Zharagi Hyugi, Raja ke VIII Dinasti Huang, terjebak di dalam pusara konflik perebutan tahta yang membuat Ratu Hwa gelap mata dan menuntutnya turun dari tahta setelah kelahiran Putera Mahkota.
Dia tak terima dengan kelahiran putera mahkota dari rahim Selir Agung Yi-Ang yang akan mengancam posisinya.
Perebutan tahta semakin pelik, saat para petinggi klan ikut mendukung Ratu Hwa untuk tidak menerima kelahiran Putera Mahkota.
Disaat yang bersamaan, perbatasan kerajaan bergejolak setelah sejumlah orang dinyatakan hilang.
Akankah Zharagi Hyugi, sebagai Raja ke VIII Dinasti Huang ini bisa mempertahankan kekuasaannya? Ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs Dream Writer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perang Yang Tak Bisa Diabaikan
Pagi yang seharusnya membawa kedamaian malah terasa begitu berat di dada Mei Li. Setelah Zharagi berangkat bersama pasukan menuju medan perang, Mei Li kembali ke kamarnya. Tatapan kosongnya tertuju ke luar jendela, melihat arah di mana Zharagi dan pasukannya menghilang dari pandangan.
Putera Mahkota masih terlelap di pembaringannya, napasnya yang pelan dan teratur adalah satu-satunya suara yang menenangkan di ruangan itu. Mei Li mendekati sang anak, membelai lembut rambutnya yang halus. Namun, di balik kelembutan itu, pikirannya bergulat dengan perasaan yang membuatnya sesak.
"Aku ini siapa?" pikir Mei Li sambil menggigit bibirnya. "Seorang pelayan biasa yang diangkat hanya karena belas kasih Raja. Aku tak pantas berharap lebih, apalagi mencintainya."
Semalam terlintas jelas di benaknya. Tatapan Zharagi, sentuhan hangatnya, dan bisikannya sebelum pergi, seolah meninggalkan luka di hatinya. Mei Li tahu Zharagi memperlakukannya dengan lembut, bahkan lebih daripada yang pantas ia terima. Tapi ia juga tahu, cinta dari seorang Raja bukanlah sesuatu yang bisa ia miliki sepenuhnya.
"Aku tak seharusnya membiarkan hatiku berharap. Dia adalah Raja, milik seluruh kerajaan ini, milik rakyatnya... dan milik Ratu Hwa."
Mei Li memejamkan mata, berusaha menahan air matanya. Ia ingat bagaimana Zhenara memandangnya dari kejauhan tadi pagi, dengan sorot dingin yang tajam, seolah menegaskan bahwa keberadaan Mei Li hanyalah bayang-bayang kecil di dalam kehidupan istana yang besar.
Namun, ada satu hal yang tak bisa ia abaikan. Dalam setiap interaksi mereka, Zharagi memperlakukannya bukan hanya sebagai pengasuh Putera Mahkota, tetapi sebagai seseorang yang berarti. Itu membuatnya semakin bingung, semakin merasa bersalah.
"Aku hanya harus menjalankan tugasku. Sebagai pengasuh Putera Mahkota, itu saja. Tidak lebih." Mei Li berkata pelan pada dirinya sendiri, mencoba menguatkan hatinya.
Saat ia menoleh lagi ke Putera Mahkota, Mei Li berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan memberikan segalanya untuk anak itu. Apapun yang ia rasakan untuk Zharagi, ia harus menyimpannya dalam hati. Cinta seorang pelayan kepada seorang Raja, baginya, hanyalah dosa yang terbungkus dalam impian yang tidak pernah akan menjadi kenyataan.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Mei Li tak bisa menghapus kenangan semalam. Tatapan penuh harap Zharagi masih menghantuinya, dan janji untuk kembali terasa terlalu nyata untuk diabaikan.
"Hanya waktu yang akan menjawab apakah aku cukup kuat untuk melupakan, atau malah semakin tenggelam," bisik Mei Li pelan sambil kembali memeluk Putera Mahkota, satu-satunya alasan baginya untuk bertahan di istana ini.
Pagi harinya.
Suasana di gerbang istana dipenuhi keheningan yang berat. Para pejabat tinggi dan prajurit terbaik telah berkumpul untuk melepas keberangkatan Zharagi ke medan perang. Di tengah barisan itu, Ratu Hwa berdiri anggun dengan jubah kebesarannya, senyumnya tipis dan tenang, meskipun matanya menyiratkan sesuatu yang lebih dalam.
Ratu Hwa melangkah mendekatinya, menundukkan kepala sebagai penghormatan terakhir sebelum keberangkatan. Sebagai seorang Ratu, ia tahu bahwa ketika Raja meninggalkan istana selalu menyimpan risiko, terutama ketika Putera Mahkota masih kecil dan kerajaan belum sepenuhnya stabil.
Saat Ratu mendekat, ia berbisik lirih, nyaris tidak terdengar oleh siapa pun selain Zharagi.
"Pergilah tanpa beban, Yang Mulia. Aku akan menjaga istana dan memastikan Putera Mahkota tetap aman. Tidak ada yang akan mengganggunya."
Zharagi mengangguk pelan, tetapi raut wajahnya mengungkapkan kekhawatirannya yang lebih dalam. Ia tahu Ratu Hwa adalah seorang Ratu yang cerdas dan penuh kendali. Namun, ada kenyataan yang tidak bisa ia abaikan—Putera Mahkota bukanlah darah daging Ratu Hwa.
Setelah memastikan kata-katanya tidak didengar oleh siapa pun, Zharagi balas berbisik.
"Aku tahu kau seorang pelindung yang kuat, Hwa. Tapi aku tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Mei Li dan Putera Mahkota akan selalu menjadi sasaran."
Tatapan Ratu Hwa tetap tenang, tetapi ada kilatan dingin di matanya yang membuat Zharagi semakin resah.
"Mereka aman di bawah perlindunganku, Yang Mulia. Kau tidak perlu meragukannya," jawab Ratu Hwa lembut, tetapi setiap kata terasa terukur.
Namun, Zharagi tidak yakin. Dia tahu bahwa Ratu Hwa memiliki ambisi besar, dan meskipun Ratu itu jarang menunjukkan ketidaksukaannya secara terang-terangan, ada desas-desus di istana tentang ketegangan antara Ratu dan Mei Li.
"Ingat, Ratu," ucap Zharagi akhirnya, tatapannya tajam menembus sosok istrinya. "Aku mempercayakan nyawa anakku padamu. Tapi jika sesuatu terjadi pada mereka, aku tidak akan memaafkan siapa pun yang terlibat."
Ratu Hwa tersenyum tipis, memberikan anggukan hormat.
"Kau selalu punya kata-kata yang tegas, Yang Mulia. Aku akan menjaga istana seperti hidupku sendiri."
Zharagi menarik napas dalam-dalam, merasa tidak sepenuhnya tenang. Ia berbalik, menaiki kudanya, dan memberikan aba-aba keberangkatan. Pasukan mulai bergerak, meninggalkan istana yang perlahan tenggelam dalam debu perjalanan mereka.
Namun, jauh di lubuk hati Zharagi, kecemasan terus membayang. Ia tahu, dalam ketidakhadirannya, Putera Mahkota yang masih kecil akan menghadapi tantangan tak kasat mata. Intrik istana, loyalitas yang rapuh, dan kedudukan Mei Li yang tidak kuat di mata para bangsawan bisa menjadi ancaman besar.
Sementara itu, Ratu Hwa berdiri di tempatnya, matanya mengamati pasukan yang semakin jauh. Saat bayangan Zharagi menghilang dari pandangannya, senyum di bibirnya memudar, digantikan oleh ekspresi yang sulit ditebak. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa menjaga Putera Mahkota tidak hanya soal melindungi anak itu—melainkan juga melindungi posisinya sebagai Ratu.
"Anak itu mungkin pewaris tahta," pikir Ratu Hwa dingin, "tapi dia bukan darahku. Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun, bahkan Zharagi, melemahkan kedudukanku di istana ini."
Setelah berkuda selama setengah hari, Raja Zharagi tiba di perbatasan dengan rombongan pasukan terbaiknya. Kabut perang menyelimuti tanah yang dulu menjadi bagian dari kerajaannya, kini dikuasai oleh musuh yang kejam. Pemandangan di depan matanya membuat dadanya bergejolak. Desa-desa terbakar, mayat-mayat bergelimpangan, dan bendera kerajaan musuh berkibar angkuh di atas benteng yang pernah berdiri kokoh sebagai perbatasan kekuasaan Kerajaannya.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Zharagi dengan suara dingin kepada Jenderal Tarei, salah satu pemimpin pasukan yang menyertainya.
Tarei, seorang prajurit yang telah melayani Zharagi sejak muda, menundukkan kepala dalam-dalam.
"Ampun, Yang Mulia. Musuh memanfaatkan ketegangan internal di kerajaan dan serangan mendadak mereka terlalu cepat untuk diantisipasi. Benteng perbatasan jatuh sebelum bala bantuan bisa tiba."
Zharagi mengepalkan tinjunya. Wajahnya yang biasanya tenang kini dipenuhi amarah.
"Berapa banyak prajurit yang kita kehilangan?"
"Lebih dari setengah garnisun, Yang Mulia. Beberapa melarikan diri, tapi sebagian besar gugur dalam pertempuran," jawab Tarei, suaranya penuh penyesalan.
Zharagi menghela napas berat. Ia memandangi medan perang di depan mata—tanah yang dikuasai oleh musuh, namun masih penuh dengan kenangan masa kecilnya. Ini adalah tanah yang pernah ia janjikan untuk melindungi dengan nyawanya.
"Kita akan merebut kembali tanah ini," ujar Zharagi dengan suara tegas, matanya menyala dengan semangat pertempuran. "Dan aku akan memastikan musuh membayar mahal untuk setiap nyawa yang mereka renggut."
Ia melangkah menuju tenda komando untuk merencanakan strategi bersama para panglimanya. Peta besar terbentang di atas meja, menampilkan posisi pasukan musuh dan pertahanan mereka yang rumit.
"Yang Mulia," kata Tarei, menunjuk ke salah satu bagian peta. "Musuh telah memperkuat benteng utama mereka di sini. Kita membutuhkan strategi yang cerdas untuk menembus pertahanan mereka."
Zharagi memandang peta itu dengan saksama, pikirannya bekerja cepat.
"Kirimkan unit pengintai ke utara," perintahnya. "Aku ingin tahu bagaimana persediaan logistik musuh. Jika kita bisa memutus jalur suplai mereka, kita bisa melemahkan mereka sebelum menyerang."
Tarei mengangguk dan segera mengirimkan perintah kepada para prajurit.
Namun, sebelum mereka bisa melanjutkan diskusi, seorang utusan tergesa-gesa memasuki tenda.
"Ampun, Yang Mulia! Kami menemukan tawanan dari desa terdekat. Mereka mengatakan musuh telah menggunakan warga sipil sebagai tameng hidup untuk melindungi benteng mereka."
Mata Zharagi menyipit, rahangnya mengeras.
"Tindakan pengecut seperti itu tidak akan dibiarkan begitu saja," ujarnya dengan nada penuh kebencian. "Persiapkan pasukan. Kita akan menyelamatkan warga sipil itu sebelum mereka melakukan hal yang lebih keji."
Saat malam tiba, pasukan Hyugi mulai bergerak dengan hati-hati, memanfaatkan gelapnya malam untuk mendekati benteng musuh tanpa terdeteksi. Zharagi sendiri memimpin pasukan depan, semangatnya membara untuk menuntut balas dan merebut kembali kehormatan kerajaannya.
Namun, di tengah perjalanan, salah satu pengintai kembali dengan kabar yang lebih mengejutkan.
"Yang Mulia," katanya dengan napas tersengal. "Musuh mengetahui kedatangan kita. Mereka telah menyiapkan jebakan di lembah barat."
Zharagi terdiam sejenak, memikirkan langkah berikutnya. Di satu sisi, ia tidak bisa mengabaikan jebakan itu. Tapi di sisi lain, setiap detik yang berlalu berarti warga sipil yang disandera semakin berada dalam bahaya.
"Tarei," katanya akhirnya, "bagi pasukan kita. Aku akan memimpin serangan di lembah barat untuk menghancurkan jebakan mereka. Kau bawa pasukan lain ke benteng dan selamatkan warga sipil itu. Kita akan bertemu kembali setelah misi selesai."
Tarei ragu, tetapi ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Zharagi. "Seperti yang kau perintahkan, Yang Mulia," jawabnya dengan hormat.