Kamu sepuluh aku sebelas. Kamu selingkuh, aku balas.
Ketika perselingkuhan menjadi sebuah permainan dan menjadi satu-satunya cara untuk membalaskan sakit hatinya akan pengkhianatan. Sanggupkah rumah tangga Theo dan Laura bertahan disaat pondasinya mulai runtuh perlahan?
Mengetahui Theo bermain api di belakangnya, tak lantas membuat Laura menuntut klarifikasi saat itu juga. Laura justru membalas permainan Theo dengan cara yang sama.
Diam-diam Laura pun bermain api di belakang Theo. Sampai akhirnya perselingkuhan Laura terbongkar ketika Laura menyatakan dirinya hamil.
Bagaimanakah kisah Theo dan Laura dalam menjalani biduk rumah tangganya? Ikuti kisah selengkapnya di sini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 25
BSM Bab. 25
Laura bingung ketika Edrick, asisten Ryan memintanya untuk mengantarkan satu paket pesanan kue ke ruang presdir langsung. Sementara yang lain sudah diambil alih petugas keamanan kantor untuk dibagi-bagikan kepada para staf.
Dan kini dengan kebingungannya Laura berdiri di depan meja presdir, sambil menenteng kantong yang berisi kotak kue yang dipesan pagi tadi di toko kuenya.
“Silahkan duduk.” Ryan mempersilahkan, membuka tangan kanannya. Mengundang Laura untuk duduk pada kursi yang tersedia di depan mejanya.
Namun Laura malah menaruh kantong itu di meja dengan sopan tanpa berani menatap wajah Ryan.
“Saya ke sini mengantarkan pesanan pelanggan. Silahkan, Pak.” Laura menarik napas pelan.
“Silahkan duduk dulu.” Ryan kembali mengundang Laura untuk duduk.
Namun Laura bergeming. Ia tak beranjak se-inci pun dari tempatnya. Selain cemas dan takut, ia juga merasa tak pantas duduk di depan pria itu. Yang nyatanya bukan orang sembarangan.
“Maaf, Tuan. Tentang ganti rugi itu, saya...”
“Bukannya sudah selesai? Kamu sudah membayarnya lunas.” Ryan memotong kalimat Laura. Yang otomatis membuat Laura bingung.
“Aku sudah menganggapnya lunas dengan kamu datang ke sini,” sambung Ryan.
“Terima kasih banyak, Tuan,” ujar Laura setengah membungkukkan badannya.
“Kalau begitu, saya permisi, Tuan. Terima kasih atas pengertiannya.” Lekas Laura memutar tubuhnya, hendak meninggalkan tempat itu. Langkahnya sudah mengayun, tapi suara Ryan yang terdengar mencegah langkah itu pergi.
“Tunggu.”
Otomatis ayunan langkah Laura terhenti. Kembali ia memutar tubuhnya, berhadapan dengan Ryan. Yang menatapnya intens, seolah ada yang aneh di wajahnya.
“Bagaimana kalau kue ini rasanya tidak enak? Bukankah kamu harus bertanggung jawab? Aku tidak mau rugi,” ujar Ryan sambil mengulurkan tangan kanannya, meraih kantong yang berisi kue yang diletakkan Laura di mejanya.
Laura menundukkan wajahnya. Namun ia tak beranjak dari tempatnya sedikitpun. Ia menunggu cemas tanggapan dari Ryan tentang cita rasa dari kue buatannya itu. Ia meremass jari jemarinya yang gemetaran, saking gugup menunggu apa yang hendak di katakan pria itu.
Sementara Laura cemas, gugup, bahkan sampai gemetaran. Ryan justru terlihat santai menikmati kue itu sembari sesekali melirik Laura.
Ya ampun, apa tidak bisa dia makan dengan cepat. Kalau begini, berapa lama aku harus menunggu? Seperti itu batin Laura meronta. Tak kuasa menunggu lebih lama lagi.
“Kamu mau berdiri di situ terus? Ini masih lama. Kuenya belum habis,” ujar Ryan dengan wajah datar sambil memperlihatkan kotak kue yang masih menyisakan beberapa.
Laura sempat mengintip, melihat kotak kue itu. Tapi cepat ia kembali menunduk saat tanpa sengaja pandangannya bertemu pandangan Ryan. Sepasang mata abu-abu Ryan membuat Laura mematung di tempatnya, tak berani untuk mendekat.
“Kamu tidak ingin tahu bagaimana tanggapan aku tentang kue kamu ini?” tanya Ryan, terdengar seolah ingin meledek Laura.
Kenapa hari ini aku sial sekali? Bagaimana bisa aku bertemu dengan pelanggan seperti ini? Benar-benar menjengkelkan. Laura kembali mengumpat dalam hatinya. Ia merasa seperti sedang dikerjai oleh pria asing itu.
“Kalau kamu tidak mau duduk juga tidak apa-apa. Tapi bagaimana kalau kata-kataku tadi aku tarik kembali. Dan ganti rugi yang harus kamu bayar akan bertambah menjadi dua kali lipat. Silahkan kamu pertimbangkan,” ujar Ryan, kemudian kembali menyantap kue. Tak ada ekspresi di wajah Ryan ketika menyantap kue itu. Seolah tak ada cita rasa istimewa dari kue buatan Laura.
Laura belum menanggapi. Ia masih membisu, berperang dengan pikirannya sendiri. Hari ini betapa sial nasibnya. Mengetahui fakta jika suami yang dicintainya ternyata mendua di belakangnya itu sudah cukup menguras emosinya. Ditambah lagi dengan pelanggan teraneh yang satu ini. Seluruh jiwa raganya seperti sedang dipermainkan saat ini.
“Kalau kamu mau pergi, tidak masalah. Silahkan. Tapi ...” Ryan menjeda kalimatnya sejenak. Ia sudahi kegiatannya. Lalu menyandarkan punggung pada sandaran kursi setelah menghubungi seseorang melalui telepon paralel yang ada di sudut mejanya.
Laura masih menunggu dengan cemas kalimat selanjutnya dari si pria aneh itu. Bila ditanya, sungguh ia benar-benar tak betah berlama-lama berada di dalam ruangan ini. Padahal suhu dalam ruangan itu terasa sejuk menerpa, tetapi peluh malah bercucuran dari dahinya. Pria di hadapannya itu seperti hantu yang sedang menguji nyalinya. Iya, hantu berwajah tampan.
“Ganti ruginya aku naikkan menjadi tiga kali lipat. Silahkan!” sambung Ryan terdengar serius. Wajahnya bahkan tak berekspresi lebih. Datar dengan tatapan dingin yang membekukan langkah Laura. Bahkan Laura urung meninggalkan tempat itu.
Bagaimana tidak. Tanpa dinaikkan berkali-kali lipat pun, Laura masih belum punya cukup uang untuk mengganti biaya perbaikan mobil Ryan yang nilainya bagi Laura cukup fantastis. Entah itu sudah merupakan harga yang pantas ataukah ia sedang dibodohi. Laura tak tahu. Tapi yang jelas, ia ingin segera menyudahi berurusan dengan pria asing dan aneh itu.
“Tapi, kalau kamu memilih duduk, maka semuanya aku anggap lunas!” tambah Ryan menegaskan, memberi pilihan kepada Laura.
Sementara Laura sedang berpikir, seorang Office Boy datang membawakan segelas air minum untuk Ryan. Sebelum pergi Office Boy itu berkata,
“Terima kasih banyak untuk kuenya, Tuan. Kuenya enak sekali. Banyak yang memuji.”
“Oh ya?” Ryan melirik Laura yang tampak tersenyum tipis mendengar ucapan Office Boy itu. Senyum yang sempat membuatnya tertegun meski senyuman itu setipis tisu.
“Semua suka dengan kue pemberian Tuan. Pokoknya top markotop,” tambah si Office Boy sambil mengacungkan jempolnya. Kemudian segera meninggalkan ruangan itu.
Senyuman tipis di wajah Laura belum surut. Saking senangnya mendengar tanggapan si Office Boy itu, ia bahkan sampai tak menyadari jika Ryan tengah memperhatikannya saat ini. Tanggapan positif dari Office Boy itu cukup menghibur hatinya yang nelangsa akibat ulah Theo.
“Itu hanya komentar dari karyawan. Belum tentu aku akan memberikan komentar yang sama,” kata Ryan.
Membuat Laura menghembuskan napasnya kesal. Jika saja bukan karena ia merusak mobil orang itu, mungkin ia telah pergi sedari tadi. Tidak mengapa kehilangan satu pelanggan seperti ini. Daripada ia harus berhadapan dengan orang aneh yang sungguh menguji kesabaran.
“Silahkan. Masih tersisa satu kesempatan untuk kamu.” Ryan berkata sembari membuka tangan kananya, mengundang Laura kembali untuk duduk di depannya.
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Laura. Dengan sangat terpaksa akhirnya ia memilih menyeret langkahnya mendekat, kemudian mengambil duduk di depan meja Ryan seperti perintah pria itu.
Padahal Laura hanya bersikap biasa-biasa saja, seperti tamu pada umumnya. Bahkan baik dari sikap, tutur kata, sampai penampilan, tidak ada yang istimewa. Tapi jantung Ryan justru berdetak kencang begitu Laura berada dekat, di depan matanya.
Sebuah wajah yang sama dengan wajah 15 tahun lalu yang dikaguminya. Namun kini, wajah itu terlihat lebih dewasa. 15 tahun sudah berlalu, tetapi debaran di dadanya masihlah sama seperti sewaktu pertama kali bertemu.
“Silahkan Tuan berkomentar. Saya siap mendengarkan. Tapi, tolong ijinkan saya pergi setelah ini. Banyak pekerjaan yang sedang menunggu,” kata Laura dengan sopan.
Bukannya lekas memberikan tanggapan, Ryan malah membuka laci mejanya. Mengambil sebuah benda dari dalam sana, lalu mengangsurkan benda itu ke hadapan Laura.
Laura bingung. Tak perlu bertanya, ia cukup tahu benda apa gerangan. Dilihat dari merek yang tertera pada kotak hitam berbahan kulit itu pun ia sudah bisa menebak apa isi di dalamnya. Hanya saja yang membuatnya bingung adalah mengapa benda itu diberikan kepadanya.
“Maaf, aku sudah menghilangkan jam tanganmu. Tolong kamu terima ini. Anggap saja ini sebagai ganti dari apa yang sudah kamu berikan padaku 15 tahun lalu.” Ryan berkata. Yang otomatis membuat dahi Laura berkerut semakin bingung.
“Maaf, Tuan. Saya tidak mengerti apa maksud Tuan. Tapi maaf sekali, saya tidak bisa menerimanya. Saya permisi, Tuan.” Lekas Laura bangun dari duduknya. Mengayunkan langkahnya cepat hendak meninggalkan ruangan itu. Namun lagi-lagi langkahnya harus terhenti ketika Ryan berkata,
“Laura, kamu tidak ingat padaku?”
★
artinya theo sdh tdk memprioritaska. layra! hrsnya tuh venih seminggu sdh full hrsnya ditebarkan ke istrinya.ini malah ke jalang.teman laki2 saya cerita! sebajingannya laki2 tidak akan mau nikah dgn peremouan murahan! yg dgn mudah mau tidur tanpa ikatan.artinya itu bukan wanita baik tidak bagus utk ibu dr anak2nya. Gen nya Rusak,liar!!