Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 menunda keberangkatan ke kota
Rama duduk di tepi ranjang, termenung. Di telapak tangannya, Pil Kultivator itu memancarkan aura lembut, pil yang menjanjikan lompatan bakat tertinggi.
Ia mengamati sekeliling kamar yang sederhana—sebuah rumah yang asing untuk melakukan terobosan sebesar ini. Apalagi, Sistemnya sudah mewanti-wanti, prosesnya membutuhkan sepuluh hari penuh. Rama menggeleng pelan. Keputusan sudah bulat: ia harus menundanya dan mungkin memundurkan jadwal keberangkatannya ke kota.
“Sistem,” bisiknya, “bisakah kamu simpan kembali pil ini?”
[DING! Tentu, Tuan. Sistem tidak seperti pepatah 'kucing bisa naik tidak bisa turun'. Jika Sistem bisa mengeluarkan, akan memalukan sekali jika tak bisa memasukkannya lagi.]
Rama sempat terpaku. "Rupanya kau pandai berbudi bahasa juga, Sistem," gumamnya, tersenyum tipis.
[DING! Proses penyimpanan pil diproses...]
Seketika, pil di telapak tangannya lenyap, seolah tak pernah ada.
“Sistem, buka profil,” perintah Rama.
[DING! PROFIL TUAN RUMAH PEMILIK BUKAN SISTEM BIASA]
NAMA | Rama Keswara
RAS | Manusia
UMUR | 17 Tahun
KEKUATAN TUBUH | 70% / 1000%
POIN TUKAR | 580
KEAHLIAN KHUSUS | Memasak Raja Chef |
| HADIAH BELUM DIAMBIL | Uang Tunai Rp 25.000.000 & Pil Kultivator Bakat Tertinggi |
Melihat barisan data itu, senyum Rama melebar menjadi tawa kecil yang tertahan. Dua puluh lima juta Rupiah! Uang sebanyak itu, bagi Rama yang dulu, berarti setidaknya satu tahun kerja keras tanpa henti—sekarang hanya hadiah sampingan.
Jam di dinding menunjukkan pukul empat sore. Waktunya bergerak. Ia segera menyambar handuk dan bergegas mandi. Setelahnya, ia langsung menuju dapur. Aroma masakan Bu Maya sudah menyambutnya di sana.
Di Dapur Bu Maya
Bu Maya tampak sibuk di depan kompor.
“Rama, kapan kamu pulang?” tanya Bu Maya tanpa menoleh, terkejut karena tak menyadari kepulangan pemuda itu dari pasar.
“Baru saja, Bu,” jawab Rama ringan. “Oh iya, sekalian tadi aku beli beberapa bahan untuk masak.” Ia meletakkan beberapa kantong plastik berisi belanjaan di meja.
Bu Maya akhirnya menoleh, alisnya terangkat. “Loh, kenapa kamu malah beli bahan-bahan ini? Bukannya kamu mau beli beberapa set pakaian?”
“Aku sudah membelinya, Bu. Masih ada sisa sedikit, jadi aku belikan bahan-bahan ini,” jelas Rama.
Bu Maya segera memeriksa isi kantong: ada potongan daging ayam, ikan segar, dan bermacam sayuran. Kerutan di keningnya tak hilang. "Kamu ini. Memangnya berapa potong pakaian yang kamu beli? Bukannya memiliki banyak pakaian lebih baik?"
Bu Maya tampak kurang senang. Ia mengira Rama terlalu memaksakan diri, padahal di matanya, pemuda itu tidak punya banyak uang.
“Cukup kok, Bu May. Meskipun tidak banyak, tapi cukup untuk sementara waktu,” jawab Rama menenangkan.
“Ya sudah, Ibu masak dulu,” ujar Bu Maya, mulai fokus kembali pada wajan.
Namun, ucapan Rama selanjutnya membuatnya terpaksa menoleh lagi.
"Bu… bagaimana kalau aku saja yang memasak?"
Bu Maya memandangi Rama dari kepala sampai kaki, ada nada ingin tahu dalam suaranya. “Memangnya kamu sudah mandi?”
Rama mengangguk, sorot matanya yakin. "Sudah, Bu."
“Kalau begitu, biarkan Ibu membantu sedikit saja,” ujar Bu Maya, hatinya tergelitik rasa penasaran. Ia masih ingat betul rasa nasi goreng istimewa yang Rama buat pagi tadi.
Rama tersenyum, mengangguk setuju, dan segera mengambil alih meja masak.
Rama berdiri di depan meja dapur, menguasai ruang itu seolah-olah ia berada di dapur restoran bintang lima. Meskipun dapurnya sederhana, aura yang terpancar dari gerakannya sungguh berbeda.
Bu Maya berdiri di samping, awalnya berniat membantu, tetapi kini ia hanya terdiam. Di tangannya, pisau yang ia pegang terasa berat, dan niatnya untuk memotong sayuran pun terhenti.
Rama mulai bekerja dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa.
Ia mengambil daging ayam dan ikan yang baru dibeli. Gerakan pisaunya cepat, presisi, dan nyaris tanpa suara. Potongan daging ayam yang harusnya tebal menjadi irisan sempurna yang sama rata; ikan dibersihkan dari tulang dan duri tanpa menyisakan serpihan sedikit pun.
“Pola potongannya… kenapa bisa begitu rapi?” gumam Bu Maya, suaranya nyaris tak terdengar. Ia telah memasak selama puluhan tahun, tetapi belum pernah melihat teknik memotong seefisien itu.
Rama tidak banyak bicara. Ia bekerja secara insting. Ia menyiapkan bumbu. Bawang putih, bawang merah, cabai—semua dihancurkan dengan gerakan batu ulekan yang ritmis, menghasilkan pasta bumbu yang teksturnya sangat halus dan aroma yang seketika memenuhi dapur, mengalahkan aroma masakan Bu Maya sebelumnya.
Saat ia mulai menumis bumbu, suhu wajan seolah-olah patuh pada perintahnya. Minyak panas berinteraksi dengan bumbu-bumbu, melepaskan gelombang aroma yang pekat dan berlapis-lapis.
Rama memutuskan untuk membuat tiga menu sederhana: Ayam Mentega, Ikan Bumbu Kuning, dan Tumis Sayur Bunga Kol.
Sret! Sret!
Daging ayam dilemparkan ke wajan dengan sedikit mentega, menghasilkan suara sizzling renyah. Rama menggunakan spatula seperti seorang konduktor orkestra. Ia menggoreng, menumis, dan melempar bahan-bahan dengan kontrol panas yang absolut. Setiap butir bumbu, setiap helai sayur, dimasak hingga mencapai titik kematangan terbaiknya, tidak kurang dan tidak lebih.
Bu Maya memejamkan mata sejenak saat aroma Ayam Mentega yang manis, gurih, dan smoky itu menerpa indranya. Air liurnya tercekat.
“Ini bukan hanya wangi masakan biasa…” bisik Bu Maya pada dirinya sendiri. “Ini… wangi seperti masakan kota yang ada di.”
Ketika Ikan Bumbu Kuning mulai mendidih di panci terpisah, warna kuningnya tampak begitu menggugah, dan kuahnya mengeluarkan uap harum rempah yang kuat namun lembut di hidung. Sementara itu, Tumis Bunga Kol hanya dimasak sebentar, menjaga tekstur renyah alami dari sayuran itu.
Dalam waktu yang terasa sangat singkat, tiga hidangan sudah tersaji di meja dapur.
Rama menoleh pada Bu Maya, yang masih berdiri mematung di sampingnya, pisau di tangan.
“Bu, sudah selesai. aku akan membawanya ke meja makan,” ajak Rama, mengakhiri pertunjukan memasaknya.
Bu Maya tersentak, seperti baru terbangun dari hipnotis. Ia menatap hidangan di depannya—warnanya begitu hidup, penataannya begitu menarik, dan aromanya sungguh memabukkan.
"Rama... kamu belajar di mana semua ini?" tanyanya, suaranya serak karena kagum yang tak tertahan. "Bukankan kah tadi pagi kamu mengatakan baru pertama kali memasak," Jelas sekali menurutnya terlalu aneh jika pemuda ini baru pertama kali memasak, apalagi melihatnya secara langsung tadi. bahkan keahlian memasak rama jauh lebih terlihat profesional dari pada dirinya yang memasak setiap hari.
"Hanya dari beberapa buku yang aku baca bu," jawab rama tak ada alasan laik yang bisa ia katakan.
Bu maya memandangi masakan itu bergantian dengan rama,"Kamu memiliki bakat yang bagus prihal memasak rama, ibu yakin.. jika di masa depan kamu membuka sebuah rumah makan ibu yakin pasti rumah makanmu akan ramai oleh pembeli,"
"Ibu terlalu berlebihan menilainya, bahkan jika aku membuat usaha seperti itu. mungkin memang ramai.. tetapi bukan ramai karena ingin membeli tapi mengusir agar tidak berbulan lagi,"Ucap rama membuat bu maya langsung tersenyum kecil.
"Kamu ini, ibu serius loh ram.. kamu malah becanda,"
Rama hanya menanggapi dengan cengiran canggung, membawa makanan yang ia masak menaruhnya ke atas meja makan,
"Ya sudah.. klo begitu ibu mandi mandi dulu sekalian mau bangunin bela, gadis itu pasti sedang tidur dengan earphone di telinganya,"