NovelToon NovelToon
Ark Of Destiny

Ark Of Destiny

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Mengubah Takdir / Cinta Murni / Romansa
Popularitas:990
Nilai: 5
Nama Author: Antromorphis

"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."


Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.


"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"

More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Siapakah Dia?

Mbah Dul melangkah pelan, suara langkahnya yang bergetar di atas lantai marmer menambah kehangatan suasana sore itu. "Hamzah, Robi," sapanya lembut, memecah kesunyian yang mengelilingi mereka. Hamzah dan Robi, dua sahabat yang sudah dianggap seperti cucu oleh Mbah Dul, menoleh serentak, wajah mereka dipenuhi senyuman ceria.

“Iya, Mbah,” sahut Hamzah dengan penuh hormat. Ia segera mendekati Mbah Dul, mencium tangan tua yang keriput namun penuh kasih sayang itu. Robi mengikuti dengan langkah hati-hati, tak ingin kehilangan momen berharga tersebut. Setelah bersalaman, mereka kembali duduk di sofa empuk yang sudah berpuluh tahun menemani Mbah Dul.

Sebelum Hamzah bisa melontarkan kata-kata yang sudah terpendam di hatinya, Mbah Dul memotongnya dengan suara bijak. “Simbah tahu apa yang ingin kamu katakan, nak,” ujarnya sambil tersenyum lebar. Dengan gerakan perlahan, ia berdiri dari duduknya dan menatap kedua pemuda itu. “Lebih baik kita sholat Maghrib dulu,” lanjutnya sambil berjalan menuju ruang ibadah.

“Iya, Mbah,” jawab Hamzah dan Robi serentak, penuh semangat mengikuti langkah Mbah Dul. Mereka memasuki ruangan dengan arsitektur khas timur tengah, yang berfungsi sebagai tempat ibadah di kediaman Mbah Dul. Dinding-dindingnya dihiasi kaligrafi indah dan aroma minyak wangi yang menenangkan memenuhi udara.

Setelah mengambil wudhu dengan khusyuk, ketiga orang itu bersiap untuk melaksanakan sholat berjama’ah. “Ayo Nak Hamzah jadi imam,” ucap Mbah Dul dengan nada penuh harap.

“Simbah saja,” sahut Hamzah ragu-ragu, merasa belum siap untuk memimpin sholat.

“Sudah kamu saja, Zah,” timpal Robi mendukung sahabatnya. Dengan sedikit keraguan namun penuh tekad, Hamzah mengangguk pelan. Ia melangkah menuju tempat imam dan mengangkat kedua tangannya. “Allahu Akbar,” suaranya menggema lembut di dalam ruangan yang tenang itu.

Setelah melaksanakan sholat Maghrib, Hamzah tetap duduk dalam posisi iftirasy, menadahkan kedua tangannya ke langit-langit ruangan seolah-olah berharap agar doanya sampai ke langit. “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa hamba. Ampunilah dosa kedua orang tua hamba. Sayangilah mereka seperti mereka menyayangi ku…” doanya mengalir penuh pengharapan dan ketulusan.

Mbah Dul mengamati dari samping dengan senyum bangga di wajahnya. “Nak, yuk ke ruang depan dulu,” ucapnya sambil menepuk pundak Hamzah lembut.

“Iya Mbah,” jawab Hamzah pendek namun penuh rasa syukur. Mereka bertiga pun beranjak dari tempat ibadah menuju ruang depan, di mana cahaya lampu taman mulai merambat masuk melalui jendela besar yang terbuka.

Mereka bertiga melangkah pelan menuju ruang tamu, suasana malam yang tenang menyelimuti rumah besar itu. Setiap langkah Hamzah dan Robi dipenuhi rasa ingin tahu, sementara Mbah Dul berjalan di depan dengan tenang, seolah sudah terbiasa dengan kedatangan tamu. Begitu mereka tiba di ruang tamu, aroma kopi yang baru diseduh menyambut mereka. Mbah Dul mengisyaratkan agar mereka duduk, membentuk formasi yang sama seperti saat di kereta.

“Jadi begini, Nak Hamzah, Nak Robi,” Mbah Dul membuka obrolan dengan suara lembut namun tegas. “Ini adalah rumah simbah, dan simbah telah menyuruh salah satu supir untuk menjemput kalian di stasiun.”

Hamzah mengernyitkan dahi, rasa curiga mulai menjalar dalam pikirannya. “Sebelumnya mohon maaf, Mbah. Ini dengan tujuan apa ya, simbah menyuruh supir simbah untuk menjemput kami?” tanyanya dengan nada hati-hati.

Mbah Dul tersenyum bijak. “Simbah ingin kalian berdua malam ini menginap di rumah simbah. Simbah tahu kalian belum mendapatkan penginapan, jadi lebih baik tidur di sini saja,” jelasnya dengan nada ramah.

Robi, yang tak bisa menahan rasa penasarannya, segera melontarkan pertanyaan tajam. “Lalu, sebenarnya simbah ini siapa?” Suaranya penuh selidik.

“Simbah bukan siapa-siapa, Nak,” jawab Mbah Dul tenang, tetapi ada kilau misterius di matanya. “Simbah hanya orang tua biasa.”

“Kalau simbah orang biasa, kenapa rumah simbah sebesar ini? Banyak pula karyawan simbah,” sambung Robi tanpa ragu.

Hamzah yang mendengar ucapan Robi merasa sedikit terganggu. Ia menyenggol kaki Robi dan berbisik, “Ssttt.” Mbah Dul hanya tersenyum melihat interaksi mereka.

“Begini, Nak Robi,” Mbah Dul melanjutkan dengan tenang. “Allah memberikan amanah kepada simbah untuk menjadi CEO di salah satu perusahaan terbesar di Jakarta. Dan sekarang, karena usia simbah sudah senja, sebentar lagi simbah akan menyerahkan jabatan ini kepada anak simbah.”

Keduanya terdiam sejenak. Hamzah dan Robi saling berpandangan, terkejut dengan pengakuan itu. Bagaimana mungkin pria tua yang tampak sederhana ini adalah seorang CEO? Saat pertama kali bertemu di kereta, ia hanya mengenakan pakaian biasa dan terlihat kelaparan.

“Simbah serius CEO?” tanya Robi terkejut, suaranya hampir bergetar.

“Iya, Nak Robi,” jawab Mbah Dul dengan nada tenang yang menenangkan.

Sebelum Robi bisa melanjutkan pertanyaannya, Hamzah cepat-cepat memotongnya. “Robi, sudah,” ucapnya tegas namun lembut.

Robi terdiam seketika setelah mendengar suara Hamzah. Suasana menjadi hening; hanya suara detak jam yang terdengar mengisi kekosongan. Mbah Dul merasakan ketegangan itu dan mencoba mencairkannya.

“Bagaimana kalau kita minum kopi dan berbagi cerita?” tawar Mbah Dul sambil mengisyaratkan pelayan untuk membawa kopi.

Kedua pemuda itu mengangguk setuju, tetapi pikiran mereka masih berkecamuk tentang sosok Mbah Dul yang ternyata jauh lebih dari sekadar orang biasa. Dalam hati mereka berdua muncul rasa hormat yang mendalam terhadap pria tua tersebut—seorang CEO yang memilih untuk hidup sederhana dan berbagi kehangatan rumahnya pada dua orang asing malam ini.

***

Malam itu, suasana di rumah Mbah Dul terasa hangat dan penuh keakraban. Hamzah dan Robi, dua sahabat yang baru saja tiba dari perjalanan panjang, berdiri di ruang tamu yang dipenuhi dengan hiasan tradisional. Mbah Dul, sosok tua yang bijaksana dengan senyum ramah, mengarahkan mereka ke lantai dua.

“Ini nanti kalian tidur di lantai dua. Nanti biar bibi mengantar kalian berdua. Untuk barang-barang kalian, semuanya sudah tertata rapi di kamar,” ucap Mbah Dul sambil menunjukkan tangga yang mengarah ke atas.

“Alhamdulillah, terimakasih banyak mbah,” jawab Hamzah dengan wajah berseri-seri. Rasa syukur mengalir dalam hatinya, merasa beruntung bisa diterima dengan baik oleh orang yang baru mereka kenal.

Mbah Dul tersenyum lebar, seolah melihat dua cucunya yang baru pulang dari perjalanan jauh. “Kalian sudah makan? Kalau belum ayo makan dulu,” ajak Mbah Dul dengan lembut.

“Iya Mbah Dul, nanti saja mbah. Ini tadi sebelum kesini kita sudah makan,” jawab Hamzah menolak tawaran itu dengan sopan.

“Yakin kalian sudah makan?” Mbah Dul memastikan, matanya meneliti wajah kedua pemuda itu.

“Iya Mbah sudah, di restoran stasiun,” sambung Hamzah lagi.

“Yasudah kalau begitu, kalian istirahat dulu saja di kamar. Nanti kalau kalian lapar, tekan saja tombol di dekat tempat tidur, nanti akan ada yang datang. Pokoknya anggap saja ini rumah sendiri,” lanjut Mbah Dul dengan suara penuh kasih sayang.

Hamzah dan Robi saling berpandangan, merasa tidak enak dengan perhatian Mbah Dul yang begitu besar kepada mereka. Meski baru kenal, perlakuan Mbah Dul membuat mereka merasa seperti cucu sendiri.

“Iya Mbah Dul, sebelumnya terimakasih banyak atas kebaikan Mbah Dul kepada kita. Semoga dibalas oleh Allah. Aamiin,” timpal Hamzah dengan penuh rasa malu.

“Aamiin ya Allah,” ucap Mbah Dul tulus.

“Bi…” sambung Mbah Dul memanggil salah satu pembantu di rumahnya.

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya mendekat dengan langkah ringan. “Iya tuan,” ucap wanita tersebut sambil sedikit membungkuk.

“Ini mereka tolong diantar ke kamar ya bi,” perintah Mbah Dul.

“Iya tuan,” jawab bibi tersebut sebelum melangkah maju.

Hamzah dan Robi mengikuti bibi menaiki tangga dengan pegangan kayu jati yang berukir naga. Setiap langkah terasa penuh harapan dan rasa ingin tahu tentang apa yang menanti mereka di lantai dua. Begitu sampai di depan sebuah pintu berukir indah, bibi membuka pintu dan memperlihatkan sebuah kamar tidur yang megah.

“Ini kamarnya ya mas,” ucap bibi seraya meninggalkan mereka berdua.

“Terimakasih banyak bi,” ucap Hamzah sambil melangkah masuk ke dalam kamar yang terlihat sangat mewah. Dua tempat tidur besar terletak rapi di sudut ruangan, sementara almari kayu berukir menghiasi dinding. Fasilitas modern seperti AC, TV layar datar, dan PC menambah kesan nyaman di dalam kamar itu. Koper mereka ditaruh dekat almari, menandakan bahwa ini adalah tempat baru bagi mereka untuk beristirahat.

“Kamu kalau ingin tidur, tidurlah Rob. Tapi jangan lupa sholat isya dulu,” ucap Hamzah sambil merapikan barang-barangnya.

“Iya nanti Zah, ini nanti malam aku mau ada turnamen,” jawab Robi antusias.

“Turnamen apa Rob?” Tanya Hamzah penasaran.

“Itu turnamen game Zah,” jawab Robi dengan semangat membara.

“Oh, yasudah kalau begitu,” timpal Hamzah sambil tersenyum lebar.

Saat Hamzah berjalan mendekati gantungan baju untuk melepas kemejanya, Robi yang sedang duduk di atas kasur tiba-tiba berkata dengan nada syukur, “Syukur yha. Urusan kita dipermudah.”

“Iya Alhamdulillah Rob! Itulah mengapa jika kita membantu dan memudahkan urusan orang lain, InsyaAllah urusan kita juga akan dipermudahkan oleh-Nya,” jawab Hamzah tenang namun penuh keyakinan.

“Yang jelas, semuanya kita pasrahkan kepada Sang Pencipta. Yakinlah bahwa takdir Allah itu indah,” sambung Hamzah dengan senyum optimis.

Di tengah obrolan mereka yang hangat itu, tiba-tiba handphone Hamzah berdering memecah keheningan malam. Ia segera melihat layar ponselnya dan melihat nama Ririn muncul di sana.

“Ririn…” gumam Hamzah sebelum mengangkat teleponnya.

“Assalamu’alaikum dik,” sapa Hamzah mengawali percakapan.

“Wa'alaikumussalam mas Hamzah,” jawab Ririn dari seberang sana dengan suara ceria yang membuat hati Hamzah bergetar.

Malam itu bukan hanya tentang tempat tinggal baru; itu adalah awal dari petualangan baru dalam hidup mereka—sebuah perjalanan yang penuh harapan dan keajaiban tak terduga yang menanti untuk ditemukan.

1
eterfall studio
keburu telatt
eterfall studio
menarik
Perla_Rose384
Aku tahu pasti thor punya banyak ide kreatif lagi!
Antromorphis: Hehehe, stay tune yha kk, masih banyak misteri di depan sana yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
yongobongo11:11
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
Antromorphis: Hehehe, terimakasih banyak kk, nantikan Bab selanjutnya yha, masih banyak misteri yang harus kakak pecahkan🙌🏼
total 1 replies
Heulwen
Ngerti banget, bro!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!