NovelToon NovelToon
Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Perperangan / Elf / Action / Budidaya dan Peningkatan / Cinta Murni
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4: Ritual Iron Bone

Keheningan di dalam pipa baja raksasa itu terasa lebih mencekam daripada badai pasir yang menderu di luar. Di bawah cahaya kemerahan yang menyelinap dari retakan dinding pipa, Kaelan tergeletak dengan posisi meringkuk. Tubuhnya memancarkan hawa panas yang tidak wajar, membuat debu-debu merah yang menempel di permukaan logam pipa seolah menari-nari karena aliran konveksi udara. Keringat yang bercampur dengan residu energi Void keluar dari pori-porinya, berwarna kehitaman dan beraroma seperti logam yang terbakar.

"Kaelan... bertahanlah. Filter ini masih punya sisa energi sedikit lagi," bisik Bara dengan suara gemetar. Ia mencoba mendekatkan tabung filter udara bekas yang ia temukan di gudang pos perbatasan tadi ke hidung Kaelan, namun tangan Kaelan segera menepisnya.

"Jangan... pakai untukmu saja," desis Kaelan. Giginya bergemeletak hebat, menciptakan bunyi gesekan yang menyakitkan untuk didengar. "Udara ini... bukan lagi masalahnya. Masalahnya ada di dalam... tulangku."

Kaelan meremas dadanya sendiri. Di balik pakaiannya yang compang-camping, ia bisa merasakan sapu tangan Azure milik Lyra yang ia simpan. Kain yang semula lembut dan harum melati itu kini telah mengeras, kaku oleh darah kering dan kristalisasi energi Red Line. Setiap kali napasnya tersengal, ujung kain yang kaku itu menusuk kulit dadanya, namun rasa perih itu justru membantunya tetap sadar.

"Apa yang harus kulakukan? Aku tidak bisa membiarkanmu mati seperti ini setelah kita berhasil lolos dari patroli Alaric!" Bara tampak panik, matanya terus melirik ke arah lubang pipa di mana bayangan-bayangan Ghoulsand lain mungkin sedang mengintai.

"Ambil... sobekan kain ini," Kaelan menarik paksa sebagian lengan bajunya hingga robek, lalu menggulungnya menjadi gumpalan kasar. "Masukkan ke mulutku. Cepat!"

"Apa? Tapi kenapa—"

"Lakukan saja, Bara! Jika aku berteriak... Lyra akan merasakannya. Aku tidak boleh... membuatnya hancur di istana itu," perintah Kaelan dengan nada yang tidak menerima bantahan.

Bara dengan tangan gemetar memasukkan gumpalan kain itu ke mulut Kaelan. Begitu kain itu menyumbat rongga mulutnya, sebuah getaran hebat menghantam kerangka tubuh Kaelan.

KREK.

Suara itu sangat jelas. Di tengah kesunyian pipa, bunyi tulang yang retak terdengar seperti es yang pecah di bawah tekanan berat. Kaelan melengkungkan punggungnya, otot-ototnya menegang hingga pembuluh darah di leher dan lengannya menonjol keluar, berwarna abu-abu gelap. Ini adalah dimulainya Ritual Iron Bone. Segel yang selama ini mengunci potensi sumsum tulangnya dipaksa pecah oleh tekanan radiasi Void yang ia serap dari pertarungan di perbatasan.

Di saat yang sama, ribuan mil di atas awan, di dalam kemewahan kamar istana Solaria yang dingin, Lyra Elviana terjatuh dari kursinya. Ia tidak pingsan, namun ia tidak bisa bergerak. Kedua tangannya mencengkeram lantai marmer, kuku-kukunya menggaruk permukaan batu hingga meninggalkan bekas putih yang kasar.

"Hah... hah... Kaelan?" Lyra berbisik, namun yang keluar dari tenggorokannya hanyalah udara kosong.

Ia merasakan sensasi yang mengerikan. Seolah-olah ada bor tak kasat mata yang sedang menembus tulang belakangnya, menghancurkan setiap ruas vertebra satu per satu. Rasa sakit itu bukan miliknya, namun tubuhnya merespons dengan cara yang sangat nyata. Keringat dingin membasahi gaun sutranya, dan matanya mulai memancarkan kilatan ungu gelap—tanda bahwa Cursed Eye of the Void miliknya bereaksi terhadap penderitaan sang pemberi janji.

"Kenapa... sesakit ini?" Lyra menangis tanpa suara. Air matanya jatuh ke lantai marmer, namun ia segera menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangan. Ia teringat tatapan Kaelan di ruang sidang kemarin—tatapan yang memintanya untuk tetap kuat. Ia tahu jika ia menjerit, ayahnya atau Alaric akan masuk ke kamar ini dan menyadari bahwa ia masih terhubung dengan sang "pengkhianat".

Kembali ke dalam pipa di Red Line, Kaelan sedang melewati neraka yang lebih dalam. Halusinasi mulai menyerangnya. Dalam pandangan matanya yang mulai menguning, ia melihat debu-debu merah membentuk wajah Alaric yang sedang tertawa sembari menginjak punggungnya.

"Kau pikir kau bisa menjadi pahlawan, Manusia?" suara bayangan Alaric itu bergema di kepalanya. "Lihat dirimu. Merangkak di dalam sampah, membusuk di dalam besi tua. Lyra sudah melupakan namamu."

Kaelan menggigit gumpalan kain di mulutnya semakin keras. Rasa asin darah memenuhi lidahnya. Ia tahu itu hanya tipuan "Debu Memori" yang ada di zona maut ini, namun rasa sakit fisiknya membuat pertahanannya goyah. Tulang rusuknya mulai menonjol ke luar, seolah-olah ada sesuatu yang mencoba meledak dari dalam dadanya.

"Kaelan! Ada sesuatu yang datang!" Bara berteriak sembari mengangkat potongan besi besarnya.

Di mulut pipa, tiga ekor Ghoulsand dengan mata merah yang menyala tampak sedang mengendus-endus udara. Mereka mencium aroma energi yang meluap dari tubuh Kaelan—energi murni yang sedang bermutasi. Makhluk-makhluk itu melolong rendah, bersiap untuk menerjang ke dalam ruang sempit yang kini menjadi tempat persembunyian mereka.

"Jangan sekarang... kumohon, jangan sekarang," rintih Bara. Ia menoleh ke arah Kaelan yang masih dalam kondisi lumpuh total akibat proses ritual. "Kaelan, jika kau mendengarku... cepatlah bangun! Aku tidak bisa menahan mereka sendirian!"

Kaelan mendengar teriakan Bara, namun tubuhnya tidak lagi menuruti perintah otaknya. Punggungnya yang penuh luka cambuk dari sesi interogasi di Solaria kini mulai mengeluarkan cahaya perak yang samar. Cahaya itu merembes keluar dari retakan kulitnya, membakar sisa-sisa pakaian yang melekat di tubuhnya. Sapu tangan Azure di dadanya kini benar-benar menjadi kaku seperti lempengan baja kecil, bersinar redup seolah mencoba melindungi jantung pemiliknya.

"Maafkan aku, Lyra..." batin Kaelan di tengah siksaan itu. "Aku harus memecahkan segel ini... atau kita berdua akan tamat di sini."

Seekor Ghoulsand pertama melompat masuk ke dalam pipa. Bara mengayunkan pipa besinya dengan seluruh kekuatannya, menghantam kepala makhluk itu hingga terlempar ke dinding. Namun, dua makhluk lainnya segera menyusul, mencakar bahu Bara hingga raksasa manusia itu mengerang kesakitan.

Di Solaria, Lyra mendadak memegangi bahu kirinya. Rasa perih yang tajam menusuk dagingnya, meski tidak ada luka di sana. Ia tahu Bara atau Kaelan sedang terluka. Dengan sisa tenaganya, Lyra merangkak menuju meja kecil, mengambil sebuah belati kecil yang biasa digunakan untuk memotong buah. Ia tidak ingin mati, tapi ia ingin memberikan sesuatu—sebuah dorongan energi melalui ikatan resonansi yang terlarang.

"Jika kau bisa merasakanku... ambilah ini," bisik Lyra sembari menyayat telapak tangannya sendiri.

Darah biru keunguan menetes dari tangan sang putri Elf. Di dalam pipa Red Line, Kaelan mendadak merasakan aliran dingin yang masuk ke dalam nadinya, meredam api yang membakar sumsum tulangnya untuk sesaat. Tekanan di dalam dadanya mencapai titik puncak.

KREK—DUM!

Suara itu bukan lagi sekadar retakan. Itu adalah suara ledakan internal. Seluruh pipa baja itu bergetar hebat. Gelombang energi abu-abu meledak dari tubuh Kaelan, melemparkan dua Ghoulsand yang sedang menyerang Bara hingga hancur berkeping-keping menghantam dinding pipa.

Bara terjatuh, napasnya memburu, matanya terbelalak melihat apa yang ada di depannya. Kaelan tidak lagi terbaring lemas. Ia perlahan bangkit, namun tubuhnya tampak berbeda. Kulitnya kini memiliki semburat warna metalik yang halus, dan matanya... matanya bukan lagi cokelat fana, melainkan abu-abu tajam yang memancarkan otoritas murni.

"Kaelan?" Bara berbisik dengan nada ngeri sekaligus takjub.

Kaelan memuntahkan gumpalan kain dari mulutnya. Ia mengatur napasnya yang kini terdengar lebih berat dan berisi. Ia meraba dadanya, memastikan sapu tangan Azure itu masih ada di sana.

"Prosesnya baru saja dimulai, Bara," suara Kaelan terdengar lebih rendah, memiliki resonansi getaran logam yang samar. "Siapkan dirimu. Pemilik tempat ini tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja setelah aku merusak keheningan mereka."

Udara di dalam pipa baja itu kini terasa lebih padat, seolah-olah setiap molekul oksigen telah terisi oleh muatan statis yang berasal dari tubuh Kaelan. Bara masih terduduk di lantai pipa yang dingin, matanya terpaku pada lengan Kaelan yang kini tidak lagi terlihat seperti kulit manusia biasa. Di bawah cahaya kemerahan gurun, tulang-tulang Kaelan yang menonjol tampak memiliki kilau kusam layaknya besi tempaan yang baru saja keluar dari tungku api.

"Kau... kau masih Kaelan, kan?" Bara bertanya dengan suara yang nyaris tak terdengar. Ia mencengkeram pipa besinya lebih erat, bukan untuk menyerang, melainkan untuk menahan tangannya agar tidak gemetar.

Kaelan menoleh perlahan. Gerakannya kini terlihat lebih presisi, tanpa ada goyangan atau kelemahan yang tersisa dari luka-luka sebelumnya. "Aku masih orang yang sama, Bara. Hanya saja, beban yang kupikul kini terasa lebih ringan karena tulangku tidak lagi rapuh."

Kaelan melangkah maju, mendekati sisa-sisa bangkai Ghoulsand yang hancur karena ledakan energinya tadi. Ia berjongkok dan menyentuh sisa kristal merah yang melekat pada daging makhluk itu. Seketika, kristal tersebut kehilangan warnanya dan menjadi abu, diserap habis oleh sumsum tulang Kaelan yang kini haus akan nutrisi energi.

"Rasa sakitnya belum hilang sepenuhnya," Kaelan bergumam sembari memegang dadanya. Di balik kain bajunya yang robek, sapu tangan Azure milik Lyra terasa sangat dingin, sebuah kontras yang tajam dengan suhu tubuhnya yang masih membara. "Setiap kali jantungku berdetak, aku merasakan getaran yang sama dari arah utara. Dari Solaria."

"Maksudmu Putri Lyra?" Bara ikut berdiri, mencoba mengatur napasnya yang masih tersengal. "Jika benar dia merasakan apa yang kau rasakan, maka saat ini dia pasti sedang berada dalam kondisi yang mengerikan. Alaric tidak akan membiarkannya diam."

Kaelan mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya mengeluarkan bunyi berderak yang berat. "Itu sebabnya kita tidak bisa berlama-lama di sini. Ritual ini baru saja memecahkan segel luar. Aku butuh tempat yang lebih jenuh dengan energi untuk menstabilkan struktur sumsum tulangku sebelum tubuhku benar-benar hancur karena beban ini."

Tiba-tiba, suara dengungan rendah terdengar dari kejauhan. Itu bukan suara monster, melainkan suara mesin. Lampu sorot mana yang kuat mulai menyapu permukaan pasir merah dari kejauhan, menembus kabut debu yang mulai menipis.

"Patroli perbatasan," desis Bara. "Mereka pasti mendeteksi ledakan energi dari ritualmu tadi. Kaelan, kita harus pergi!"

"Mereka membawa anjing pelacak mana," Kaelan menatap cahaya yang mendekat itu dengan mata abu-abunya yang tajam. "Jika kita lari sekarang, mereka akan memburu kita di padang terbuka. Kita akan menjadi sasaran empuk bagi panah-panah mana mereka."

"Lalu apa rencanamu? Kau baru saja bangkit dari kematian, Kaelan! Kau belum siap bertempur melawan satu skuadron penuh penjaga langit!" Bara menarik lengan Kaelan, namun ia terkejut merasakan betapa berat dan kokohnya tubuh sahabatnya itu sekarang. Rasanya seperti mencoba menarik pilar bangunan.

Kaelan tidak bergeming. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sapu tangan Azure yang sudah mengeras. Ia menatap kain itu sejenak, membayangkan wajah Lyra yang sedang menahan perih di istana. Kelembutan yang tersisa di hatinya mendadak berubah menjadi tekad yang dingin dan tajam.

"Aku akan memancing mereka ke arah Celah Void," ujar Kaelan datar. "Di sana, radiasi debu memori terlalu kuat untuk anjing pelacak mereka. Bara, kau pergilah ke arah selatan, menuju reruntuhan penambangan Sektor 4. Aku akan menemuimu di sana saat fajar."

"Kau gila! Ke Celah Void sendirian? Itu bunuh diri!" Bara memprotes keras.

"Percayalah padaku, Bara. Tulangku sekarang adalah bagian dari tempat ini," Kaelan menepuk bahu raksasa sahabatnya itu. "Dan jangan lupa, aku masih berhutang penjelasan padamu tentang bagaimana rasanya memiliki sumsum dari besi."

Kaelan tidak menunggu jawaban lagi. Ia melompat keluar dari pipa baja, bergerak dengan kecepatan yang mustahil dideteksi oleh mata fana. Ia sengaja melepaskan sedikit aura energinya, membiarkan cahaya perak samar keluar dari punggungnya sebagai umpan bagi para pengejar.

Di Solaria, di dalam kesunyian kamarnya, Lyra mendadak mendongak. Ia merasakan detak jantung yang liar, diikuti oleh dorongan adrenalin yang sangat kuat. Rasa sakit di sumsum tulangnya perlahan mereda, digantikan oleh semangat juang yang membara. Ia berdiri, meski kakinya masih lemas, dan berjalan menuju jendela yang menghadap ke arah Red Line.

"Kau sedang bertarung..." bisik Lyra sembari mengusap telapak tangannya yang baru saja ia sayat. Luka itu secara ajaib mulai menutup lebih cepat dari biasanya. "Gunakanlah kemarahanku, Kaelan. Jangan biarkan mereka menang."

Kaelan terus berlari di atas pasir merah yang lembut, setiap langkahnya menciptakan cekungan kecil yang dalam. Di belakangnya, suara peluit dan gong penjaga langit semakin riuh. Anak-anak panah mana mulai melesat di sekitarnya, meninggalkan jejak cahaya biru di udara malam yang gelap.

Salah satu anak panah menggores bahu Kaelan, namun ia hanya mendengus. Darah yang keluar dari lukanya bukan lagi merah cerah, melainkan merah gelap yang kental dengan pendaran abu-abu. Ia tidak merasa lemas; sebaliknya, rasa sakit itu memicu sumsum tulangnya untuk bekerja lebih keras, memperkuat kepadatan otot-otot di sekitar luka.

Ini belum cukup, batin Kaelan sembari melihat jurang hitam yang mulai terlihat di depan matanya—Celah Void. Aku butuh lebih banyak penderitaan untuk benar-benar menghancurkan sisa-sisa kemanusiaan yang lemah ini.

Kaelan berhenti tepat di tepi jurang. Ia berbalik, menatap skuadron penjaga yang kini mulai mengepungnya. Di antara mereka, seorang kapten Elf dengan zirah perak yang berkilau turun dari tunggangannya, menatap Kaelan dengan penghinaan yang mendalam.

"Manusia sampah. Kau sudah menyebabkan banyak masalah malam ini hanya untuk sebuah filter bekas," ujar sang kapten sembari menghunuskan pedang mana-nya. "Menyerahlah, dan aku akan memberikan kematian yang cepat."

Kaelan tertawa, sebuah tawa yang terdengar seperti gesekan dua bilah pedang. Ia mengeluarkan sapu tangan Azure-nya dan melilitkannya di tangan kanannya, mengikatnya kuat-kuat hingga tekstur kain yang kaku itu menyatu dengan kepalan tangannya.

"Kematian adalah sesuatu yang sudah kutinggalkan di ruang sidang Solaria, Kapten," suara Kaelan bergema, membuat anjing-anjing pelacak mana di sekitar para penjaga itu mundur ketakutan. "Sekarang, yang tersisa hanyalah pembayaran atas setiap tetes air mata yang jatuh malam ini."

Kaelan tidak menunggu serangan. Ia adalah orang pertama yang menerjang ke arah barisan zirah perak itu, membawa serta seluruh amarah dan kekuatan Iron Bone yang baru saja terbangun. Malam di Red Line yang tadinya sunyi kini pecah oleh suara dentuman logam yang dihantam kekuatan murni yang tak masuk akal.

1
prameswari azka salsabil
awal keseruan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sungguh pengertian
prameswari azka salsabil
kasihan sekali kaelan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
luar biasa
Kartika Candrabuwana: jos pokoknya👍
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ujian ilusi
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sesuai namanya
prameswari azka salsabil
syukurlah kaelan meningkat
prameswari azka salsabil
ada petubahan tradisi?
prameswari azka salsabil
kaelan bertahanlah
prameswari azka salsabil
bertarung dengan bayangan🤣
Indriyati
iya. untuk kehiduoan yang lebih baik
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Indriyati
ayo kaelan tetap semanhat😍
Kartika Candrabuwana: iya. nakasih
total 1 replies
Indriyati
bagus kaelan semakinnkuat👍😍
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
Indriyati
iya..lyra berpikir positif dan yakin👍💪
Kartika Candrabuwana: betul
total 1 replies
Indriyati
seperti di neraka😄🤭🤭
Kartika Candrabuwana: iya. makssih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
wuihhh. asyik benere👍💪
prameswari azka salsabil
iya kasihan juga ya🤣🤣
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ini pertambangan ya😄
Kartika Candrabuwana: kurang lebih iya
total 1 replies
prameswari azka salsabil
hidup kaelan👍💪
Kartika Candrabuwana: baik. ayo kaelan
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bersabar ya
Kartika Candrabuwana: iya. makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!