Binar jatuh cinta pada kakak kelasnya sudah sangat lama, namun ketika ia merasa cintanya mulai terbalas, ada saja tingkah lelaki itu yang membuatnya naik darah atau bahkan mempertanyakan kembali perasaan itu.
Walau mereka pada kenyataannya kembali dekat, entah kenapa ia merasa bahwa Cakra tetap menjaga jarak darinya, hingga ia bertanya dan terus bertanya ..., Apa benar Cakrawala juga merasakan perasaan yang sama dengannya?
"Jika pada awalnya kita hanya dua orang asing yang bukan siapa-siapa, apa salahnya kembali ke awal dimana semua cukup baik dengan itu saja?"
Haruskah Binar bertahan demi membayar penantian? Atau menyerah dan menerima keadaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon And_waeyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 28. Bertemu
Semalam, Cakra bilang ingin bertemu dengan Binar sore ini, gadis itu senang bukan main. Kini ia telah rapi sampai memoles wajahnya dengan polesan make up tipis. Binar sangat berusaha keras dan berdandan secantik mungkin. Ia tak sabar bertemu dengan Cakra.
Gadis itu mendengar suara bel berbunyi ketika ia baru saja keluar dari lift. Ekspresinya langsung semringah, menyangka kalau yang menekan bel itu adalah Cakra. Ia bisa melihat salah satu pelayan di rumahnya membuka pintu.
Saat ia melihat yang berdiri di depan pintu rumah adalah Cakra, Binar dibuat deg-degan, dari semalam ia tak bisa untuk tak memikirkan alasan kenapa Cakra ingin bertemu dengannya. Apalagi sebelumnya, ia nyaris tak bertatap muka berdua saja dengan Cakra. Rasanya seperti rindu yang akan terobati.
Gadis itu bergegas untuk menghampiri Cakra. "Kak Cakra!" serunya dari jauh.
Cakra dan pelayan yang tadi membuka pintu rumahnya, refleks menoleh mendengar seruan Binar. Setelah beberapa saat, ia sampai di dekat Cakra. Lalu dengan sendirinya Binar menyuruh pelayan tadi pergi menjauh.
"Jadi, umh ... kenapa Kak Cakra pengen ketemu aku?" tanya Binar agak malu-malu.
Lelaki itu memandangi penampilan Binar beberapa saat, lalu mengerjap dan menatap ke arah lain.
"Bisa kita ngomongnya di taman halaman depan rumah lo?"
"Oh iya, bisa kok."
Binar keluar dari rumahnya. Setelah itu, ia mengekor pada Cakra yang telah lebih dulu melangkah. Tapi hari ini, langit tak begitu cerah. Binar menatap langit, tak tahan untuk tak mendecak. Sepertinya cuaca, khususnya hujan, punya dendam kesumat terhadapnya, langit kini mendung seolah menandakan hujan akan datang.
Dalam hati ia memohon agar tidak hujan hari ini. Binar tak mau hari bahagianya dengan Cakra hancur lebur dan dibuat terpisah paksa oleh hujan. Berdamailah untuk hari ini saja, meski di sisi lain jika hujan ia bisa mengajak Cakra masuk ke rumahnya.
"Seno bilang apa sama lo?" tanya Cakra to the point setelah mereka berada di taman.
"Hm?"
"Tentang masalah gue sama dia, Seno bilang apa?"
Binar kini mengerjapkan mata. "Maksud Kak Cakra apa?"
Lelaki itu menghela napas pelan. "Papa berubah drastis akhir-akhir ini dan alasannya baru gue tahu kemarin malam. Papa bilang lo ngejelasin masalah gue sama Seno yang lo tahu dari Seno. Dia cerita sama lo, apa aja yang dia ceritain?"
"Oh ... itu. Kak Seno bilang hubungan kalian merenggang, katanya itu salahnya dan ada sedikit salah paham juga yang bikin Kak Cakra benci sama kak Seno. Dia berusaha untuk memperbaiki semuanya dan minta bantuan aku. Dia pengen ketemu sama Kak Cakra, tapi Kak Cakra nggak mau," ucap Binar.
"Terus kenapa lo bilang sama papa gue?"
Dari cara Cakra berbicara, Binar bertanya-tanya apa ia sudah melakukan kesalahan lagi? Ekspresi lelaki itu terlihat tak senang.
"Karena aku pikir ... om Asgar bisa bantu masalah kalian, kalian keluarga, pasti bisa lebih ngerti satu sama lain. Soalnya kak Cakra sama kak Seno nggak akur padahal kalian saudara. Jadi, aku harap om Asgar sebagai papa Kak Cakra dan kak Seno bisa nemuin jalan tengahnya."
Cakra duduk di bangku taman yang ada di sana, begitu juga Binar. Lelaki itu tampak menghela napas dalam.
"A-aku salah ya?" tanya Binar takut-takut.
"Pertama, lo buat rencana sama Seno, sekarang sama papa gue. Padahal ini bukan masalah lo, Bi. Kenapa lo ikut campur?"
Binar menelan ludahnya sesaat. Ia meremas kedua tangannya pelan.
"Aku cuma pengen bantu," lirih Binar.
Kening Cakra mengernyit. "Itu masalahnya, lo ngerasa bisa bantu. Padahal nggak, apa lo pernah punya masalah, tapi orang lain yang nggak ada sangkut pautnya sama masalah lo malah ikut campur?"
Kalau dibilang begitu, sebenarnya Binar juga ada di antara ia dan Seno. Tapi Cakra tetap merasa seharusnya Binar tidak boleh ikut campur. Entah dengan apa dan bagaimana, ia pikir bisa menyelesaikannya sendiri jika mau, ia hanya belum ingin.
Gadis itu hanya diam.
"Pasti nggak pernah. Soalnya kalau pernah, lo nggak akan seberani itu untuk ikut campur urusan gue sama Seno," lanjut Cakra.
"Aku ... aku minta maaf," ucap Binar pelan.
Suasana diliputi keheningan. Semilir angin berembus menusuk kulit Binar. Gadis itu sudah benar-benar tidak enak hati kali ini. Padahal sebelumnya sangat berbunga-bunga.
"Gue cuma minta, nggak usah ikut campur urusan gue, lo harus tahu batasan lo. Bukan berarti lo tahu apa masalah gue, lo bisa lakuin sesuatu seenaknya. Padahal sebenarnya, lo nggak tahu apa-apa, Bi, dan sama sekali nggak berhak masuk seenaknya sama urusan orang lain, lo seharusnya cukup tahu diri untuk menyadari siapa lo, tanpa perlu dibilang bukan siapa-siapa sama sekali."
Cakra tak sadar jika ucapannya begitu menusuk hati Binar. Cakra tak tahu, ada hati yang dibuat hancur oleh perkataannya.
"Atau mungkin harus gue perjelas? Lo bukan siapa-siapa, jadi berhenti ikut campur urusan gue."
Setelah mengatakan itu, Cakra berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Binar yang terdiam, masih duduk di tempatnya. Cairan hangat sudah mengumpul sedari tadi di pelupuk mata gadis itu. Bersiap menumpahkah semua sakit dan luka karena ucapan Cakra, yang membuat aura di sekelilingnya muram dan mendung seperti halnya langit sore ini.
Lo bukan siapa-siapa.
Ucapan lelaki itu sampai terngiang di pendengarannya, seolah menghantam berkali-kali. Bukan siapa-siapa? Lalu selama ini, hubungannya dengan Cakra ... apa? Apa dirinya bukan pacar lelaki itu? Apa dirinya sama sekali tidak spesial untuk Cakra? Atau selama ini ... hanya ia yang mencintai lelaki itu? Hanya ia yang menganggap Cakra pacarnya? Lirih hati Binar.
Bertepatan dengan hujan deras yang jatuh, cairan hangat dari kedua mata Binar juga ikut meleleh menyusuri kedua pipinya. Binar menangis di tempat itu.
Ia tak bermaksud ikut campur atau pun sok tahu.
Gadis itu membiarkan air yang tumpah dari langit membasahi tubuhnya. Binar tersedu, air matanya telah bercampur dengan air hujan dan ia sama sekali tak ingin beranjak dari sana.
Binar terisak dan tergugu. Rasanya sakit sekali. Rongga dadanya teramat sakit. Patah yang lebih hebat daripada sebelum-sebelumnya.
"A-a-aku benar-benar, m-minta maaf ...," lirih Binar di sela tangis sambil memeluk tubuhnya sendiri.
Hujan memang datang tak salah waktu dan tempat. Ia tahu kapan untuk jatuh. Entah itu ketika tak diinginkan, atau pun diminta-minta untuk datang.
Ia yang satu-satunya kini memeluk kesendirian Binar oleh derasnya, menyamarkan tangis oleh tetesnya, dan menemani gadis itu dalam lukanya.