‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27 : Dia bukan barang
"Mengapa kau satu mobil dengan suamiku?!" Raut lembut tadi berganti sinis, dipandanginya lekat sang madu dari ujung rambut hingga kaki terbalut sepatu bergaris tiga yang jelas tiruan, bukan dari brand ternama asli.
Dahayu memutar malas bola matanya, tetap melangkah kendatipun mendapatkan tatapan menghina akan penilaian penampilan seadanya. Saat bersisian dengan Masira, dia melontarkan kata-kata menohok.
“Bila tak ikhlas suamimu berjalan dengan wanita lain, maka dijaga bukan diumbar apalagi obral! Dia bukan barang yang bisa dipinjamkan lalu diambil sewaktu-waktu kau perlukan.” Dirinya berjalan dengan wajah terangkat, memasuki bangunan villa.
Amran tidak tuli sehingga suara gumaman bernada menyindir itu sampai ke indera pendengarannya.
Masira menyembunyikan rasa geram sekaligus gelisah, dia cemas Amran terpengaruh oleh wanita rakyat jelata, Dahayu.
“Sayang, aku rindu.” Tangannya melingkari pinggang suaminya, sementara kakinya berjinjit ingin mengecup bibir, tapi cuma kena dagu dikarenakan Amran mendongak.
“Masira, kau paham bukan kalau aku tak suka mengumbar kemesraan, terlebih bila berada disekitar para pekerja,” peringatnya lembut.
“Mas, kau itu sama sekali tidak romantis,” bibirnya mencebik, dia peluk erat lengan suaminya hingga buah dada saling menjauh satu sama lain menempel erat.
Amran diam, membiarkan istri pertamanya berbuat sesuka hati. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Sira.”
“Apa?” ucapnya manja, menyamakan langkah lebar Amran.
“Bicara di dalam!”
.
.
“Bik ada es batu tidak?” Dahayu sedang memeras buah jeruk, rasanya tenggorokannya kering, ingin minum yang segar-segar.
“Ada Kak. Bibik ambilkan dulu!” Pintu kulkas bagian freezer pun dibuka, si bibi mengambil apa yang dipinta nyonya muda, tetapi enggan dipanggil ibu maupun nyonya.
“Terima kasih, Bik. Kalian mau tidak? Enak lo ini rasanya, perpaduan manis, asam, dingin,” ia menawari dengan ramah.
“Terima kasih, Kak. Lain kali saja, kami baru saja minum jus Alpukat,” tolak Wiwin secara halus.
Dahayu pun keluar dari area dapur dengan menggenggam segelas jus jeruk. Netranya sedikit menyipit melihat pemandangan yang kalau saja dia juga mencintai sang suami, pasti akan tersayat hatinya.
Masira duduk mengangkang di paha Amran, posisinya menghadap ke arah dapur. Saat melihat sosok Dahayu, langsung saja dirinya memiringkan wajah melumat cepat bibir suaminya.
‘Kau harus sadar posisimu cuma alat penampung bayi, tak lebih dari itu!’ batinnya tertawa puas, lalu menelusupkan wajahnya di garis leher Amran.
'Bodoh! Kau kira aku cemburu? Malah bersyukur, dengan begitu suamimu itu tak lagi merecokiku,’ dengusnya sambil lalu masuk ke dalam kamar.
Brak!
Tubuh Amran menegang, dia terkejut oleh bantingan pintu kamar tamu ruangan istri keduanya.
“Masira, bisa kita berbicara secara normal?” sedari tadi dirinya berusaha mengelak, tapi sang istri sangat agresif.
“Aku kangen, Mas. Masa seperti itu saja kau tak paham, enggan menanggapi. Kita sudah berjauhan jarak selama seminggu – wajarlah bila diri ini ingin dimanja,” protesnya, tapi menurut.
Sejenak Amran menarik napas panjang, dia merasakan sesuatu aneh, tapi sukar menafsirkannya. Sentuhan sang istri pertama tidak lagi terasa sampai bawah, padahal sebelumnya benda pusakanya akan merespon, kini tetap diam di dalam sangkar.
“Mulai hari ini, Dahayu dan ibuk akan tinggal di sini. Saya harap kau bisa menerimanya, dan tolong _”
“TIDAK!!” Masira menggeleng kuat, memandang tidak percaya. “Kau tak bisa memutuskan sesuatu secara sepihak, Mas! Jelas-jelas hunian ini dirimu berikan kepadaku, mana bisa seenaknya saja memasukkan orang asing tanpa persetujuanku!”
“Baik, tidak apa-apa bila kau keberatan. Biar Dayu dan Ibuk, menempati villa di sebelah hunian Randu dan para penjaga wilayah ini.” Amran berdiri, hendak berlalu.
Namun, tangannya langsung ditahan Masira. “Maksudku bukan itu, Mas. Aku tak mau mereka ada diantara kita, terlebih Dahayu. Tugas dia cuma hamil, melahirkan, setelah itu selesai sudah! Tak ada namanya drama harus tinggal satu rumah, apalagi memberinya perlakuan istimewa.”
“Masira, tolong mengertilah. Dayu itu _”
“Jangan memintaku mengerti disaat perhatianmu mulai terbagi, Mas! Aku tak sudi berbagi dengan dia. Dirimu cuma milikku, tak boleh ada yang mengusik hal itu!” Masira memekik, mengguncang lengan suaminya.
Habis sudah kesabaran Amran, dia ikutan tersulut emosi. “Kalau kau takut terbakar, jangan main api, Masira! Siapa yang memulai semua ini? Kau! Dirimu mengundang sosok lain demi bisa memberiku keturunan yang sebetulnya tak pernah diriku permasalahkan ada tidaknya anak diantara kita. Namun, kau keras kepala, berdalih biar keluarga kita sempurna. Lantas, sekarang mengapa dirimu tak terima?”
“Jelas aku tak terima! Tugasnya cuma memberikan bayi sehat, bukan memiliki peran ganda menggoda suamiku!” Masira mengepalkan tangan, dia meradang.
“Dahayu bukan boneka, tak pula sebuah barang yang bisa kau pakai setelah bosan bisa langsung di buang. Dia bernyawa, memiliki perasaan sama seperti kita. Apa kau pikir, dirinya bisa ikhlas melakukan pengorbanan sebesar itu, Sira?!” Amran bersedekap tangan, posisinya berjarak dari istri pertamanya.
“Aku tak peduli! Itu sudah konsekuensinya atas kesediaannya setelah menerima satu ruko di pajak!” jerit Masira.
“Jangan pernah bahas itu lagi, Sira! Aku tak suka mendengarnya _”
“Faktanya memang seperti itu! Dia tak ubahnya seperti seorang Pelacur. Bahkan lebih rendah! Demi rupiah rela hamil benih pria asing, dan nantinya sangat tega membuang darah dagingnya sendiri. Seorang pelacur saja masih memiliki hati nurani, sementara dia_”
“MASIRA!!”
“Kau sudah dipengaruhi olehnya, Mas! Cuma karena wanita tak tahu diri itu, dirimu tega membentak. Aku ingin kau tinggalkan dia! Kita cari wanita lain saja!” Masira menangis, menghambur memeluk punggung Amran.
Dahayu yang sedari tadi mendengarkan dari dalam kamar, memilih keluar. Dia tak tahan hanya diam saat seseorang mencoba mempermainkan hidupnya sedemikian rupa.
Ketika sudah sampai di samping sepasang suami istri yang si wanita memeluk erat prianya – ia tarik kuat lengan Masira, sehingga terlepas dari Amran.
Plak!
“Kau mengataiku tega, murahan, pelacur, lantas dirimu apa, hah?!”
Masira tidak menyangka akan mendapatkan tamparan keras, saat tersadar dari keterkejutannya. Dia membalas, tapi gerakan Dahayu sangat gesit dalam menghindar.
"Cukup!" Amran menarik pinggang istri pertamanya, dia pusing melihat kedua wanita mencoba saling menyerang.
"Lepaskan, Mas! Kau lihat dia! Wanita berkelakuan tak beradab itu yang dirimu bela. Dirinya sama sekali tidak cocok menjadi calon wanita mengandung benihmu, yang ada nantinya anak kita meniru sifat bak hewan itu, anarkis, agresif, kasar!" Masira memberontak, tapi sang suami sedikitpun tidak melonggarkan lingkaran tangannya.
Tawa Dahayu terdengar mengejek, sorot matanya meremehkan. "Sekarang aku paham mengapa Tuhan enggan menitipkan seorang janin di rahimmu – karena kau memang tak layak menjadi seorang Ibu. Mulutmu kurang ajar, cara berpikirmu menjijikan, menilai seseorang berdasarkan apa yang dia miliki."
Jari telunjuknya menuding tepat di wajah memerah menahan amarah. "Sedari awal bila dirimu takut bersaing, ya jangan memancing! Kau kira semua hal bisa selesai dengan uang? Kau pikir apa yang telah hilang bisa dikembalikan seperti sedia kala? Baik, aku bisa menerima keputusan pembatalan perjanjian itu, tapi dengan satu syarat – Kembalikan Keperawanku, sanggup ...?"
.
.
Bersambung.
amran kamu harus tegas dan masira ceraikan saja dia, karena dia hendak mencelakai anakmu.
Kamu harus berjuang lebih keras lagi untuk meraih hati dahayu
perjuangan Amran akan semakin lama untuk meraih dahayu,,,
kasih pelajaran yg banyak buat si masira-masira itu Amran