Fimi Klarisa seorang designer muda dengan karir cemerlang. Namun, kehidupan pribadinya tak semanis karirnya, karena di usianya yang masih muda, ia harus menjadi single parent untuk putra kecilnya, Firdaus Iskandar.
"Firdaus segalanya bagiku, hingga tak ada waktu bagi diriku untuk berbagi hati dengan orang baru."
Fimi Klarisa
Davanka Pramudya adalah seorang pengusaha sukses, yang sudah insyaf menjadi seorang Playboy, setelah sang mantan kekasih berubah menjadi kakak iparnya. Namun, sebuah pertemuan tak sengaja dengan seorang wanita muda yang ternyata ibu dari salah satu anak di sekolah keponakannya kembarnya, membuat hati pria itu tak karuan.
"Apa iya gue mencintai istri orang? Please, Dav lo emang patah hati, tapi nggak usah jadi perebut istri orang juga."
Davanka Pramudya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma Marmaningrum, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyesal
Dava mengusak rambutnya dengan kasar. Pria itu telah membuat wanita yang diinginkannya membencinya, hanya karena ia cemburu dengan yang lain.
"Aarhg! Siyalan!" umatnya. Fimi audah pergi menjauh setelah menampar pipinya.
"Apa yang udah gue lakuin." Dava terlihat frustrasi dengan sikapnya barusan.
Pria itu awalnya biasa saja, tetapi saat melihat wanita yang dikenalnya bersama pria lain darahnya berdesir. Hatinya panas, cemburu dan marah. Selain status wanita itu yang masih abu-abu di mata Dava, hari ini dikejutkan bahwa dia adalah tunangan dari pria lain.
"Apa ada yang salah dengan otak gue sekarang, sampai harus mencintai wanita yang jelas-jelas milik orang lain?" Dava mengepalkan tangannya erat.
Pria itu kini masuk ke dalam toilet dan membasuh wajahnya. Namun, yang pria itu sesali tentang perkataannya pada Fimi. Perkataan tak pantas yang merendahkan wanita itu.
"Gue harus minta maaf sama dia." Dava langsung keluar setelah mengeringkan wajahnya dengan tisu.
Sementara itu, Fimi menahan tangisnya saat berada di toilet. Wanita membasuh bibirnya bekas ciuman paksa Dava tadi. "Cih, bener-bener sialan, kurang ajar, brengsek, gue benci sama lo!" pekik Fimi tertahan sambil terus menggosok bibirnya.
Setelah menarik nafasnya dalam dan mengembuskannya pelan. Fimi pun merapikan dirinya terlebih dahulu, sebelum kembali pada Vano. Fimi keluar dengan wajah lebih fresh, wanita itu memang bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik.
Namun, saat wanita itu baru saja keluar, Fimi kembali berhadapan dengan pria yang hari ini membuatnya berantakan. Wanita itu langsung memalingkan wajahnya dan pergi dengan tergesa.
"Tunggu!" teriak Dava sambil mengejar Fimi.
Saat pria itu akan kembali menarik tangan Fimi.
"Saya akan berteriak minta tolong, jika Anda berani menyentuh saya!" ancam Fimi.
Dava pun menurunkan tangannya, lalu berjalan sejajar dengan Fimi. "Maaf," ucapnya pelan. Fimi tak menghiraukan ucapan pria di sampingnya. Dengan langkah cepat, Fimi meninggalkan Dava tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Saat Fimi sudah kembali ke tempat di mana Vano sedang duduk menunggunya.
"Kamu nggak nyasar kan, Sayang?" tanya Vano tanpa curiga apapun.
"Ish, mana ada nggaklah, Mas Vano." Fimi menekankan panggilan Mas Vano.
Vano hanya tergelak dan menyodorkan makanan yang sudah tadi Fimi ambil.
"Kamu makan dulu, sebentar lagi akan ada sambutan dari pemilik perusahaan."
Fimi hanya mengangguk, sebenarnya wanita itu ingin segera pergi dari tempatnya sekarang, tetapi ia tak bisa egois karena Vano saat ini juga sedang membutuhkannya. Akhirnya, Fimi pun menemani Vano hingga acara selesai. Dava sesekali mencuri pandang ke arah Fimi, tetapi wanita itu mengabaikannya.
Perannya sebagai seorang tunangan dari Vano benar-benar sempurna.
Sekitar jam sembilan malam, Fimi sampai ke rumahnya, tentu saja diantar oleh Vano, bahkan Vano membeli mainan dan beberapa makanan kesukaan Fir.
"Makasih ya, Loly. Gue puas banget hari ini." Vano mengusap pucuk kepala Fimi.
"Sama-sama, tapi kayanya ini kali terakhir gue bantuin lo buat nyamar jadi pasangan lo, Van. Gue mau tobat." Fimi berucap dengan lesu.
Namun, Vano malah tergelak saat mendengar alasan sahabatnya itu.
"Lo mau tobat morotin gue?" goda Vano, tetapi malah mendapat tabokan dari wanita cantik itu, yang memang terlihat lesu sejak pulang tadi.
"Gue serius ya, Nono." Fimi berucap dengan wajah serius.
"Ish, iya, iya dan jangan pernah manggil gue dengan nama itu, geli gue." Vano pun turun dari mobil dan membawa hadiah untuk Fir.
Saat masuk ke dalam rumah, mereka disambut oleh orang tua Fimi.
"Fir baru saja tidur, Fi." Sang papa berkata saat Fimi bertanya ke mana putranya.
"Dia nggak rewel, kan, Ma?" Fimi berbalik ke arah wanita paruh baya yang berdiri di samping sang papa.
"Nggak, Fir anteng seperti biasa, Mi."
Vano yang masih berdiri dengan bingkisan di tangannya, tiba-tiba diusir oleh Fimi. "Lo ngapain masih di sini, udah sana pulang!"
"Astagfirullah, bener-bener dah." Vano menyimpan semua barangnya di meja.
Hendra dan Marina hanya menggelengkan kepalanya dan tergelak melihat tingkah dua sahabat itu.
"Mana oleh-oleh buat Tante, Van?"
"Udah Vano transfer ke Fimi, Tan. Ampun dah emak sama anak sama matrenya." Vano menggerutu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Mereka berempat pun duduk bersama dan berbincang sebentar sebelum akhirnya Vano pamit undur diri.
Fimi juga izin ke kamarnya. Wanita utu membanting tubuhnya ke ranjang. Perasaannya tak karuan, apalagi saat kejadian di dekat toilet hotel itu terus membayanginya.
"Davanka sialan!" pekiknya tertahan.
Kejadian hari ini membuat Fimi sadar, bahwa dia sedang membohongi dirinya sendiri. Rasa penyesalan itu selalu hadir di akhir cerita. Fimi memang belum bisa membuka hatinya kembali setelah apa yang menimpa dirinya dan sang kakak. Memaafkan memang mudah, tetapi menata hati agar kembali seperti semula itu yang sulit. Jadi, saat ini Fimi masih menata hatinya yang sempat hancur untuk kembali utuh.
Baru saja wanita itu akan mencoba membuka hati, tiba-tiba saja seseorang kembali mematahkannya dengan ucapan yang begitu menyakitkan.
"Gue harus menegaskan semuanya, bahwa gue masih ... ah kenapa gue nggak bisa jujur ke diri gue sendiri." Fimi membenci dirinya yang selalu merasa takut.
Fimi yang menangis akhirnya terlelap karena kelelahan.
Sementara itu di Hotel Aghata. Davanka yang memutuskan untuk menginap di sana, tak kunjung memejamkan netranya walaupun pria itu sudah mandi air hangat dan merebahkan tubuhnya. Namun, matanya tetap tak bisa terpejam, walaupun pria itu memejamkan matanya, tapi setiap suara dari luar masih terdengar begitu jelas.
Bayangan dirinya yang mencium paksa Fimi masih berputar di ingatannya. Bagaimana raut wajah Fimi yang pucat dan ketakutan masih terbayang jelas di otaknya. "Maafin aku Fimi, aku salah, aku brengsek. Aku cemburu, aku sudah tak bisa memendam lagi perasaan ini." Dava mengacak rambutnya dan duduk bersandar pada kepala ranjang.
"Besok aku akan ke butiknya dan meminta maaf, atau aku ke rumahnya saja, biar bisa bertemu juga dengan orang tuanya." Dava berbicara sendiri.
Biasanya setelah acara tahunan, perusahaan akan libur selama dua hari. Jadi, Dava akan menggunakan waktu liburnya untuk kembali mendekati Fimi dengan cara yang lebih gentleman.
"Jika memang kamu sudah punya suami atau bertunangan, aku akan dengan terbuka meminta izin pada suamimu atau tunanganmu untuk aku ambil, Fimi." Dava mulai mengoceh ngawur dan akhirnya pria itu pun terlelap dengan posisi duduk.
"Maafin aku, tolong jangan tinggalin aku sendiri!"
"Gue nggak akan pernah maafin lo, gue benci sama lo, gue nggak suka. Pokoknya gue benci sama lo!"
"Aku akan lakuin apa aja asal kamu maafin aku. Aku nyesel."
"Woi, bangun!"
Bersambung
Happy Reading
Dua-duanya nyesel dah, terus bakal gimana ya kelanjutannya. Tungguin terus ya bestie.