Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dolce Vita dan Drama Pasta
Kemenangan atas Silas meninggalkan rasa lega yang luar biasa, namun juga kelelahan yang mencapai sumsum tulang. Jakarta akhirnya tenang, Lukas tetap membusuk di penjara, dan bayangan "Sang Mitra" telah dihapus dari catatan sejarah Gavriel Group.
Damian, yang kini diakui sebagai pemimpin tunggal yang sah, memutuskan untuk menyerahkan urusan operasional harian kepada Tiara dan tim profesionalnya selama satu bulan penuh.
"Kita butuh udara yang tidak berbau polusi dan tidak berbau gas saraf," ujar Damian sambil meletakkan dua tiket pesawat first class ke Roma di meja makan.
Aruna, yang sedang asyik mencuci piring sambil mengenakan daster motif bunga matahari, melongo. "Italia, Mas? Benar-benar Italia yang ada menara miringnya itu? Mas tidak sedang bercanda kan? Aku belum belajar bahasa Italia, nanti kalau mau pesan kerupuk di sana bahasanya apa?
Damian tertawa, memeluk istrinya dari belakang. "Di sana tidak ada kerupuk, Aruna. Tapi ada pasta, gelato, dan pemandangan yang akan membuatmu lupa pada semua kekacauan ini. Pakai gaun tercantikmu, kita berangkat besok pagi."
Roma menyambut mereka dengan cahaya matahari yang hangat dan arsitektur kuno yang megah. Mereka menginap di sebuah villa pribadi di pinggiran kota yang dikelilingi kebun anggur dan pohon zaitun. Untuk pertama kalinya dalam setahun terakhir, Aruna tidak perlu waspada terhadap suara langkah kaki di lorong atau bayangan di balik jendela.
Namun, Aruna tetaplah Aruna. Setelah tiga hari menikmati kemewahan, ia mulai merasa bosan dengan makanan hotel yang menurutnya "terlalu rapi".
"Mas, ayolah. Mari kita cari tempat makan yang lebih... 'merakyat'. Aku ingin melihat bagaimana orang Italia asli makan, bukan cuma turis yang pakai kamera besar begini," ajak Aruna sambil menarik lengan baju Damian.
Mereka akhirnya berjalan menyusuri gang-gang sempit di daerah Trastevere yang eksotis. Di sebuah pojokan jalan yang tersembunyi, Aruna berhenti di depan sebuah kedai tua bernama 'La Cucina di Nonna Rosa'. Kedai itu tampak kusam, cat pintunya mengelupas, namun aroma bawang putih dan basil yang tercium dari dalamnya sangat menggoda iman.
Saat mereka masuk, suasana di dalam sangat kacau. Seorang wanita tua dengan celemek penuh noda tepung sedang menangis di pojok ruangan, sementara seorang pria berjas necis tampak sedang membanting tumpukan surat ke atas meja.
"Aku beri waktu sampai besok, Rosa! Jika kau tidak bisa membayar hutang gedung ini, atau membuktikan bahwa kedai usangmu ini masih layak mendapatkan bintang kuliner lokal, tempat ini akan kuratakan dan kujadikan tempat parkir hotel!" teriak pria itu dalam bahasa Italia yang cukup kasar, namun Damian bisa memahaminya dengan jelas.
Aruna, meski tidak paham bahasanya, bisa merasakan aura penindasan. Ia melangkah maju, berdiri di depan pria berjas itu sambil berkacak pinggang. "Woi, Mas Bule! Jangan teriak-teriak sama orang tua! Tidak sopan tahu! Di Indonesia, orang sepertimu sudah disumpahi jadi batu!"
Pria itu tertegun, menatap Aruna dengan bingung. "Siapa wanita ini, tuan? Apa dia turis yang tersesat?"
Damian maju, melindungi Aruna. "Dia istriku. Dan dia benar, kau tidak seharusnya bersikap kasar pada Rosa."
Pria itu, yang ternyata adalah Marco, seorang pengusaha properti kejam, tertawa meremehkan. "Oh, jadi kalian pelindung rakyat jelata? Begini saja. Besok malam ada festival kuliner tahunan di alun-alun. Jika Rosa bisa memenangkan kompetisi pasta melawan koki pribadiku yang lulusan sekolah masak terbaik Paris, aku akan menghapus hutangnya. Jika tidak, keluar dari sini!"
Nonna Rosa menggeleng lemah. "Tanganku sudah gemetar karena arthritis, tuan. Aku tidak bisa lagi membuat pasta dengan kecepatan dan presisi yang dibutuhkan."
Aruna menatap Rosa, lalu menatap Damian. "Mas, kita harus bantu. Aku tidak bisa lihat kedai bersejarah begini digusur. Mas bilang kan, aku ini 'Ratu Seblak'? Seblak itu kan dasarnya kerupuk basah, hampir mirip sama pasta!"
Damian memijat pelipisnya. "Aruna, pasta Italia itu seni yang sangat sakral bagi mereka. Kamu tidak bisa mencampur bumbu kencur ke dalam Fettuccine mereka."
"Siapa bilang aku mau pakai kencur? Aku akan pakai teknik rahasia Indonesia untuk membuat pasta mereka punya 'nyawa'!"
Malam itu, vila mewah mereka berubah menjadi laboratorium kuliner. Damian terpaksa menjadi asisten koki, memotong bawang putih dengan presisi militer, sementara Aruna bereksperimen dengan adonan gandum.
"Aruna, apa yang kamu lakukan dengan cabai kering dan terasi udang yang kamu bawa dari Jakarta itu?" tanya Damian horor melihat Aruna menghaluskan bumbu merah di atas ulekan batu yang ia pinjam dari dapur Rosa.
"Ini namanya fusion, Mas! Kita akan buat 'Pasta Aglio e Olio ala Maheswari'. Rahasianya ada di teknik menumis bawangnya yang harus sampai kecokelatan tapi tidak pahit, ditambah sedikit aroma laut dari terasi yang sudah disangrai halus. Orang Italia suka anchovy, kan? Nah, terasi ini adalah sepupu jauh anchovy yang lebih berani!"
Damian hanya bisa pasrah. Ia melihat semangat Aruna yang begitu membara. Gadis itu menghabiskan waktu semalam suntuk belajar dari Nonna Rosa tentang cara membuat pasta buatan tangan yang kenyal, namun ia menambahkan sentuhan "pedas dan gurih" yang menjadi ciri khasnya.
Malam Kompetisi Kerupuk vs Kristal
Alun-alun Trastevere dipenuhi orang.
Lampu-lampu gantung menghiasi panggung kompetisi. Di satu sisi, koki Marco yang bernama Chef Antoine tampil sangat sombong dengan peralatan emas dan bahan-bahan impor dari Prancis. Di sisi lain, Aruna dan Nonna Rosa berdiri dengan panci tua dan bumbu-bumbu yang dibawa Aruna di dalam tas kecilnya.
"Para juri yang terhormat," suara pembawa acara menggema. "Malam ini, kita akan menentukan masa depan kedai legendaris Nonna Rosa. Hidangan pertama Pasta Signature."
Chef Antoine menyajikan Truffle Pasta yang disiram emas 24 karat. Para juri tampak terkesan dengan presentasinya yang mewah dan rasanya yang sangat halus.
Kini giliran Aruna. Ia melangkah ke depan dengan piring keramik sederhana. Begitu tutup piring dibuka, uap panas yang membawa aroma bawang putih, cabai, dan aroma rempah rahasia langsung memenuhi hidung para juri.
"Ini apa?" tanya salah satu juri, seorang kritikus makanan senior Italia yang terkenal kejam. "Baunya sangat... asing, namun membuat air liurku menetes."
"Ini adalah 'Pasta Memori dari Timur'," jawab Aruna dengan bantuan terjemahan dari Damian. "Ini adalah pasta yang dibuat untuk mengingatkan bahwa makanan terbaik bukan yang paling mahal, tapi yang paling bisa menghangatkan hati dan menantang lidah."
Juri itu mengambil garpu, memutar pastanya, dan memasukkannya ke mulut. Matanya melebar. Ia terdiam selama tiga puluh detik, membuat seluruh alun-alun menjadi senyap.
"Luar biasa," gumam juri itu dalam bahasa Italia. "Rasa pedasnya menari di lidah, rasa gurihnya meresap sampai ke dalam serat pasta, dan ada aroma 'mistis' yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Ini adalah pasta paling jujur yang pernah kumakan dalam sepuluh tahun terakhir!"
Sorak-sorai pecah. Rakyat lokal yang selama ini mendukung Nonna Rosa berteriak kegirangan. Marco tampak pucat pasi, sementara Chef Antoine menjatuhkan spatula emasnya.
Nonna Rosa menang mutlak. Hutangnya dihapus, dan kedainya justru mendapatkan pesanan yang membeludak malam itu juga. Marco terpaksa pergi dengan rasa malu yang luar biasa.
Setelah festival berakhir, Aruna dan Damian duduk di tepi air mancur alun-alun, menikmati gelato stroberi yang dingin.
"Mas, lihat kan? Seblak itu menyelamatkan dunia!" ujar Aruna bangga.
Damian merangkul pundak Aruna, menatap wajah istrinya yang masih cemong tepung namun terlihat sangat cantik di bawah cahaya lampu kota Roma. "Bukan seblaknya, Aruna. Tapi keberanianmu untuk tidak pernah merasa kecil di depan siapapun. Kamu menyelamatkan warisan seseorang hari ini."
"Tapi Mas," Aruna menyandarkan kepalanya di bahu Damian. "Kenapa ya, setiap kali kita liburan, pasti ada saja orang yang mau menggusur sesuatu atau menculik seseorang? Apa kita ini memang magnet masalah?"
Damian mencium puncak kepala Aruna. "Mungkin. Tapi selama magnet masalah itu membawaku bersamamu ke seluruh dunia, aku tidak keberatan."
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya dengan pakaian formal mendekati mereka. Ia membungkuk hormat pada Damian. "Tuan Gavriel? Maaf mengganggu waktu liburan Anda. Saya utusan dari perwakilan pemerintah di Milan. Ada sebuah dokumen yang ditemukan di brankas tersembunyi milik Silas yang baru saja disita... dan dokumen itu menyebutkan tentang sebuah pulau di Maluku, Indonesia, yang secara hukum ternyata terdaftar atas nama istri Anda, Aruna Maheswari."
Aruna tersedak gelatonya. "Hah?! Pulau?! Mas, aku punya pulau? Kenapa tidak ada yang bilang kalau aku ini juragan tanah?"
Damian menatap utusan itu dengan tajam. "Pulau apa itu?"
"Pulau Cempaka Kuning. Dan menurut catatan ini... pulau itu bukan sekadar tanah kosong, melainkan lokasi dari deposit emas yang belum pernah dipetakan sebelumnya."
Aruna menatap Damian dengan mata melotot. "Mas... sepertinya kita tidak jadi liburan tenang. Kita harus pulang sekarang. Aku mau lihat pulauku!"
Damian menghela napas, namun senyumnya muncul. "Sepertinya babak baru di tanah air baru saja dimulai, Nyonya Juragan Pulau."