik orang!"
Setelah mengatakan itu, Bagas pergi. Namun, sebelum itu dia menatap Ara yang tetap acuh.
"Sombong banget muka kamu. Mentang-mentang berhasil godain Pak Gevan. Pasti kamu bakal jadi orang yang sok berkuasa, iya, kan?!" ucap Fitri, teman Chyntia.
Ara mengelap bibirnya dengan tisu, lalu dia menatap ketiga orang yang masih tak mau menyerah untuk mengusiknya.
"Kalian iri?"
Hanya dua kata, namun mampu membuat ketiga manusia itu meradang.
"Iri? Sorry, ya, Ara. Harga diri kami lebih mahal daripada harga diri kamu!" balas Nora, teman Chyntia.
"Lebih mahal? Berapa? Jadi, selama ini kalian jual diri?" Ara mengangkat sebelah alisnya.
"Dasar jallang!" sentak Chyntia.
"Dari nada bicara kalian aja, kelihatan banget kalau kalian iri. Asal kalian tau ya, girls. Gevan datang sendiri untuk melamar aku. Aku gak pernah jual diri kayak kalian!" ucap Ara dengan nada pelan yang terkesan mengintimidasi. Dia juga mengangkat tangannya yang di jari manisnya tersemat cincin pertunangannya dan Gevan.
Chyntia beserta kedua temannya menganga tak percaya.
"Bohong! Kami gak akan kemakan omongan kamu—"
"Kalau gak percaya, tanya sama Bu Laila." Ara dengan cepat memotong ucapan Fitri.
Setelah itu, dia pergi dari sana. Meninggalkan ketiga manusia yang sibuk membantah ucapannya. Beberapa orang juga mendengar dan berakhir menggosip dengan diam-diam.
****
"Nike, cari tau siapa pemilik sekolah itu."
"Baik, Tuan."
Gevan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kebesarannya. Dia memejamkan mata sambil menunggu Nike selesai mencari tau.
"Sudah ketemu?" tanya Gevan setelah beberapa menit berlalu.
Nike mengangguk. "Wildansyah. Dia adalah pengusaha batu bara."
Gevan mengangguk paham. "Hubungi dia. Atur pertemuan saya dengan Wildansyah."
Kening Nike mengerut. "Apa Tuan ada kerjasama dengan Tuan Wildansyah?" tanyanya. Sepertinya bosnya itu merencanakan sesuatu.
Gevan tersenyum tipis, namun Nike tak bisa melihatnya karena terlalu tipis. Gevan melirik asistennya sekilas, lalu berkata;
"Saya ingin membeli sekolah itu."
-
-
Suka-suka Gevan lah😝😝
Jangan lupa LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE LIKE
indah banget, ga neko2
like
sub
give
komen
iklan
bunga
kopi
vote
fillow
bintang
paket lengkap sukak bgt, byk pikin baper😘😍😘😍😘😍😘😍😘