Binar di wajah cantik Adhisty pudar ketika ia mendapati bahwa suaminya yang baru beberapa jam yang lalu sah menjadi suaminya ternyata memiliki istri lain selain dirinya.
Yang lebih menyakitkan lagi, pernikahan tersebut di lakukan hanya karena untuk menjadikannya sebagai ibu pengganti yang akan mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn, suaminya, dan juga madunya Salwa, karena Salwa tidak bisa mengandung dan melahirkan anak untuk Zayn.
Dalam kurun waktu satu tahun, Adhisty harus bisa mmeberikan keturunan untuk Zayn. Dan saat itu ia harus merelakan anaknya dan pergi dari hidup Zayn sesuai dengan surat perjanjian yang sudah di tanda tangani oleh ayah Adhisty tanpa sepengetahuan Adhisty.
Adhisty merasa terjebak, ia bahkan rela memutuskan kekasihnya hanya demi menuruti keinginan orang tuanya untuk menikah dengan pria pilihan mereka. Karena menurutnya pria pilihan orang tuanya pasti yang terbaik.
Tapi, nyatanya? Ia hanya di jadikan alat sebagai ibu pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
"Gak! Aku nggak setuju kalau kamu tinggal sendiri, Dhisty! Kalau kamu tinggal sendiri, aku nggak bisa urus kamu. Siapa ytangakan memperhatikan kehamilan kamu?" ucap Salwa yang tak setuju saat Zayn mengatakan kalau Adhisty ingin tinggal sendiri.
"Mbak Salwa jangan khawatir. Aku bisa jaga diri," ucap Salwa.
"Bisa jaga diri Bagiamna? nyatanya kemarin aku hampir saja kehilangan calon anakku. Pokoknya kmau harus tetap tinggal di sini biar bisa aku pantau. Kalau kamu tinggal sendiri, aku nggak bisa mengawasi kamu," kekeuh Salwa.
"Oke, kemarin memang aku ceroboh, tapi itu bukan sepenuhnya salahku. Apa mbak lupa kalau aku..."
"cukup! aku nggak mau dengar apapun!" Salwa memilih meninggalkan Zayn dan Adhisty.
"Biar saya yang membujuknya. Kamu bersiaplah! Saya akan mengantar kamu ke tempat tinggal barumu," ucap Zayn.
Adhisty senang mendengarnya. Ia tak peduli Bagaimana cara Zayn membujuk Salwa. Yang penting ia bisa segera pindah dari rumah tersebut.
..........
Dan di sinilah mereka sekarang. Di sebuah rumah yang tak sebesar rumah utama namun sangat cukup luas jika hanya di tinggali oleh Adhisty. Bangunan berlantai dua tersebut terlihat sangat asri dan nyaman. Adhisty sangat menyukainya, terlihat dari binar matanya yang tidak bisa berbohong.
"Bang, apa ini tidak terlalu besar untuk tempat tinggal Adhisty?" tanya Salwa yang ikut mengantar Adhisty ke rumah barunya.
"Iya mas. Ini terlalu besar menurutku," Adhisty setuju dengan ucapan Salwa kali ini. Meski ia menyukai rumah tersebut, tapi pasti akan sangat kesepian jika ia hanya tinggal seorang diri di sana.
"Ini bahkan bukan apa-apanya dari rumah utama. Di sini dia tidak sendiri, abang abang akan menyiapkan pelayan dan sopir. Abang rasa, di sini paling cocok untuk dia tinggal," ucap Zayn tak bisa di ganggu gugat.
"Kalau ayah mau, kau bisa memintanya untuk tinggal di sini untuk menemani kamu," Zayn melihat ke arah Adhisty.
Adhisty mengangguk meski ia tak yakin jika ayahnya mau meninggalakn rumah lama mereka yang menyimpan begitu banyak kenangan dengan almarhumah bundanya.
"Masuklah, biar saya turunkan koper kamu!" ujar Zayn lagi.
Adhisty mmebantu Salwa mendorong kursi roda Salwa meski sebenarnya tak perlu karena itu adalah kursi roda electrik yang bisa jalan tanpa di dorong.
"Walaupun tinggal di sini dan bisa menikmati semua fasilitas seperti nyonya rumah, tapi kamu harus tetap tahu diri dengan statusmu, Adhsity," ucap Salwa.
Adhisty tersenyum kecil mendengarnya, "Aku selalu tahu diri kok, mbak. Termasuk menutupi kalau malam itu mbak Salwa tidak memberitahu mas Zayn soal teleponku," ucapnya.
Salwa kaget mendengarnya, "Soal itu, aku lupa memberi tahu abang," ucapnya beralasan.
Adhisty tersenyum getir. Lupa? Alasan yabg sangat klise menurutnya, "Sebenarnya aku ingin tahu kenapa mbak tidak memberi tahu mas Zayn. Kalau waktu itu sampai janin ini tidak bisa di selamatkan, apa mbak mau di salahkan juga?"
"Maksud kamu apa? Sudah aku katakan, aku lupa memberitahu abang!"
Adhisty tak lagi bicara karena Zayn sudah masuk membawa kopernya.
"Kamarmu di atas, saya bawa ke sana sekalian. Salwa, tunggulah di sini saja. Di sini tidak ada lift untuk naik ke lantai atas," kata Zayn.
Salwa mengangguk saja. Zayn sudah berjalan hibgga ke bawah tangga, namun Adhisty masih berdiri di tempatnya.
"Di pikir saya pembantu? Ikut ke atas!" ucap Zayn. Adhisty langsung berjalan cepat menyusul suaminya tersebut, "Sini, biar aku saja. Mas bukan pembantu, kan?" Adhisty hendak mengambil alih koper di tangan Zayn.
"Tapi saya suami kamu!" Zayn tak membairkan Adhisty merebut kopernya.
"Ya udah sih kalau begitu, tinggal mas naik aja lalu tinggal di sana, kenapa harus sama aku ke kamarnya," ucap Adhisty yang hanya di cuekin oleh Zayn.
Sampailah mereka di kamar utama. Kamar yang luas, bahkan lebih luas dari kamar Adhisty di rumah utama, "Besar banget kamarnya. Padahal aku tidur sendiri di sini, apa nggak ada yang agak kecilan sedikit kamarnya?" tanya Adhisty. Ia duduk di tepi ranjang.
"Saya akan datang ke sini sesekali," ucap Zayn. Yang mana membuat Adhisty membolakan matanya.
"Ngapain mas Zayn mau ke sini?" tanya Adhisty.
"Menurut kamu?" Zayn justru balik bertanya.
Di tanya seperti itu, pikiran Adhisty malah traveling kemana-mana. Biasanya suami datang ke istri muda untuk memberi atau meminta jatah.
"Aih!" Adhisty meringis karena Zayn menyentil keningnya, pria itu tiba-tiba saja sudah berada di depannya dan membuyarkan lamunan Adhisty.
"Mikir apa? Saya akan sering ke sini untuk menjenguk anak saya. Jangan GR duluan kamu, pasti nikir yang tidak-tidak," ucap Zayn.
"Ck, siapa juga yang mikir aneh-aneh. Nggak ada ya!" sanggah Adhisty.
Zayn hanya tersenyum tipis, ia kembali mendekati koper Adhisty, "Mau saya bantu sekalian buat beresin, nggak?" tanyanya.
Adhisty langsung mengangguk, "Sini!" panggil Zayn.
Adhisty mendekat dan mulai merapikan baju-bajunya di lemari besar yang ada di kamar tersebut. Tiba-tiba saja, sesuatu melingkar di perutnya. Adhisty terkejut saat melihat dari kaca lemari dimana suaminya kini tengah memeluknya dari belakang.
"Mas..." Adhisty takut, setiap kalia Zayn bersikap manis terhadapnya.
"Sssssst," Zayn mengisyaratkan supaya Adhisty diam.
"Dengar, saya mungkin tidak bisa tinggal di sini bersama kamu setiap setiap detik, setiap waktu atau setiap hari. Untuk itu, kamu harus bisa jaga diri baik-baik. Jangan sampai telat makan, jangan ceroboh, kalau ingin sesuatu bilang sama bibi kalau saya sedang tidak ada di sini. Saya titip dia, jaga anak kita baik-baik. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya," ujar Zayn, ia mengusap perut Adhisty.
"Kok diam?" tanya Zayn yang tak mendengar jawaban Adhisty. Wanita iti sedang terpaku menatap layar kaca di depannya dengan perasaan tak menentu.
"Iya, mas. Aku dengar, aku ngerti. Mas Zayn jangan khawatir," ucap Adhisty kemudian.
Zayn mengurai pelukannya, ada rasa tak rela dalam diri Adhisty saat Zayn melepas pelukannya. Pria itu memutar bahu tubuh Adhisty hingga berhadapan dengannya.
"Setiap hari beri kabar kepada saya, bisa?" tanya Zayn yang kini memegang kedua bahu Adhisty. Ia harus sedikit menunduk untuk menatap wajah sang istri yang lebih pendek darinya.
"Bisa," jawab Adhisty.
"Jangan terlalu lelah, bisa?" tanya Zayn lagi.
"Iya, bisa," jawab Adhisty layaknya anak kecil yang sedang di nasehati ibunya.
"Kalau dia kangen ayahnya bagaimana?" kini Giliran Adhisty yang memberikan pertanyaan. Karena memang kadang ia merasa sangat ingin sekali bertemu Zayn, walauoun5 sekedar melihatnya saja.
Zayn tersenyum, "Panggil namaku tiga kali, maka saya akan datang," seloroh Zayn.
Adhisty manyun, "Aku serius!" ucapnya.
"Saya Duarius. Saya harus pergi sekarang. Salwa sudah menunggu di bawah. Kamu ingat semua pesan saya, ya? Kalau terjadi sesuatu..."
"Iya, aku akan menghubungi mas. Asal ponsel mas aktif terus! Udah sana kalau mau pergi. Istrinya udah nungguin, tuh!" Adhisty memotong kalimat Zayn yang Belum selesai. Mendengar Zayn akan segera pergi, rasanya ia tak rela. Tapi, ia juga tak bisa menahannya.
"Kok jadi ketus gitu? Udah di bantuin loh! Harusnya di kasih upah! Bukannya jadi ketus gitu,"
"Ya ampun, perhitungan banget. Mas Zayn itu sebenarnya kayak beneran enggak, sih?" ujar Adhisty.
Zayn hanya tersenyum mendengarnya. Ia mengacak rambut Adhisty gemas, "Relakan saya pergi, ya?" ucapnya lembut.
Adhisty malah meneteskan air matanya mendengar Zayn benar-benar pamit.
Zayn mengusap sudut mata Adhisty, lalu mencium bibir wanita tersebut lembut dan dalam sebelum ia benar-benar meninggalkan istri sirinya tersebut.
...----------------...