NovelToon NovelToon
Memeluk Luka

Memeluk Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Cinta setelah menikah / Pengganti / Cerai / Keluarga / Angst
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: fromAraa

terkadang tuhan memberikan sebuah rasa sakit kepada para hambaNya sebagai perantara, agar mereka lebih dekat dengan tuhannya...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fromAraa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

tentang ibu

Pov serayu

Masa lampau

Aku, hanyalah seorang perempuan yang tak pernah merasakan sebuah kasih sayang dari seorang ayah, tak pernah mendapatkan peran dari seorang ayah, bahkan hingga kini, tuhan masih saja memberiku sebuah cobaan perihal seorang laki-laki.

Seakan tuhan tak mengizinkan aku bertemu bahkan untuk hidup dengan laki-laki di bumi ini.

Seorang ayah yang harusnya menjadi cinta pertama bagi anak perempuannya, justru ayahku menjadi luka pertama bagiku. Luka yang begitu sulit untuk ku sembuhkan sendirian disini.

Hidup berdampingan bersama seorang ibu selama 25 tahun, menjadikan aku seorang perempuan yang selalu berusaha memiliki pribadi yang lebih kuat dan tabah untuk menerima segalanya.

Ibu tak pernah mengeluh atas takdirnya, justru ibu sangat bersyukur karna tuhan telah menitipkan aku kepada beliau sebagai tumpuan penguat jiwanya disini. Itulah alasan pertama bagiku untuk selalu menerima segala takdir tuhan dengan begitu lapang.

Seorang perempuan yang sudah mengorbankan segala bagian hidupnya hanya untuk seorang anak dari laki-laki yang tak mau bertanggung jawab atas perbuatannya.

Mungkin cabaran yang sedang aku jalani sekarang memang terasa sangat sakit bagiku, tapi jika aku teringat kembali dengan perjuangan ibuku tempo dulu, bahkan cabaran ini belum ada apa-apanya dibandingkan dengan cabaran milik beliau.

Dulu ketika tuhan mengirimkan jerry ke dalam bagian hidup yang tak lengkap ini, jerry datang sebagai sebuah kepingan untuk melengkapinya, dan aku bersyukur atas itu.

Lalu saat tuhan mengambil jerry dariku, menjauhkan laki-laki itu dari hidupku, mengambil sebuah kepingan itu kembali dari hidup yang tak lengkap ini.

Tuhan memang hanya mengambil satu keping itu dari puzzle yang sedang ku susun. Tapi aku tak tau jika kepingan yang hilang itu justru bisa membuat puzzle ku hancur berantakan.

Dan satu hari saat tuhan kembali menghadirkan seorang laki-laki bernama jovandra rahandika wicaksono, salah satu seorang pasienku di rumah sakit. Aku tak pernah berniat sekalipun untuk menaruh angan-angan yang tinggi pada jiwa laki-laki itu, selain jiwanya yang susah sekali untuk disembuhkan aku memang tak punya perasaan apapun untuknya.

Aku selalu berfikir, bahwa hakikatnya memang people come and go, bukan?

Apapun alasannya. Entah itu sebuah kematian atau takdir tuhan yang lain. Jika diawali dengan pertemuan, pasti akhirnya akan ada perpisahan.

Tapi tuhan telah menghancurkan sebuah tembok yang telah aku bangun dengan susah payah. Rasa ini, rasa yang tak pernah ku pikir akan kehadirannya. Justru mereka lah yang membuatku ingin terus bertahan disini, ingin terus membantu untuk kesembuhan laki-laki itu.

Aku sudah mencoba menyangkal semuanya, seperti saat jovandra yang selalu menyangkal rasa rindunya kepada sang raga yang telah ia kebumikan dengan seluruh rasa cinta itu.

Tapi aku seakan menelan ludah sendiri.

Aku yang sudah berjanji kepada diri sendiri untuk tak ada cinta yang tumbuh dalam pernikahan ini, karna memang dari sudut pandang ku, aku hanya terpaksa melakukannya.

Tapi segalanya tak berjalan seperti kehendak ku sejak awal. Entah sejak kapan rasa cinta itu tumbuh. Dan lagi, meskipun aku tau cinta itu tak akan berjalan dengan baik, tapi aku tetap menyimpan rasa ini di hatiku.

Kehidupan pernikahan kami berjalan layaknya pernikahan orang lain di luaran sana.

Seakan ada sebuah cinta yang tumbuh di dalamnya, padahal itu hanyalah kedok semata untuk menjalankan tanggung jawab sebagai suami istri.

Tapi saat tuhan menitipkan seorang malaikat kecil kepada kami, dari situlah aku mulai bertanya tentang kebenaran cinta ini. Rasa yang tumbuh di tengah-tengah pernikahan kami.

Gerriando abraham wicaksono, seorang malaikat kecil yang begitu rapuh keluar dari rahimku. Aku ingin sekali menangis saat pertama kali menyentuhnya.

Tubuh yang kecil dan terlihat begitu ringkih, bola matanya yang terlihat mirip seperti bola mataku, berwarna hazel yang indah. Pahatan wajah yang ku akui menjadi duplikat seorang jovandra rahandika wicaksono di sana, serta tangisan nyaring yang begitu memekakkan telinga, namun terdengar seperti alunan musik yang begitu indah di telingaku.

Jujur saja aku sangat takut saat itu.

Takut tak akan bisa memberikan sebuah ruang tenang untuknya kelak, takut tak bisa memberinya rumah yang hangat, takut tak bisa membawanya dalam sebuah jalan yang ramai dan tak sepi.

Takut sekali...

Tapi jovandra, laki-laki itu selalu bisa meyakinkan aku agar bisa melewati semua ini bersama dirinya.

Meskipun rasa sakit yang ia berikan kepadaku selalu berulang dan selalu sama. Tapi aku tetap berusaha bertahan disini untuk anak kami.

Mungkin gerriando kelak akan berfikir, bahwa ia telah tumbuh di dalam sebuah rumah yang semua penghuninya mempunyai luka. Tapi aku tak akan membuatnya berfikiran seperti itu.

Geri tumbuh menjadi anak yang menurutku luar biasa, dalam artian segala hal yang mencakup kehidupan ini.

Umurnya baru menginjak 5 setengah tahun, tapi pikirannya seakan sudah dewasa. Dahulu, aku berniat memanggil anak itu dengan nama geri ataupun ebra, itu akan terdengar sangat lucu dan menggemaskan bukan? Awalnya masih biasa saja dan berjalan dengan lancar.

Namun saat anak itu berumur 2 tahun dan sudah mulai bisa berbicara, ia mengutarakan isi hatinya bahwa ia tak ingin di panggil dengan nama geri ataupun ebra, ia ingin di panggil mamas saja.

Aku dan suamiku bingung, karna dilingkungan rumah kami tak ada orang yang dipanggil dengan embel-embel mamas/mas saat itu. Bahkan aku juga tak pernah memanggil jovandra dengan embel-embel 'mas', aku hanya memanggilnya 'jo' ataupun 'ayah' ketika sedang bersama geri. Tapi jovandra langsung menyetujui akan permintaan anaknya yang ingin dipanggil mamas.

Lucu bukan? Tau tau darimana dia?

Geri adalah seorang anak laki-laki yang selalu berusaha tumbuh bersama kami. Ia selalu mengerti ayah dan ibunya dalam hal sekecil apapun.

Meskipun ia sedikit pendiam, tapi selalu ada banyak hal yang ingin diketahui. Ia tak segan untuk bertanya ketika baru pertama kali melihat hal yang nampak asing di matanya. Entah itu makanan, minuman, sayur, buah, benda-benda, atau hal apapun yang menurutnya terlihat asing.

Sejauh ini aku dan jovandra selalu bisa untuk melengkapi hidup anak itu. Ia terlihat tak pernah merasa kekurangan, baik dalam materi maupun peran dari seorang ayah dan ibu.

Geri juga tak pernah membuat ayah dan ibunya kewalahan ketika mengurus anak itu. Ia selalu mendengarkan ucapan aku dan jovandra. Anak itu selalu meminta izin kepada kami ketika akan melakukan atau menginginkan sesuatu yang belum pernah ia minta kepada kami.

Hingga satu hari saat aku mengajaknya berkunjung ke tempat ila. Ia bingung, dan bertanya kepadaku,

"Ibu, ini kuburan siapa? Kenapa kita kesini? Siapa yang meninggal bu?"

"Ini tempat bunda ila, beliau teman ibu"

Jawabku hari itu. Tapi saat dewasa, ia semakin sering datang ke tempat itu. Entah dengan atau tanpa diriku. Entah apa yang ia sampaikan kepada sang pemilik pusara itu, aku tak pernah berniat ingin menanyakan akan hal itu.

Satu hari, saat kami (serayu dan geri) masuk ke kamar yang ada di lantai bawah. Kamar dimana segala kenangan milik jovandra ada di sana. Jovandra meminta tolong kepadaku untuk mencari sebuah mesin printer di sana, kebetulan geri ada di rumah jadi aku meminta tolong pada anak itu untuk membantuku mencari sebuah mesin printer yang dimaksud oleh jovandra.

Tapi saat kami mencoba mencari mesin itu, geri menemukan sebuah bingkai foto yang dulu pernah aku temukan juga disini, saat kali pertama aku masuk ke kamar ini.

"Ibu, ini siapa? Kenapa ada foto ayah disini bersama wanita lain? Apa ayah pernah menikah sebelumnya?"

Deg

Jantungku seakan ingin melompat dari tempatnya, bagaimana bisa aku lupa untuk menyimpan bingkai foto itu? Padahal jovandra sudah menyuruhku sejak lama.

Setelah itu, aku menceritakan semuanya kepada geri, tanpa terkecuali. Kami tak pernah berniat menyembunyikan hal itu kepadanya, kami hanya berusaha tak membicarakan sesuatu yang tak perlu dibicarakan secara tiba-tiba. Tapi geri sudah melihat foto pernikahan ayahnya dengan mendiang ila. Mau tak mau aku harus menjelaskan segalanya.

Geri mulai mengerti dengan penjelasanku. Ia mulai membandingkan kejadian-kejadian tempo dulu tenang ayahnya yang sering menangis di kamar saat aku tak ada dan hal-hal yang lain yang bersangkutan dengan sang ayah.

Aku hanya diam, aku tak bermaksud memberi tahu tentang luka yang ada di dalam jiwa ayah nya saat itu, aku juga tak bermaksud untuk membawanya masuk kedalam lubang kelabu yang telah lama aku tinggali dengan jovandra.

Entahlah...

Kamar itu kini telah dijadikan tempat penyimpanan barang oleh jovandra, atau orang biasa menyebutnya dengan gudang. Ia menyuruhku untuk meletakan barang-barang yang tak terlalu penting ke dalam kamar itu. Aku hanya menuruti perintahnya saat itu. Mungkin saja ia tak ingin berlarut dengan segala kenangan di dalam sana.

Tapi tetap saja, laki-laki itu masih bermimpi tentang ila setiap malam, laki-laki itu masih saja meraung-raung diatas pusara ila setiap kali berkunjung kesana, bahkan laki-laki itu masih saja menangis dikamar kami.

Aku tak pernah meminta lebih kepada jovandra. Aku hanya memintanya untuk bertahan setidaknya untuk diri sendiri dan untuk darah dagingnya.

.........

06.30

Kediaman jovandra, beberapa tahun kemudian...

"Ibu, hoodie gibran dimana?" Ucap anak bungsuku dan jovandra yang berdiri di lantai atas tepat di depan kamarnya.

"Ibu, ini kayaknya kaos kaki ayah nyasar ke lemari mamas" ucap si sulung yang kini berada di sebelah adiknya

"Bu saya hari ini ada meeting mendadak, pake dasi yang mana ya?" Tak mau kalah dengan kedua anaknya, jovandra berjalan keluar dari bilik kami sembari membawa 3 lembar dasi dengan warna dan corak yang berbeda.

Aku hanya menarik nafas lalu membuangnya secara perlahan, seperti itu berulang kali. Posisiku sekarang berada di dapur sedang menyiapkan sarapan untuk para laki-laki di rumah ini. Maklum, aku memang menolak untuk dicarikan seorang art oleh suamiku jovandra.

Meskipun begitu, aku tetap menikmati kegiatan seperti ini setiap harinya. Meskipun memang tak jarang akan terjadi hal seperti ini. Dimana ketika ayah dan dua anak laki-laki nya membutuhkan bantuanku secara bersamaan, seperti kejadian pagi ini.

"Ayah, mamas dan kakak coba turun kebawah, sini ke depan ibu sebentar biar ibu jelaskan satu persatu, oke?" Ucapku dengan suara lembut kepada mereka bertiga.

Ketiganya bergegas untuk turun ke bawah, berjalan ke arahku seperti permintaanku tadi, lalu berjejer seperti sebuah pasukan militer yang tengah disiapkan oleh ketuanya.

Aku melipat bibirku kala melihat ketiganya dalam posisi tegak, benar-benar seperti seorang anggora militer yang sedang berbaris, pikirku.

"Ibu kenapa ketawa?" Itu suara si bungsu, ternyata anak itu memperhatikan aku dari tadi.

Seketika ayah dan si sulung juga ikut memperhatikanku dari posisi mereka.

"Bu, ini gimana?" Tanya mamas si sulung.

"Ayah, tadi ibu sudah siapkan kemeja warna burgundy kan? Pake dasinya yang ayah pegang di tengah" ucapku, lalu jovandra pamit mengundurkan diri untuk bersiap

"Mamas, itu kaos kaki bukan punya ayah, tapi itu punya mamas yang memang baru ibu belikan kemarin" mamas hanya memberi cengirannya kepadaku tak lupa mengucapkan terimakasih lalu kembali ke kamarnya guna bersiap

"Dan..." si bungsu gibran juga memberikan cengirannya kepadaku. Seakan sudah tau apa yang akan ku katakan kepadanya

"Kakak, hoodie yang mana yang ngga ada? Kemarin waktu kamu pulang kuliah, ibu ngga lihat kamu bawa hoodie atau apapun itu. Kamu cuma bawa tas laptop dan antek-anteknya aja, udah itu doang"

Lagi-lagi anak itu menampilkan cengirannya kepadaku. Menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dan membuat ekspresi seakan sedang mengingat kembali dimana ia meletakan barang yang sedang dicari pagi ini.

"Giban juga lupa bu, kemaren waktu pulang kuliah kan ngerjain tugas di rumah radja tuh, nah setelah itu tuh gibran ngga sadar bawa hoodie atau engga terus baru keinget sampe sekarang"

"Nah kan...coba kamu tanya ke radja dulu kak, siapa tau emang kamu lupa ngga bawa hoodie nya balik ke rumah dan masih ketinggalan di sana" ucapku lembut yang mana diangguki oleh si bungsu yang dijuluki sebagai 'raja agung pelupa' di rumah ini.

"Ya Udah nanti gibran tanyain ke radja deh, makasih dan minta maaf ibu serayu yang cantik" ucapnya mencoba menggodaku sambil memberi sebuah ciuman di pipi kanan dan kiri.

"Kalau udah rapih langsung turun, ajak mamas juga ya" ucapku sedikit berteriak kepada si bungsu gibran yang sudah berlari ke lantai atas.

Setelah ketiganya siap, kami sarapan bersama seperti biasa. Berbincang ringan masih menjadi kebiasaan jovandra dengan anaknya. Dari saat gerriando masih balita, hingga kini anak itu sudah beranjak dewasa bahkan sudah punya adik juga, jovandra masih tetap seperti itu.

"Hari ini mamas kemana?"

"Ke studio yah, prabu mau masuk juga kesana jadi mamas bantuin dia"

Jovandra mengangguk

"Gibran ngga ditanya?"

Hampir saja aku tersedak makanan yang sedang aku kunyah. Aku tak menduga kalau si bungsu akan mengajukan pertanyaan seperti itu kepada ayahnya. Tak hanya aku, tapi semua yang disini juga merasakan hal yang sama sepertiku. Bahkan mamas sudah tersedak, aku segera memberi minum kepadanya.

"Kenapa? Apa yang salah sama pertanyaan gibran?" Ucap si bungsu lagi.

"Ngga ada yang salah sama ucapan kakak, ibu sama mamas cuma keselek aja itu" ucap jovandra mencoba menenangkan si bungsu

"Kakak hari ini jelas dateng ke kampus kan? Makannya ayah belum nanya ke kamu"

"Tapi gibran hari ini mau ke rumah radja dulu yah"

Lagi, mamas si sulung itu tersedak lagi karna mendengar jawaban adiknya yang diluar nalar.

"Ish mamas apa sih"

"Pelan-pelan aja mas, ngga ada yang mau minta makanannya kok" ucapku menggoda sang empu yang sudah tersedak dua kali dalam pagi ini.

"Mamas udah nih, pamit berangkat dulu ya ayah, ibu" ucap si sulung meletakan piring kotornya ke wastafel dan mencium pipiku

"MAMAS TUNGGU!!!" Sungguh memekakkan gendang telinga!

Si bungsu juga sama seperti mamasnya, meletakan piring kotor itu ke wastafel dan menciumiku lalu berlari keluar rumah menyusul sang mamas.

"KAKAK NGGA USAH LARI!!!" ucapku reflek ikut berteriak saat melihat gibran berlari ke arah mamasnya.

Jovandra yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

Setelah ketiganya pergi guna melakukan aktivitas mereka masing-masing. Aku juga segera bersiap untuk ke rumah sakit.

Ahhh entah author lupa atau memang belum berniat bercerita

Aku sudah kembali bekerja di rumah sakit sebagai dokter psikiater seperti dulu semenjak gibran duduk di bangku SMP. ruangan praktik yang sudah disiapkan oleh jovandra untukku tetap ada di sana. Tak jarang ku gunakan untuk bertemu dengan pasien yang memang tak ingin datang menemui ku ke rumah sakit.

Begitu juga dengan jovandra. Laki-laki itu sudah bekerja full kembali di perusahaannya sudah lebih lama daripada aku. Kira-kira saat geri duduk di bangku sekolah dasar, saat itu juga keadaan kantornya mulai kacau karna ada seorang staf yang berkhianat dari jovandra.

Aku sangat prihatin saat itu. Bisnis yang dibangun susah payah olehnya, harus terancam hanya karna ada seorang staf tak bertanggung jawab yang sudah membocorkan sebuah data perusahaan.

Tapi jovandra tak gentar. Ia tetap berusaha untuk maju dan mengembalikan bisnis miliknya seperti sedia kala.

Mamas? Si sulung gerriando memutuskan untuk bekerja di salah satu studio terbesar yang ada di jakarta, setelah lulus dari S1 teknik sipil di usia 23 tahun. Usia mamas genap 25 tahun di bulan september nanti, yang artinya ia sudah bergelut dengan dunia kerja kurang lebih 2 tahun. Aku tak pernah menuntutnya untuk menjadi ini dan itu, justru aku selalu mendukungnya apapun keputusan yang akan ia ambil di dalam hidup ini.

Sedangkan si bungsu gibran, yang selalu iri dengan mamasnya hanya karna sebuah embel-embel nama panggilannya.

"Ibu, kenapa mamas dipanggil seperti itu sedangkan gibran dipanggil adek?"

"Lalu, gibran mau dipanggil apa sama ayah dan ibu?"

"Gibran mau dipanggil kakak juga...yang boleh manggil adek itu cuma mamas!"

Ckckck...dasar anak jovandra!

Si bungsu gibran kini masih kuliah semester 2 di kampus tempat mamasnya menimba ilmu, dengan jurusan yang sama pula. Alasannya, karna si bungsu mengidolakan sang mamas, menganggap mamasnya sebagai jagoan di hidup ini.

Se-simple-itu, tapi tidak semua adik dan kakak bisa seperti mereka.

Umur si bungsu 5 tahun lebih muda dari mamasnya. Usia si bungsu genap 20 tahun di bulan juni nanti, tepatnya tanggal 6. Kalo kata mamasnya, adek itu suka tantrum, tapi mamas tetep sayang sama adek karna adek sudah lahir ke dunia ini dengan sehat dan selamat. Ucapan mamas kala itu membuat air mataku jatuh tanpa diminta.

Tak berbeda denganku dan jovandra, si sulung gerriando juga selalu mengusahakan hidup adiknya. Ia selalu melindungi si bungsu bagaimanapun keadaannya. Seperti melihat diri sendiri...

Untuk anak-anakku, gerriando abraham wicaksono dan gibran avicenna wicaksono. Semoga tuhan selalu melindungi jiwa dan raga kalian, serta selalu melimpahkan segala kebahagiaan dibawah langit manapun raga kalian berpijak... 

To be continued...

1
Yaka
best quote🖐️🔥
Tajima Reiko
Aku jadi terbawa suasana dengan ceritanya, bagus sekali! ❤️
fromAraa: terima kasih/Pray//Pray//Pray/
total 1 replies
Shinn Asuka
Kakak penulis, next project kapan keluar? Aku udah kangen!
fromAraa: nanti yaaa
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!