NovelToon NovelToon
Ingfah & Nara Si Indigo

Ingfah & Nara Si Indigo

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Mata Batin
Popularitas:68
Nilai: 5
Nama Author: Princss Halu

SINOPSIS
​Nara dan Ingfah bukan sekadar putri pewaris takhta Cankimha Corp, salah satu konglomerat terbesar di Asia. Di balik kehidupan mewah dan rutinitas korporasi mereka yang sempurna, tersimpan masa lalu berdarah yang dimulai di puncak Gunung Meru.
​Tujuh belas tahun lalu, mereka adalah balita yang melarikan diri dari pembantaian seorang gubernur haus kuasa, Luang Wicint. Dengan perlindungan alam dan kekuatan mustika kuno keluarga Khon Khaw, mereka bertahan hidup di hutan belantara hingga diadopsi oleh Arun Cankimha, sang raja bisnis yang memiliki rahasianya sendiri.
​Kini, Nara telah tumbuh menjadi wanita tangguh dengan wibawa mematikan. Di siang hari, ia adalah eksekutif jenius yang membungkam dewan direksi korup dengan kecerdasannya. Di malam hari, ia adalah ksatria tak terkalahkan yang bersenjatakan Busur Sakti Prema-Vana dan teknologi gravitasi mutakhir.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princss Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Memohon Bimbingan Penuh

Patan tidak membuang waktu. Setelah memastikan Ingfah dan Nara sarapan dan bermain dengan aman di bawah pengawasan Nenek Bua dan Bibi Prang, ia segera menuju ke Kuil Wat Phra Si Sanphet. Kali ini, ia membawa serta cerita mimpi Ingfah tentang air bah dan roh gelap sebagai bukti nyata atas urgensi situasi putrinya.

Di kuil yang damai, Patan berlutut di depan Biksu Agung.

“Yang Mulia,” ucap Patan dengan nada hormat dan putus asa.

“Putri hamba, Ingfah, kini berusia tiga tahun. Namun, kepekaannya semakin kuat. Baru pagi ini, ia menceritakan penglihatan tentang air bah besar dan roh-roh yang marah. Hamba takut ini adalah peringatan.”

Patan menceritakan tentang insiden di pasar, bagaimana Ingfah mampu memerintah roh, dan bagaimana kini ia mendapat penglihatan yang mungkin memprediksi bencana.

“Ingfah sangat rentan, Yang Mulia. Meskipun kami sudah melakukan semua yang Anda sarankan doa harian dan persahabatan dengan Nara hamba merasa Ingfah membutuhkan perlindungan dari dalam yang lebih mendalam sekarang juga.

Hamba mohon, terimalah Ingfah sebagai murid, meskipun usianya masih terlalu muda. Ajari dia cara mengendalikan anugerah dan bebannya.”

Biksu Agung menutup mata, membiarkan keheningan menyerap kata-kata Patan. Setelah beberapa saat, ia membuka matanya yang penuh kedamaian.

“Aku tahu, Patan. Alam semesta sedang bergerak cepat. Anak indigo yang terlahir sekarang tidak bisa menunggu waktu yang tenang,” ujar Biksu Agung.

Beliau memandang Patan dengan tatapan tajam yang menembus jiwa.

“Baiklah, aku akan menerima Ingfah. Aku tidak akan mengajarkannya ajaran kuil yang ketat, tetapi aku akan mengajarkannya Delapan Pilar Pengendalian Diri yang khusus dirancang untuk mereka yang melihat dua alam.”

Biksu Agung menjelaskan bahwa takdir Ingfah lebih besar dari sekadar melihat hantu.

“Ingfah bukan hanya anak indigo, Patan. Dia adalah sebuah jembatan yang lahir dengan energi spiritual yang kuat. Jika ia tidak belajar mengendalikan kekuatannya, ia tidak hanya akan menarik roh-roh jahat, tetapi ia juga akan menjadi target orang-orang yang ingin menggunakan kekuatannya untuk tujuan gelap.”

Biksu Agung memberi Patan instruksi rinci:

Pelatihan Mingguan: Patan harus membawa Ingfah ke kuil setiap akhir pekan untuk pelajaran fokus dan meditasi khusus.

Keheningan: Ingfah harus diajarkan untuk menghormati keheningan. Kekuatan ada dalam keheningan, bukan ocehan.

Kasih Sayang sebagai Perisai: Kekuatan terbesar Ingfah adalah cintanya. Kasih sayang tanpa pamrih adalah perisai terkuatnya dari roh dan manusia jahat.

“Bawalah dia minggu depan, Patan. Sekarang pergilah. Dan dengarkan peringatan Ingfah tentang air. Bersiaplah,” tutup Biksu Agung.

Patan berterima kasih sedalam-dalamnya. Ia meninggalkan kuil dengan rasa lega. Putrinya kini berada di bawah bimbingan spiritual terbaik di seluruh Ayutthaya. Patan tahu, tantangan besar akan datang, tetapi Ingfah tidak akan menghadapinya sendirian.

Patan pulang ke rumah dengan hati yang lapang. Ia segera menceritakan kabar gembira itu kepada Nenek Bua dan Bibi Prang: Biksu Agung telah menerima Ingfah sebagai muridnya, meskipun usianya baru tiga tahun. Seluruh keluarga merasa lega dan bersyukur.

Ingfah, setelah sarapan bersama Nara, sedang bermain di ruang tengah. Mereka tidak terpisahkan, sibuk menyusun tumpukan kayu menjadi 'istana' khayalan mereka.

Patan menghampiri putrinya, berjongkok di samping tumpukan kayu itu. Ia ingin menyampaikan kabar ini dengan cara yang menyenangkan, bukan sebagai beban.

"Ingfah, putri Ayah," kata Patan dengan nada lembut.

"Ayah punya kabar baik. Besok, Ingfah akan belajar di Kuil bersama Biksu Agung."

Ingfah menghentikan permainannya, matanya yang biru jernih menatap Patan.

Nara, yang mendengarkan dengan saksama, segera menoleh kepada Patan.

"Paman, apa Nara boleh ikut? Nara ingin bersama Nong Ingfah!" tanya Nara polos, khawatir akan berpisah dari sahabatnya.

Nara tahu bahwa Biksu Agung adalah sosok yang sangat dihormati, dan dia tidak mau Ingfah meninggalkannya.

"Ayah," Ingfah menimpali, mengikuti kehendak Nara. "Pii Nara boleh ikut?"

Patan tersenyum melihat ikatan kuat kedua anak itu. Ia tahu Bibi Prik sangat mendukung persahabatan mereka, dan kehadiran Nara pasti akan sangat membantu Ingfah selama pelatihan.

"Ayah akan bicara dengan Bibi Prik, ya. Tapi, pelajaran ini sangat penting. Nara dan Ingfah akan belajar bagaimana membuat diri kalian kuat dari dalam, agar tidak ada roh jahat yang mengganggu. Kalian mau jadi anak yang kuat?" tanya Patan.

Kedua gadis itu mengangguk serentak dengan penuh semangat.

"Bagus. Ingfah, Biksu Agung bilang, kamu harus belajar diam dan fokus. Jika kamu bisa fokus, kamu bisa membuat dirimu tidak terlihat oleh roh jahat, seperti kalian sedang bermain petak umpet," Patan mencoba menjelaskan konsep pengendalian diri dengan bahasa yang mudah dimengerti anak kecil.

Nara, yang lebih tua dan lebih cepat menangkap ide, memeluk Ingfah.

"Kita pasti bisa! Nanti kita main tebak-tebakan fokus di Kuil!"

Patan kemudian menjelaskan bahwa ia akan berbicara dengan Bibi Prik tentang kemungkinan Nara ikut menemani. Ia tahu Biksu Agung akan memahami bahwa Nara adalah kunci penting dalam mengendalikan Ingfah.

Patan segera meninggalkan rumah menuju pasar untuk menemui Bibi Prik di lapaknya. Ia harus memastikan apakah Nara bisa ikut serta dalam pelajaran di kuil. Sementara itu, Nara dan Ingfah ditinggalkan di rumah, asyik bermain di ruang tengah bersama Nenek Bua dan Bibi Prang.

Sesampainya di lapak rempah-rempah Bibi Prik, Patan menyampaikan kabar baik tentang penerimaan Ingfah sebagai murid Biksu Agung dan menjelaskan permintaan putrinya agar Nara ikut.

"Bibi Prik," kata Patan, setelah menceritakan semua yang Biksu Agung sampaikan.

"Ingfah dan Nara tidak mau berpisah. Dan sejujurnya, Bibi Prik, Nara adalah sauh bagi Ingfah. Kehadirannya membantu Ingfah untuk tetap berada di dunia nyata."

Bibi Prik mendengarkan dengan saksama. Senyumnya mengembang penuh pengertian.

"Aku sudah menduganya, Patan," ujar Bibi Prik. "Kedua anak itu memiliki koneksi yang mendalam. Mereka saling melengkapi. Nara sendiri juga membutuhkan bimbingan formal. Aku hanya mengajarinya cara bertahan, bukan cara menggunakan anugerahnya."

"Tentu saja Nara boleh ikut," lanjut Bibi Prik dengan nada tegas.

"Biksu Agung adalah guru yang sangat mulia. Aku percaya ini adalah takdir mereka berdua. Mereka ditakdirkan untuk belajar dan tumbuh bersama."

Bibi Prik memberi Patan beberapa nasihat tambahan:

"Pastikan Nara juga memakai kalung pelindungnya, Patan. Dan ingatkan mereka, kuil adalah tempat hening. Mereka boleh bermain, tapi harus belajar kapan waktunya diam dan kapan waktunya bicara."

Patan merasa sangat lega. Ia tahu ini adalah keputusan terbaik. Ingfah dan Nara kini tidak hanya akan menjadi sahabat, tetapi juga rekan seperjuangan dalam takdir spiritual mereka. Patan mengucapkan terima kasih berkali-kali kepada Bibi Prik.

Kini, semua sudah siap. Ingfah dan Nara, si duo indigo, akan memulai perjalanan spiritual mereka di bawah bimbingan salah satu master spiritual terhebat di Thailand.

Patan melangkah dengan ringan meninggalkan pasar. Beban di pundaknya seolah terangkat sebagian setelah mendapat restu dari Bibi Prik. Ia membayangkan masa depan Ingfah dan Nara yang tidak lagi harus merasa takut atau bingung dengan penglihatan mereka.

"Pergilah, Nak. Bibi titip Nara. Ia pantas mendapat pelajaran tentang keseimbangan dan fokus pada ahlinya," kata-kata Bibi Prik tadi terus terngiang, menjadi penyemangat bagi Patan.

Setibanya di rumah panggung, Patan menaiki tangga kayu dengan cepat. Suara tawa kecil dan celoteh kedua bocah itu terdengar dari ruang tengah. Ia mendapati Ingfah dan Nara sedang duduk melingkar bersama Bibi Prang, rupanya mereka sedang bermain menebak benda di dalam genggaman tangan—sebuah latihan fokus sederhana yang diajarkan Bibi Prang.

"Ayah pulang!" seru Ingfah begitu melihat bayangan ayahnya di pintu. Ia segera menghambur memeluk kaki Patan.

Patan menggendong Ingfah dan mengusap kepala Nara yang menatapnya penuh harap.

"Nara, Ingfah... dengarkan Ayah," kata Patan dengan binar mata bahagia.

"Ayah sudah bicara dengan Nenek Prik. Besok, kalian berdua akan pergi ke kuil bersama-sama. Nara boleh ikut belajar bersama Nong Ingfah!"

"Horeee!" Nara melompat kegirangan, sementara Ingfah bertepuk tangan kecil mengikuti keceriaan kakak angkatnya itu.

Bibi Prang dan Nenek Bua yang mendengar hal itu saling berpandangan dan tersenyum lega. Mereka tahu, ini adalah langkah besar bagi keselamatan kedua bocah istimewa itu.

"Nah, karena besok harus bangun pagi sekali, sore ini kalian harus mandi yang bersih dan menyiapkan pakaian putih kalian," ujar Bibi Prang sambil menyiapkan air hangat.

Patan memperhatikan kedua gadis kecil itu. Ia menyadari bahwa tugasnya bukan hanya memberi makan dan tempat berteduh, tapi menyiapkan bekal batin bagi mereka untuk menghadapi dunia yang tidak bisa dilihat orang biasa.

"Malam ini kita berdoa lebih awal," ajak Patan. "Kita berterima kasih pada Ibu Kon Khaw dan para leluhur karena memberikan jalan bagi kalian untuk belajar."

Ingfah mengangguk mantap. "Fah mau jadi kuat, Ayah! Supaya bisa usir guk-guk kotor!"

Nara memegang tangan Ingfah.

"Pii Nara juga. Kita akan jaga satu sama lain, kan?"

Malam itu, rumah panggung di tepi sungai tersebut terasa begitu hangat. Ada doa yang terucap lebih tulus dari biasanya, dan ada harapan yang mekar di tengah kegelapan malam, menyongsong fajar pertama mereka sebagai murid Biksu Agung.

Malam itu, suasana kamar terasa sangat khusyuk. Cahaya lilin kecil menari-nari di dinding kayu, menciptakan bayangan yang tenang. Patan duduk bersila di tengah, diapit oleh Ingfah dan Nara.

Dengan suara rendah dan menenangkan, Patan membimbing mereka.

"Ucapkan terima kasih pada Leluhur yang menjaga rumah ini... doakan Nenek Bua supaya sehat, Bibi Prang supaya selalu sabar, dan Nenek Prik supaya dagangannya berkah..."

Kedua bocah itu mengikuti dengan sungguh-sungguh, tangan mungil mereka terkatup di depan dada. Namun, setelah doa selesai dan suasana menjadi hening, Ingfah menatap ruang kosong di samping Patan—tempat di mana ia sering melihat sosok wanita cantik yang selalu tersenyum padanya.

Ingfah menarik ujung baju Patan, matanya yang biru jernih tampak berkaca-kaca karena penasaran.

"Ayah... kenapa Mee (Ibu) tidak bisa dipeluk?" tanya Ingfah polos.

"Fah bisa lihat Mee tersenyum, Mee juga belai rambut Fah, tapi tangan Fah tembus... tidak bisa peluk Mee seperti peluk Ayah atau Pii Nara."

Pertanyaan itu bagaikan sembilu yang menyayat hati Patan. Ia menarik napas panjang, mencoba menahan sesak di dadanya. Nara yang duduk di samping mereka pun terdiam, ia mengerti perasaan Ingfah karena ia sendiri pun sudah kehilangan orang tuanya.

Patan kemudian merangkul Ingfah dan Nara sekaligus, membawa mereka ke dalam pelukannya yang hangat dan nyata.

"Putri Ayah, dengarkan ya," bisik Patan lembut. "Ibu Kon Khaw itu sekarang seperti cahaya matahari. Ingfah bisa merasakan hangatnya di kulit, bisa melihat terangnya, tapi kita tidak bisa menangkap cahaya itu dengan tangan, kan?"

Ingfah mendengarkan dengan saksama, matanya berkedip pelan.

"Tubuh Ibu sudah menjadi bagian dari alam, tapi cintanya tetap ada di sini," lanjut Patan sambil menyentuh dada kiri Ingfah.

"Ibu tidak bisa dipeluk dengan tangan, tapi Ibu selalu memeluk jiwa Ingfah setiap saat. Itulah sebabnya Fah merasa tenang saat dia ada."

Nara ikut mengangguk, mencoba menghibur adiknya.

"Betul, Nong Ingfah. Nenek Prik bilang, roh yang sayang pada kita itu memeluk kita lewat mimpi dan lewat rasa hangat di hati. Pii Nara juga sering merasa begitu."

Ingfah terdiam sejenak, lalu ia menoleh ke arah sosok tak kasat mata itu dan tersenyum tipis.

"Mee... Fah sayang Mee," bisiknya ke udara kosong.

Seolah merespon, hembusan angin sejuk yang lembut tiba-tiba bertiup di dalam kamar yang tertutup itu, membelai pipi mereka bertiga. Patan tahu, Kon Khaw baru saja memberikan "pelukan" versinya sendiri.

"Sekarang, tidurlah. Besok adalah hari besar kalian," kata Patan sambil menyelimuti kedua gadis kecil itu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!