Di sebuah desa kecil di lereng Gunung Sumbing, Temanggung, hidup seorang pemuda bernama Arjuna Wicaksono. Sejak kecil, ia hanya tinggal bersama neneknya yang renta. Kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah kecelakaan saat ia masih balita, sementara kakeknya telah lama pergi tanpa kabar. Hidup Arjuna berada di titik terendah ketika ia baru saja lulus SMA. Satu per satu surat penolakan beasiswa datang, menutup harapannya untuk kuliah. Di saat yang sama, penyakit neneknya semakin parah, sementara hutang untuk biaya pengobatan terus menumpuk. Dihimpit keputusasaan, Arjuna memutuskan untuk merantau ke Jakarta, mencari pekerjaan demi mengobati sang nenek. Namun takdir berkata lain. Malam sebelum keberangkatannya, Arjuna menemukan sebuah kotak kayu berukir di balik papan lantai kamarnya yang longgar. Di dalamnya tersimpan cincin perak kuno dengan batu safir biru yang misterius - warisan dari kakeknya yang telah lama menghilang. Sejak menggunakan cincin itu, kehidupanNya berubah drastis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RivaniRian21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Seni Bertarung
Udara di gang sempit itu terasa berat, penuh dengan niat buruk. Tawa mengejek dari gerombolan itu menggema, memantul di antara dinding-dinding kusam.
"Lihat mukanya, sok tenang gitu!" cibir pemuda kurus bertato. "Lo pikir kita takut lihat muka melas lo, hah?"
"Udah, jangan banyak omong! Siniin dompet lo, pahlawan!" timpal yang lain sambil maju selangkah, mencoba mengintimidasi.
Mereka terus memprovokasi Arjuna, melontarkan hinaan tentang penampilannya yang kampungan, tentang tubuhnya yang kurus, dan tentang kebodohannya karena berani ikut campur. Anehnya, semakin banyak hinaan yang ia terima, semakin jernih pikirannya. Gelombang amarah dan rasa sakit yang ia rasakan di kampus UNG tadi tidak muncul. Sebaliknya, ada ketenangan luar biasa yang menyelimutinya. Seolah-olah cincin di jarinya memfilter semua emosi negatif, hanya menyisakan fokus yang tajam dan dingin. Ia bisa melihat setiap gerak-gerik mereka, setiap kedutan otot, setiap perubahan ekspresi dengan sangat jelas.
Ketenangan Arjuna yang tidak wajar itu justru membuat si pemimpin gerombolan semakin kesal. Ia merasa diremehkan.
"Bacot doang lo semua!" geramnya pada teman-temannya. "Hajar aja biar dia ngerti!"
Salah satu dari mereka, yang paling tidak sabaran, langsung menerjang. Ia melayangkan pukulan kanan yang liar dan bertenaga, mengarah langsung ke wajah Arjuna. Di matanya, Arjuna hanyalah mangsa empuk yang akan langsung tersungkur dengan satu pukulan.
Namun, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Bagi Arjuna, pukulan yang datang dengan cepat itu seolah bergerak dalam gerak lambat. Ia bisa melihat arahnya dengan presisi yang sempurna. Tanpa ia sadari, tubuhnya bergerak sendiri, didorong oleh refleks yang bukan miliknya.
Ia sedikit memiringkan kepalanya, membuat tinju itu lewat hanya beberapa sentimeter dari pipinya, anginnya bahkan terasa menyapu kulitnya. Pada saat yang bersamaan, tangannya bergerak naik. Bukan untuk meninju, tapi dengan telapak tangan terbuka, ia menepis lengan penyerangnya dari bawah. Gerakannya begitu halus dan efisien.
DHUK!
Tepat setelah menepis, tanpa jeda sedikit pun, Arjuna melangkah maju satu langkah kecil. Siku kanannya terangkat dan menghantam ulu hati si penyerang dengan kekuatan yang mengejutkan. Serangan itu tidak terlihat brutal, tapi cepat, tepat, dan telak.
"ARGHH!"
Pemuda itu terpekik, matanya membelalak kaget. Seluruh udara di paru-parunya seolah terisap keluar. Ia langsung terbungkuk, memegangi perutnya, dan terhuyung mundur beberapa langkah sebelum jatuh berlutut sambil terbatuk-batuk hebat, tak mampu bernapas dengan benar.
Hening.
Tawa dan ejekan yang tadi memenuhi gang sempit itu seketika lenyap. Kelima anggota gerombolan yang tersisa membeku di tempat, mulut mereka sedikit ternganga. Mereka menatap temannya yang tersungkur, lalu beralih menatap Arjuna dengan ekspresi tak percaya.
Bagaimana bisa? Pemuda kurus dan kampungan ini baru saja melumpuhkan salah satu dari mereka dengan satu serangan yang bahkan tidak terlihat seperti pukulan?
Pemuda yang dipalak di belakang Arjuna pun sama terkejutnya. Matanya membulat, menatap punggung Arjuna yang kini tampak begitu berbeda. Punggung itu tidak lagi terlihat ringkih, melainkan kokoh seperti batu karang.
"Si-sialan..." desis si pemimpin gerombolan, rasa terkejutnya perlahan berubah menjadi amarah yang lebih besar bercampur sedikit rasa takut. "Lo... lo bisa berantem?"
Arjuna tidak menjawab. Ia hanya menggeser posisi kuda-kudanya sedikit, lebih rendah dan lebih mantap. Matanya yang tenang kini memancarkan kilau biru samar yang dingin, sama seperti batu safir di cincinnya. Ia tidak tahu dari mana datangnya gerakan tadi, rasanya seperti tarian yang sudah ia hafal di luar kepala. Dan ia tahu, tarian ini baru saja dimulai.
Kilau dingin di mata Arjuna dan sikapnya yang tak gentar seolah menjadi percikan api yang menyulut tong mesiu. Amarah dan harga diri yang terluka membuat si pemimpin gerombolan gelap mata.
"Jangan bengong! Maju semua! Keroyok dia!" teriaknya, memberikan perintah mutlak.
Keraguan yang tadi sempat muncul di wajah para pengikutnya sirna, digantikan oleh kebrutalan kelompok. Mereka tidak akan membiarkan harga diri mereka sebagai "penguasa" gang ini diinjak-injak oleh seorang anak kampung.
Lima orang bergerak serentak.
Mereka menyerang dari berbagai arah, mencoba memanfaatkan keunggulan jumlah untuk mengepung dan melumpuhkan Arjuna. Satu orang dari kanan melayangkan tendangan, sementara dua orang dari depan menerjang dengan pukulan membabi buta. Pemimpinnya sendiri menunggu kesempatan, mencari celah untuk melancarkan serangan mematikan.
Bagi orang normal, ini adalah situasi tanpa harapan. Namun bagi Arjuna, dunia kembali melambat.
Kepanikan tidak ada dalam kamusnya. Cincin di jarinya memancarkan energi dingin yang menjalar ke seluruh sistem sarafnya, mempertajam setiap indranya hingga ke tingkat manusia super. Riuh rendahnya serangan yang datang bersamaan itu tidak terdengar sebagai kebisingan, melainkan terurai menjadi ritme dan pola yang jelas. Ia bisa melihat lintasan setiap kepalan tangan, setiap ayunan kaki.
Saat tendangan dari sisi kanan hampir mengenai pinggangnya, Arjuna tidak menghindar. Ia justru sedikit memutar tubuhnya, membiarkan energi tendangan itu menyerempetnya sambil menggunakan tangan kirinya untuk menekan betis si penendang. Gerakan kecil itu sudah cukup untuk membuat penyerangnya kehilangan keseimbangan dan terhuyung ke depan.
Pada saat yang sama, dua pukulan dari depan tiba. Arjuna merendahkan tubuhnya, nyaris seperti berjongkok, membuat kedua pukulan itu meleset di atas kepalanya dan hampir mengenai satu sama lain. Menggunakan momentum dari posisi rendahnya, ia mendorong tubuhnya ke depan, bahunya menghantam perut salah satu penyerang, sementara kakinya menyapu pergelangan kaki penyerang kedua.
BRUK! GEDUBUK!
Dalam satu gerakan yang mengalir mulus, tiga penyerang sudah terjatuh atau kehilangan keseimbangan, saling bertubrukan dalam kebingungan. Mereka tidak mengerti bagaimana serangan keroyokan mereka bisa dimentahkan dengan begitu mudah.
"Sialan!" Pemuda bertato yang berhasil bangkit lebih dulu kembali menerjang dengan sebilah pisau lipat kecil yang tiba-tiba muncul di tangannya. Kilau bilah pisau itu tampak mengerikan di bawah cahaya temaram.
Melihat senjata tajam, insting Arjuna bereaksi lebih cepat. Ia tidak mundur. Saat tusukan itu mengarah ke perutnya, ia memutar tubuhnya, pergelangan tangannya bergerak secepat kilat menangkap dan memuntir pergelangan tangan si penyerang.
KRAK!
Terdengar bunyi tulang yang bergeser.
"ARRRGGHHH!" Pemuda bertato itu menjerit kesakitan, pisaunya jatuh berkerontang di aspal. Tangannya terkulai lemas, tak bisa digerakkan.
Kini hanya tersisa si pemimpin gerombolan. Matanya membelalak ngeri melihat teman-temannya dilumpuhkan satu per satu dengan begitu cepat dan efisien. Ini bukan perkelahian jalanan, ini seperti pembantaian satu sisi. Pria kurus di depannya bergerak seperti penari kematian, setiap gerakannya memiliki tujuan, setiap sentuhannya membawa rasa sakit.
"I-iblis..." desisnya, langkahnya tanpa sadar mundur satu langkah.
Arjuna kini berdiri tegak di tengah gang, dikelilingi oleh para penyerang yang mengerang kesakitan. Napasnya sedikit terengah, namun tidak ada satu goresan pun di tubuhnya. Matanya yang dingin kini tertuju pada target terakhir: si pemimpin.
Melihat tatapan itu, seluruh keberanian si pemimpin luruh seketika. Ia tidak lagi melihat seorang anak kampung yang lemah, melainkan predator yang tenang dan mematikan. Tanpa pikir panjang, ia berbalik badan dan lari tunggang langgang, meninggalkan teman-temannya yang terkapar begitu saja.
Arjuna tidak mengejarnya. Ia membiarkannya pergi.
Perlahan, ketegangan di tubuhnya mulai mereda. Energi dingin dari cincinnya kembali normal. Ia menatap tangannya sendiri, sedikit tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan. Ia bisa saja membunuh mereka, tapi entah mengapa setiap serangannya seolah terukur, hanya cukup untuk melumpuhkan, tidak untuk membunuh. Seolah ada kearifan kuno yang membimbing setiap gerakannya.
Di belakangnya, pemuda yang ia selamatkan berdiri mematung. Mulutnya menganga, matanya menatap tak berkedip pada pemandangan di hadapannya. Ia baru saja menyaksikan sesuatu yang mustahil. Seorang pemuda biasa baru saja mengalahkan enam preman jalanan sendirian, seolah itu adalah hal paling mudah di dunia.
"Ka-kamu... siapa...?" bisiknya dengan suara gemetar, lebih terdengar seperti pertanyaan pada angin daripada pada Arjuna.
biar nulisny makin lancar...💪