Sundirah, adalah anak seorang pekerja upah harian, sebagai pemetik kelapa. Perjalanan cinta Sundirah dengan Mahendra, putra semata wayang juragan kopra adalah sebuah ujian yang tidak mudah ia lalui.
kehilangan kedua orang tua sekaligus bukan fakta yang mudah di terima.
Atmosiman, yang semula sebagai sosok penyayang, melindungi dan penuh kewibawaan. Hanya karena tergiur oleh sebuah kehormatan, Dia lupa akan tujuan utama didalam kehidupannya.
Lurah Djaelani, bersama kamituwo. Sebagai pamong yang seharusnya menjadi teladan pada masyarakat.
Lupa kewajiban sebagai kepala desa, dan lebih memburu harta, berjudi sabung ayam dan menjodohkan anak gadisnya, yang semata-mata untuk menguasai harta sang juragan.
Mampukah Sundirah menghadapi semua cobaan dalam kisah cinta dia, nyawa orang tua nya sebagai taruhan atas nama cinta.
Duri yang paling mematikan disini adalah sosok seorang kamituwo. akan kah ambisi mereka berhasil membawa keberkahan?
Ikuti sebagian dari kisah yang nyata seorang Sundirah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Delima Rhujiwati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misteri cinta
#Gerimis, membasahi bumi alam semesta. Dingin sang bayu menusuk hingga ke dalam relung jiwa.
Cintamu, membawa sebuah arti penyatuan jiwa. kerinduan akan hadirnya belaian kasihmu, melupakan akan duka yang telah kau gores kan.
"Wahai, sang kunang-kunang malam, kembalilah dengan setitik sinar mu. kan ku gapai mimpi ku yang tertunda kemarin.#
Bunyi krik krik hewan malam, sebagai penghias kesunyian. Sundirah terlelap dalam pelukan Mahendra. Wajah ayu itu, melukiskan akan ketulusan dan kelembutan.
Tidak bosan Mahendra menelisik inci demi inci, bibir nya yang selalu memberikan senyum mengairahkan, mata nya yang sendu, memberikan kerinduan dan kesetiaan.
"Sundirah, aku mencintaimu! Semoga Sang Maha Pencipta, selalu menjaga satu wanita yang sangat berharga. Lembayung senja pun menjadi saksi, akan besarnya cinta yang kita miliki. Sang mentari pun seakan iri dan kini ia pergi, meninggalkan bumi, ketika kita saling bertatap mata. Kau tersenyum manis nan manja. Deru ombak seakan tertawa, melihat kau dan aku saling berpelukan mesra."
Batin Mahendra merangkai kata asmara, senyum syukur dan doa ia panjatkan, kepada Sang Penguasa Alam.
Sundirah menggeliat dan menatap heran ke arah Mahendra "Mas... kenapa belum tidur?" Suara serak Sundirah,khas orang bangun tidur.
"Aku bahagia Dirah, lihatlah! anak kita begitu aktif." Elusan tangan Hendra menimbulkan pergerakan aktif di perut Sundirah.
"Dirah..."
"hhmmm."
"Kamu Ayu Dirah, aku mencintai mu. Jadilah ibu dari selusin anak-anak kita kelak."
"Mas, satu lusin itu banyak loh..! sedang Satu yang ini saja belum lahir mas!" polos Sundirah menjawab.
Dirah berusaha bangun, berjalan mengambil air minum. Berjalan kembali ke pembaringan, dan tersenyum merentangkan tangan, menggapai hangat nya pelukan Mahendra.
Tangan Mahendra, kembali menyusup, meraba pelan menikmati kelembutan kulit Sundirah.
"Dirah..?" Mahendra menatap Sundirah dengan penuh harap.
Malam semakin larut, indah dan penuh kehangatan yang mereka ciptakan.
Bukan sebuah janji, namun rasa dan harapan dalam sebuah pencapaian.
"Gusti Ingkang Akaryo Jagad, Biarkan kebahagian ini kami nikmati, hingga nafas ku harus berpisah dengan ragaku."
Ndhuk, Dirah.. kurangi aktifitas mu, jangan terlalu capek. Sepertinya hari kelahiran hanya menghitung hari." Surip mengelus perut buncit Sundirah.
Senyum ayu Dirah mengembang sempurna, duduk berdua dengan Surip,
seperti merasakan kembali kasih seorang emak.
" Sudah tidak sabar ya Mbok?" Suara Karmilah tiba tiba mengejutkan mereka.
"Masih ***Selapan*** ***dino*** lagi mbok, jadi sabar dulu."
"Semoga ***Gangsar***, Yo ndhuk! mbok ikut bahagia, yang sabar." Surip memegang tangan Sundirah.
"Terimakasih mbok, emak pasti akan ikut bahagia, melihat kita berkumpul disini."
Tiga wanita berbeda usia itu, menikmati indahnya pagi dengan aktifitas masing-masing.
waktu berjalan pelan, namun pasti. Slamet menemui Atmosiman, tidak lama kemudian Mahendra menghampiri mereka. Dan terlibat dalam sebuah perbincangan serius.
"Djaelani... apa yang telah membuat mata hatimu buta?" Atmosiman menggelengkan kepala.
"Lalu, apa yang akan terjadi. seandainya ladang empat bauw / bahu itu, tidak di berikan kepada bandar judi Jupri?"
"Ning Lastri yang akan menjadi gadis pelunas hutang ndoro Djaelani, ndoro Siman."
Mahendra mengangkat kepala, dan menautkan alis nya.
"Ini tidak adil pak Slamet! Kesalahan buka pada Lastri."
"Ayah....! pak Lik Djaelani harus segera mengetahui."
"Sabar Hendra.! Lastri dan nyonya Ratmini, aman dan berada dalam pengawasan Naris."
Slamet kembali berbicara, dan melontarkan saran. "Ndoro, secepatnya kita harus menemui ndoro Djaelani. Waktu yang di berikan Tuan Jupri, hanya satu pekan."
"Ini sebuah kegilaan Djaelani, empat bouw bukan lahan yang sedikit."
"Ayah... bagaimanapun juga, saya berhutang budi dengan Sulastri. Tanpa dia, saya tidak tau apa yang terjadi dengan Sundirah."
"Saya, ingin melindungi dia, seperti saudari saya ayah."
Atmosiman, menepuk bahu Mahendra. "Lakukan le, tapi keluarga mu kelak adalah yang utama. Ayah mendukung dengan sepenuh hati."
"Pergilah kau menemui Djaelani, bersama Harjito. mintalah kepastian kebenaran tentang taruhan empat bauw ladang itu."
"Ayah sendiri, akan menemui nyonya Ratmini."
Mahendra menemui karmilah dan Sundirah, di halaman belakang.
"Dirah.. mas pergi dulu, mungkin agak malam mas baru kembali ke rumah."
Mahendra memeluk dan mencium kening Dirah, lalu jongkok dan berdialog dengan anak nya yang masih di dalam perut, mendekatkan telinganya, seperti mendengar sesuatu bersuara, tersenyum dan mengelus kembali perut Dirah.
Dirah membelai kepala Mahendra dan memegang pundak Mahendra, yang sedang memeluknya.
Karmilah, hanya menggeleng kan kepala, melihat pemandangan tepat di depan matanya.
"Eehemmm..."
Seketika kepala Mahendra, mendongak, lalu tersenyum malu. Sedangkan Sundirah, sudah tidak bisa dilukiskan lagi, bagaimana warna wajahnya.
"Ndak papa ndhuk, ibu tidak melihat". karmilah tersenyum merasa lucu dengan tingkah anak-anaknya.
"Ibu, Hendra titip Dirah. saya akan menemui pak Lik Djaelani."
"Pergilah le, Dirah aman bersama kami."
Kebahagiaan itu pun, tidak bisa di pungkiri. semua akan memetik hikmah dari semua peristiwa.
Rumah besar, itu sunyi seperti tidak berpenghuni. Sudargo yang sudah kembali ke Surabaya, untuk melanjutkan belajarnya.
Ratmini yang lemah berbaring, di temani Lastri yang selalu setia memenuhi kebutuhan sang Nenek.
"Kulo nuwon..."
"Nek.. ada tamu, nenek tunggu sebentar, Lastri kedepan." Lastri berjalan sedikit lari, menuju asal suara itu.
"Kang Naris.. Monggo silangkan duduk, saya buatkan kopi kang."
"Tidak usah Ning, saya tidak lama. saya hanya menjenguk nyonya Ratmini, bagaimana keadaan beliau."
"Duduklah sebentar Ning."
Naris menatap lekat Lastri, Gadis manis berambut panjang. menunduk kan kepala, dan memainkan ujung kebaya kutu baru yang ia kenakan.
"Kang..."
"Kang Naris..."
"Ah.. eh.. i..iya neng" Naris menjawab spontan dan gelagapan. Ia ketahuan sedang membawa wajah manis Lastri kedalam lamunan nya.
"Kang Naris, ada perlu apa? kok malah diam saja" Senyum manis Lastri mengembang seperti mawar yang sedang mekar.
Tidak di pungkiri, Nasir dalam sendirinya. merasakan getaran aneh ketika bersama Lastri.
"Saya, mau melihat keadaan nenek Ning Lastri. Apa beliau sudah membaik?"
"Nenek sudah membaik kang, silahkan masuk, beliau ada di dalam."
Lastri membimbing tangan Naris, dan membawa masuk ke dalam ruangan di mana Ratmini terbaring.
Naris merasakan, sentuhan tangan hangat Lastri dengan hati berdebar tidak menentu.
Susah payah Naris menepis rasa itu, dia tau batasan. Tidak mungkin ada asmara antara mereka berdua.
Namun jalan hidup siapa yang bisa menebak. Cinta bisa datang hanya dengan seulas senyum, juga cinta bisa lenyap dengan satu kata. Cinta sebuah ikatan yang penuh misteri.
"Nenek... Kang Naris yang datang nek."
Lastri mendekat dan membetulkan, kain penutup kaki sang nenek.
Perlahan Ratmini membuka, kelopak mata tuanya. Sayu mata itu memandang kearah Naris.
"Nak Naris, terima kasih sudah Datang lagi. Maaf, kami selalu menyusahkan kalian semua." Suara Ratmini tercekat di ujung leher, rasa nelangsa itu tidak bisa ia sembunyikan. Tangan yang terbungkus oleh keriput nya kulit, karena termakan usia yang sudah senja. menggapai ingin menjabat tangan Naris.
"Hindarkan, cucuku dari bahaya nak Naris. Bila sudah tiba waktu ku, untuk kembali pada yang kuasa. Aku sudah siap."
Terpaku diam Naris, antara bingung dan tidak tau harus berbuat apa.
"Nenek... jangan berkata seperti itu nek. Nenek akan sembuh, dan akan melihat Lastri menikah dengan kang jito. lalu nenek akan menimang buyut." Lastri terisak, mengusap kening Ratmini.
"Nenek tidak akan meninggalkan, Lastri sendiri, nenek akan sembuh." Lastri menciumi tangan Ratmini, Ratmini tersenyum, berusaha duduk lalu memeluk Lastri erat.
\*\*\*\*\*\*\*\*
***Gusti Ingkang Akaryo Jagad \= Tuhan yang maha pencipta***.
***Selapanan Dino \= berasal dari hitungan bahasa Jawa yang berarti 35 hari***.
***Gangsar \= lancar***.
Terimakasih yang tak terhingga atas semua dukungan dan semangat kepada saya.
Dukungan kalian adalah penyemangat jempol saya 🤭
Salam Sehat Selalu 🤗🤗