NovelToon NovelToon
Terpikat Sekretaris Ayah

Terpikat Sekretaris Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Angst / Romansa
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Anjana

Aleena terpaksa harus menolak perjodohan karena dirinya sama sekali tidak menyukai laki-laki pilihan orang tuanya, justru malah tertarik dengan sekretaris Ayahnya.

Berbagai konflik harus dijalaninya karena sama sekali tidak mendapatkan restu dari orang tuanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 22# Tidak sabar ingin memberi penjelasan

Di kantor, Devan masih berkutat dengan pekerjaannya di depan komputer, namun pikirannya mulai kacau. Tiba-tiba, nama "Nona Aleena" muncul berulang kali di layar komputernya. Segera, Devan menghapusnya.

"Kau harus menyelesaikan masalahmu dengan Nona Aleena," kata Fery. "Terus menyembunyikan perasaan dan alasanmu hanya akan menimbulkan kesalahpahaman, baik untukmu maupun untuknya."

Devan menoleh, menatap tajam Fery, lalu bergegas keluar kantor. Sikap Devan yang tiba-tiba berubah membuat Fery heran.

"Kenapa dia tiba-tiba menjadi jutek begitu? Mau ke mana dia?" gumam Fery. Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, Fery mengejar Devan.

"Bro! Tunggu! Mau ke mana, Dev?" teriak Fery sambil berlari mengejar Devan yang berjalan cepat.

"Ke kantin? Bukankah belum jam istirahat?" gumam Fery sambil menggaruk kepalanya.

Sesampainya di kantin, Devan memesan makanan dan minuman karena belum sempat sarapan pagi.

"Kukira kau akan melakukan hal yang tidak berguna," kata Fery.

"Jangan bicara omong kosong," sahut Devan. "Kau pikir aku serendah itu? Membuang-buang waktu saja. Tidak ada manfaatnya, malah merugikan. Lagipula, kenapa kau ikut ke kantin? Jangan bilang kau hanya mau menggangguku."

"Aku hanya khawatir terjadi sesuatu padamu, makanya aku mengejarmu," jawab Fery.

"Oh, begitu. Kalau begitu, kembali saja ke ruanganmu. Aku mau makan dulu, aku lapar," kata Devan.

"Awas kalau sampai terjadi sesuatu padamu, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri. Baiklah, jaga dirimu baik-baik. Jika ada apa-apa, hubungi aku saja, ya."

Devan tidak menghiraukannya.

Devan menghabiskan makan siangnya dengan tenang, pikirannya masih melayang pada Nona Aleena. Ia menyesap minumannya, merenungkan perkataan Fery. "Benar juga, menyembunyikan perasaannya hanya akan menimbulkan masalah. Ia harus segera menyelesaikan semuanya." Gumamnya sambil mengelap mulutnya dengan tisu.

Setelah makan, Devan kembali ke kantor. Ia duduk di ruang kerjanya, mencoba fokus pada pekerjaan, namun bayangan Nona Aleena masih menghantuinya. Kemudian, ia kembali berkutat dengan pekerjaannya, berharap waktu berlalu cepat. Ia memutuskan untuk menemui Nona Aleena setelah jam kerja sudah habis.

Di tempat lain, angin sepoi-sepoi menghembus rambutnya Aleena yang terurai, sementara Zeno, di sampingnya, sesekali melirik dengan senyum lembut. Mereka berjalan-jalan santai di taman kota, suasana yang kontras dengan kesedihan yang sempat membayangi Aleena beberapa waktu lalu. Zeno, dengan perhatiannya yang tulus, menawarkan Aleena es krim kesukaannya dan sesekali bercerita tentang hal-hal ringan untuk mengalihkan perhatiannya.

Namun, di balik perhatian Zeno yang begitu besar, terdapat perasaan yang lebih dalam yang tak terbalas. Aleena menikmati kebersamaan ini, tapi hanya sebatas kakak-beradik. Baginya, Zeno lebih dari sekadar teman, melainkan sudah seperti saudara dan keluarga, ia seperti seorang kakak yang baik hati, tidak jauh beda seperti kasih sayang kakak kandungnya. Ia menghargai kebaikan dan perhatian dari Zeno, tapi hatinya tetap tak tergetar. Pandangannya pada Zeno tetaplah sebagai sosok kakak yang selalu ada untuknya, bukan sebagai seorang kekasih. Senyum Aleena kepada Zeno adalah senyum penuh rasa hormat dan persaudaraan, bukan senyum seorang wanita yang sedang jatuh cinta. Ia menyadari betapa baiknya Zeno, tapi sayangnya, perasaan itu tidak terbalas dengan cara yang sama.

"Aleena, kamu tidak ingin tinggal di luar negeri lagi kah?" tanya Zeno, mencoba mencairkan suasana dengan pertanyaan ringan. Aleena menggeleng pelan.

"Kenapa?" Zeno melanjutkan, suaranya lembut.

"Tidak apa-apa," jawab Aleena, "Aku sudah nyaman tinggal bersama Mama dan Kak Nio."

Zeno terdiam sejenak, lalu mengajukan pertanyaan yang membuatnya sedikit gugup.

"Seandainya ada seorang laki-laki yang tiba-tiba melamarmu, apa kau akan menerimanya?"

Aleena menoleh, menatap Zeno dengan senyum tipis. "Aku tidak tahu," jawabnya jujur, "Tergantung siapa yang melamar. Jika aku menyukainya, mungkin iya. Jika tidak, tentu saja tidak."

Zeno menghela napas pelan, kemudian melontarkan pertanyaan yang sebenarnya sudah lama terpendam dalam hatinya. "Kalau seandainya yang melamarmu itu aku, bagaimana? Apa kau akan menerima lamaranku?"

Jawaban Aleena langsung dan tegas. "Tidak," katanya, lalu menyengir lebar, sebuah senyum yang menunjukkan ketegasan dan juga sedikit rasa geli. Senyumnya, bagi Zeno, adalah sebuah jawaban yang jelas dan final. Meskipun hatinya sedikit sakit, ia menghargai kejujuran Aleena. Ia tahu, perasaannya tidak akan pernah terbalas.

Hening sejenak menyelimuti mereka. Zeno, meskipun sedikit kecewa, mencoba tersenyum. Ia mengerti. Perasaannya memang tidak akan pernah terbalas. Ia lebih memilih untuk menghargai persaudaraan mereka daripada memaksakan perasaan yang tidak akan pernah sama.

"Baiklah," kata Zeno akhirnya, suaranya terdengar tenang, "Aku mengerti. Yang terpenting kau bahagia, Aleena."

Aleena mengangguk, dan dirinya merasa tidak bersalah karena ia menganggap kalau Zeno hanya menghiburnya.

"Terima kasih, Zeno," katanya, "Kau Kakakku yang baik."

Zeno tersenyum, mencoba untuk melupakan rasa kecewanya. Ia akan tetap menjadi Kakak bagi Aleena, mendukungnya dari kejauhan. Ia tahu, ini adalah yang terbaik untuk mereka berdua. Mereka melanjutkan jalan-jalan mereka, suasana kembali ceria, meskipun ada sedikit keheningan yang menyimpan sebuah rahasia kecil di antara mereka. Rahasia tentang perasaan yang tak terbalas, namun tetap dihargai dan dihormati. Matahari mulai terbenam, menandai akhir dari pertemuan mereka karena sudah sekian lama tidak pernah bertemu.

Ditempat lain, Devan memilih pulang ke tempat kontrakan yang satu rumah degan Fery. Devan melemparkan tas kerjanya ke meja, suara tas itu jatuh terdengar sedikit keras di tengah kesunyian didalam kamarnya. Ia merasa lelah, tapi kelelahan fisiknya tak sebanding dengan kelelahan mental yang masih membayangi pikirannya. Bayangan Aleena masih saja berputar-putar di kepalanya, mengingatkannya pada pertemuan yang sudah mengecewakannya karena sudah berbohong begitu lamanya.

Kemudian, Ia segera menuju kamar mandi, menghidupkan shower dan membiarkan air hangat membasahi tubuhnya. Air itu seolah membilas semua penatnya, baik fisik maupun mental. Ia memejamkan mata, merasakan buih sabun membersihkan kulitnya, sekaligus membersihkan pikirannya dari beban yang masih tersisa. Setelah mandi, Devan merasa lebih segar. Ia mengenakan baju yang nyaman, lalu duduk di sofa, mencoba untuk merilekskan pikirannya. Malam ini, ia akan membiarkan pikirannya beristirahat, menunggu esok hari untuk bertemu dengan Aleena.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!