Rina hidup dalam gelimang harta setelah menikah dengan Aryan, pengusaha bakso yang mendadak kaya raya. Namun, kebahagiaan itu terkoyak setelah Rina diculik dan diselamatkan oleh Aryan dengan cara yang sangat mengerikan, menunjukkan kekuatan suaminya jauh melampaui batas manusia biasa. Rina mulai yakin, kesuksesan Aryan bersumber dari cara-cara gaib.
Kecurigaan Rina didukung oleh Bu Ratih, ibu kandung Aryan, yang merasa ada hal mistis dan berbahaya di balik pintu kamar ritual yang selalu dikunci oleh Aryan. Di sisi lain, Azmi, seorang pemuda lulusan pesantren yang memiliki kemampuan melihat alam gaib, merasakan aura penderitaan yang sangat kuat di rumah Aryan. Azmi berhasil berkomunikasi dengan dua arwah penasaran—Qorin Pak Hari (ayah Aryan) dan Qorin Santi—yang mengungkapkan kebenaran mengerikan: Aryan telah menumbalkan ayah kandungnya sendiri demi perjanjian kekayaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon triyan89, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Bu Ratih dan Rina menjerit tertahan ketika melihat Azmi terlempar keras hingga tubuhnya tertimpa lemari. Rasa aman yang sempat mereka rasakan sekejap sebelumnya langsung runtuh.
Pocong itu, dengan mata hitam pekat yang kosong namun penuh nafsu liar dan penuh dendam, perlahan menoleh ke arah mereka. Gerakannya cepat, jauh dari bayangan Pocong lamban seperti cerita horor yang sering diceritakan banyak orang. Bau anyir darah bercampur kain kafan busuk menusuk hidung mereka.
“Ibu! Rina! Lari!” seru Azmi dari bawah lemari, suaranya terdengar berat.
Aryan berdiri di tengah ruangan, memegang boneka kayu dan kalungnya, menikmati kepanikan yang ia ciptakan sendiri.
“Sudah terlambat, Azmi. Mereka yang akan menjadi tumbal berikutnya.”
“Aryan! Sadarlah! Itu ibumu, dan juga istrimu!” teriak Azmi. “Jangan biarkan iblis itu menipumu!”
Aryan melirik tajam. “Ibu, istri… aku tidak peduli siapa mereka. Ini tentang masa depanku, Azmi. Kalian semua sudah jadi tumbalku.”
Pocong itu melompat, menyasar Bu Ratih yang berdiri paling dekat dengan pintu dapur.
“Ya Tuhan…” bisik Bu Ratih, tubuhnya membeku.
Rina spontan menarik tangan Bu Ratih. “Bu, cepat! Kita masuk ke kamar mandi!”
Mereka berdua merangkak cepat menuju kamar mandi kecil di samping dapur. Pocong itu menghantam dinding tempat Bu Ratih berdiri beberapa detik sebelumnya, meninggalkan retakan lebar.
Belum sempat mereka bernapas, Pocong itu kembali mengejar. Rina dan Bu Ratih berhasil masuk dan langsung mengunci pintu kamar mandi.
BRAK! BRAK!
Pintu kayu itu bergetar kuat setiap kali hantaman mendarat.
Rina dan Bu Ratih saling berpelukan, mereka ketakutan, dan tubuh keduanya gemetar hebat.
“Rina… pintunya mau jebol…” bisik Bu Ratih.
Rina memutar pandang cepat. Kamar mandi itu sempit, tak ada jalan keluar. Namun matanya tertuju pada ventilasi kecil berterali, mustahil untuk dilewati, tapi bukan itu yang ia cari.
Ia teringat perkataan Azmi, “Kekuatan mereka hanya bisa dihancurkan oleh kekuatan suci.”
Rina merogoh bagian kolong bawah wastafel. Di sana, seperti biasa, tersimpan peralatan kebersihan. Tangannya menemukan botol pembersih lantai dan sebuah sikat.
BRAK! Retakan mulai muncul di pintu.
“Rina, kamu cari apa?” tanya Bu Ratih panik.
“Kita harus bantu Azmi, Bu! Kita harus buat Pocong itu menjauh,” jawab Rina dengan napas memburu.
Ia menatap botol pembersih lantai beraroma lemon yang menyengat. Banyak makhluk halus tak tahan dengan aroma kimia seperti itu. Rina hanya bisa berharap.
Pintu kamar mandi kembali dihantam, engselnya mulai terlepas.
Tepat sebelum pintu terbuka, Rina membuka tutup botol pembersih lantai, mencelupkan sikat, lalu menyiramkan cairan itu ke sela pintu yang retak.
SSST!
Beberapa tetes mengenai kulit Pocong yang membusuk. Pocong itu menjerit melengking, mundur selangkah, dan asap tipis mengepul dari kain kafannya.
“Bu, cepat lagi!” seru Rina.
Ia menyiramkan sisa cairan itu. Pocong itu mengamuk, tetapi bau menyengat membuatnya terpaksa untuk mundur.
Azmi memanfaatkan kesempatan itu dengan baik. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia mendorong lemari yang menimpanya hingga berhasil bangkit. Ia menemukan kembali kerisnya yang memancarkan cahaya samar.
Azmi terengah-engah. Bahunya terasa nyeri yang sangat luar biasa, tapi melihat Rina dan Bu Ratih berhasil mengulur waktu, memberinya kekuatan baru. Ia menggenggam kerisnya dengan erat.
“Aryan!” teriaknya. “Kekuatanmu cuma berasal dari ketakutanmu sendiri! Kamu pikir dengan menyakiti ibu dan istrimu, kamu bisa mendapatkan kekuatan?!”
Aryan, yang melihat Pocong itu melemah oleh cairan pembersih lantai, menatap Azmi dengan panik.
“Bocah kurang ajar!” geramnya.
Ia memeluk boneka kayunya kuat-kuat. Ia harus segera turun ke ruang bawah tanah dan menyelesaikan ritual terakhir.
“Aku tak punya waktu! Biar iblisku yang meladenimu!” teriaknya sambil kabur menuruni tangga menuju ruang bawah tanah.
Pocong itu, yang masih mengepulkan asap tipis, kembali menatap Azmi dengan amarah mengerikan.
Azmi tahu, sekarang Pocong itu jauh lebih kuat karena darah tumbal. Ia tak boleh lengah.
Ia memejamkan mata, menyalurkan seluruh energinya pada keris miliknya. Cahaya dari keris itu menjelma menjadi Pedang Cahaya yang berkilau tajam.
Pocong itu melompat cepat.
Azmi tak bergeming. Ia membaca ayat-ayat suci lantang, udaranya bergetar oleh kekuatan doa.
Saat Pocong itu hanya satu meter darinya, Azmi mengayunkan Pedang Cahaya dalam satu tebasan melingkar.
ZZZZTTT!
Tebasan itu menghantam tepat sasaran.
Pocong itu menjerit, jeritan panjang yang menyayat, seperti jiwanya dicabik paksa. Tubuhnya koyak, kain kafannya terbakar, lalu berubah menjadi kabut hitam pekat.
Kabut itu menyerang balik, tapi Azmi menancapkan keris itu ke lantai. Gelombang energi suci menyebar dan menghancurkan kabut itu hingga lenyap.
Dalam hitungan detik, Pocong yang menjadi andalan Aryan telah musnah, hanya menyisakan bau anyir dan abu tipis.
Azmi segera berlari ke kamar mandi.
“Bu Ratih! Mbak Rina! Pocong itu sudah hancur! Kita harus kejar Aryan!”
Rina membuka pintu dengan wajah basah oleh air mata, tetapi kini penuh lega. “Syukurlah, Azmi! Kita sudah aman!”
“Tidak, Bu. Ibu dan Mbak tetap di atas. Kunci pintunya. Saya yang akan turun,” tegas Azmi.
“Tapi sendirian itu terlalu berbahaya!” Bu Ratih memegang lengan Azmi.
“Ini memang tugas saya, Bu. Kiai Syarif sudah tidak bisa membantu. Saya harus menghentikan Aryan.”
Azmi menatap tangga ke bawah tanah yang gelap, dalam, dan pekat.
Di sanalah ritual terakhir menunggu.
Dan di sanalah pertarungan sesungguhnya akan dimulai.
Berikut versi yang sudah diperhalus, dirapikan, dan diperbaiki bahasanya, tanpa mengubah alur cerita apa pun:
Azmi tidak menyia-nyiakan waktu. Ia berpamitan singkat pada Bu Ratih dan Rina, lalu segera menuruni tangga kayu menuju ruang bawah tanah. Kegelapan di sana terasa pekat, menyesakkan, dan dipenuhi energi jahat yang jauh lebih kuat daripada yang ia rasakan sebelumnya.
Di ujung tangga, tampak sebuah ruangan kecil yang hanya diterangi beberapa lilin hitam. Di tengahnya, Aryan berlutut di depan meja batu. Di atas meja itu terdapat boneka kayu ukir, sebuah kalung liontin, dan dua mangkuk besar berisi darah segar yang mengepulkan asap tipis.
“Kamu terlambat, bocah!” seru Aryan, suaranya melengking dengan nada mengerikan, seolah bercampur suara lain yang serak dan tua. “Iblisku memang telah pergi… tetapi aku sedang memanggil tuannya.”
Aryan mengangkat boneka kayu itu tinggi-tinggi, lalu mulai merapal mantra-mantra dalam bahasa kuno yang memuakkan. Ia menuangkan satu mangkuk darah ke atas boneka, membuat aroma anyir semakin pekat di udara.
Azmi tahu ia tidak punya banyak waktu. Jika ritual itu selesai, kekuatan Aryan akan melampaui batas manusia.
“Hentikan, Aryan!” Azmi melompat dari anak tangga terakhir dengan keris di tangannya.
Aryan menyeringai, kali ini tanpa rasa gentar dan penuh keberanian.
Dari sudut ruangan, tiba-tiba muncullah sesosok Iblis lain, jauh lebih besar dan jauh lebih mengerikan dibanding makhluk yang Azmi hadapi di hutan. Iblis itu bertanduk, kulitnya bersisik gelap, dan mata merahnya memancarkan bara api. Dialah Sang Penguasa, makhluk yang dipanggil Aryan.
“Kamu telah membunuh pelayanku,” desis Iblis bertanduk itu, suaranya bergemuruh memenuhi ruangan. “Nyawamu yang akan menjadi hadiah untuk mereka.”
Iblis itu menerjang Azmi. Dalam keadaan kelelahan setelah pertarungan sebelumnya, Azmi berusaha bertahan. Ia memanggil Pedang Cahaya dari kerisnya, namun kekuatan Iblis ini berbeda, ia sangat kuat.
CLANG!
Pedang Cahaya beradu dengan cakar Iblis. Benturannya memunculkan kilatan cahaya dan gelombang kegelapan. Azmi terpental keras ke dinding, seluruh tubuhnya terasa remuk, dan kerisnya hampir terlepas dari genggaman.
“Jangan sia-siakan tenagamu, Azmi! Kamu tidak bisa mengalahkannya!” Aryan tertawa, suaranya menggema penuh kemenangan.
Terhuyung, Azmi kembali bangkit. Ia tahu, memenangkan pertarungan ini mustahil baginya. Satu-satunya jalan adalah menghancurkan benda ritual itu, sebelum Sang Penguasa sepenuhnya bangkit.
Iblis itu kembali menyerang. Azmi merunduk, menghindari cakar besar itu, lalu memaksakan diri berlari ke arah meja ritual.
“Jangan sentuh milikku!” teriak Aryan.
Ia menyerbu dan menghadang. Azmi tidak punya pilihan lain. Ia mengayunkan kerisnya dan mengenai lengan Aryan.
Sreett!
Aryan menjerit. Darah mengalir dari lukanya, namun boneka ritual tetap dalam dekapannya.
Kesempatan singkat itu hilang ketika Iblis bertanduk kembali menghantam punggung Azmi.
BRUKK!
Azmi terhempas dan jatuh tersungkur. Kerisnya terpental jauh ke arah tangga. Rasa sakit yang ia rasakan kini bukan sekadar dalam tubuhnya, tapi, seperti ada sebagian dari jiwanya yang ikut terkoyak.
Aryan menendang tubuh Azmi yang tergeletak. “Sudah cukup. Kamu kalah!”
Aryan hendak memerintahkan Iblis itu untuk menghabisi Azmi, namun tiba-tiba terdengar jeritan dari atas.
“Azmi! Cepat! Kita harus pergi!”
Suara itu, Rina.
Mata Azmi yang sudah sayu menatap ke arah tangga. Ia tahu, Rina dan Bu Ratih harus pergi sekarang juga. Jika tidak, mereka akan menjadi tumbal sempurna untuk ritual Aryan.
Mengumpulkan sisa kekuatan spiritualnya, Azmi menarik napas dalam-dalam. Ia melantunkan doa perlindungan dengan suara pelan namun. Tenaga yang tersisa ia gunakan bukan untuk menyerang, melainkan untuk menyelamatkan Bu Ratih dan Rina.
Dalam sekejap, cahaya putih tipis menyelimuti keduanya di atas sana, mendorong mereka keluar melalui pintu yang kini tidak lagi terkunci.
“Mereka kabur! Kejar mereka!” teriak Aryan.
Iblis bertanduk itu hendak melompat mengejar, namun energi suci Azmi memancar, menahannya beberapa detik, waktu yang cukup untuk membuat mereka keluar dari rumah.
“Pergilah, Bu Ratih… Mbak Rina…” bisik Azmi, air matanya menetes. “Selesaikan apa yang belum bisa saya selesaikan…”
Begitu energi Azmi lenyap, Iblis itu terlepas dari cengkeraman cahaya dan langsung mencengkeram tubuh Azmi.
“Kamu akan menyesal,” geramnya.
Tubuh Azmi diangkat dan dilemparkan keras ke sudut ruangan.
Aryan tertawa puas. Ia menatap tangga yang kini kosong. “Biarkan saja! Mereka tidak akan lolos dariku!”
Ia kembali melanjutkan ritualnya, sementara Azmi terkapar, tubuhnya penuh luka, napas tersengal. Ia telah kalah dalam pertarungan… namun ia berhasil menyelamatkan dua nyawa yang tidak bersalah.