Aira, gadis kota yang bar-bar dan suka bebas berekspresi, terpaksa ikut orang tuanya pindah ke kampung.
Di sana hidup lebih tenang, katanya... padahal justru membuat hidup Aira jungkir balik.
Setiap hari ia bersitegang dengan Ustadz Fathur, ustadz muda yang kelewat sabar tapi cerewet soal adab dan pakaian.
Yang satu bar-bar, yang satu sabar... tapi sabar juga ada batasnya, kan?
Dan saat perdebatan mereka mulai jadi bahan berita sekampung, Ustadz Fathur malah nekat melamar Aira…
Bukan karena cinta, tapi karena ingin mendidik.
Masalahnya, siapa yang akhirnya lebih dulu jatuh cinta... si bar-bar atau si sabar?
Baca selengkapnya hanya di NovelToon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Ustadz Fathur sendiri… tersenyum malu, menunduk, lalu menerima sandalnya dari tangan Aira.
“T-terima kasih, Aira.” ucapnya lembut.
Aira tidak berani menatap. Ia hanya mengangguk cepat, lalu... ngibrit! lari masuk kembali ke kamarnya dan menutup pintu.
Brak!
Di balik pintu, Aira bersandar, menekan dadanya yang berdebar.
“Ya Allah…”
“Kenapa sandal doang bisa segininya…”
Di luar, tawa kecil masih terdengar. Dan Ustadz Fathur pulang dengan senyum yang entah kenapa tidak bisa hilang sepanjang jalan.
Aira mengunci pintu kamarnya.
Klik.
Ia bersandar di daun pintu, lalu perlahan melorot duduk di lantai.
“Astaghfirullah…” Aira menutup wajah dengan kedua tangannya.
Bayangan kejadian barusan muter lagi di kepalanya.
Sandal.
Tatapan Ustadz Fathur.
Ucapan mamanya. “Bukan sandal yang kamu bawa ke kamar, tapi orangnya.”
“Ya Allah Mamaaaa…” Aira mengerang pelan.
Ia bangkit, mondar-mandir di kamarnya.
“Aku ngapain sih?”
“Kenapa refleks aku ngambil sandalnya? Padahal ada sandal papa.”
Aira berhenti di depan cermin.
Menatap pantulan dirinya sendiri.
“Itu cuma sandal. Cuma sandal.” Ia mengangguk-angguk meyakinkan diri. “Bukan tanda-tanda apa-apa.”
Lalu terdiam. “Tapi… kenapa deg-degan?”
Ia memegang dadanya.
Duk. Duk. Duk.
“Ini jantung kenapa sih lebay amat.”
Aira duduk di tepi ranjang, lalu menjatuhkan badan telentang. Matanya menatap langit-langit kamar yang sederhana.
Wajah Ustadz Fathur muncul lagi di kepalanya.
Nada suaranya yang lembut.
Cara bicaranya yang tenang.
Dan tatapan sopannya saat menerima sandal darinya.
“Ah! Berhenti!” Aira langsung bangkit duduk.
Ia mengibas-ngibaskan tangan ke udara, seolah bisa mengusir pikirannya sendiri.
“Gak boleh kepikiran.”
“Belum apa-apa.”
“Belum tentu juga…”
Kalimatnya menggantung.
Aira menghela napas panjang, lalu memeluk lututnya.
“Tapi kalau beneran nikah…”
Ia menelan ludah.
“Aku bisa gak sih jadi istri yang normal?”
“Yang gak teriak kalau lihat cicak…”
“Yang gak refleks marahin ayam…”
“Yang gak ngambil sandal orang terus disimpan di kamar…”
Aira mendengus kecil.
“Fix. Aku memalukan.”Ia menutup wajah lagi, kali ini sambil tertawa kecil getir.
Beberapa detik kemudian, tawanya mereda.
Sunyi.
Aira menarik napas dalam-dalam.
“Ya Allah…”
“Kalau ini memang jalan yang Kau pilih…”
Ia menengadah, meski hanya ke langit-langit.
“Tolong kuatkan aku.”
“Dan… tolong jangan bikin aku makin random dari ini.”
Aira tersenyum kecil sendiri.
Lalu bergumam lirih, hampir tak terdengar,
“Dan… semoga dia gak kapok.”
Sementara di luar sana.
Ustadz Fathur melangkah pulang menyusuri jalan kampung yang mulai lengang. Langit siang begitu terik, angin sepoy-sepoy mengurangi rasa panas matahari siang itu.
Sandal yang tadi sempat hilang kini terpasang rapi di kakinya.
Ia tersenyum kecil... refleks... lalu segera menunduk.
“Astaghfirullah…”
“Kenapa jadi senyum sendiri begini.”
Langkahnya melambat.
Bayangan rumah Pak Hadi terlintas lagi di benaknya.
Meja makan serhana.
Suasana hangat.
Dan… Aira.
Ustadz Fathur menarik napas panjang.
“Dia memang… berbeda.
Reaksinya yang jujur.
Ketakutannya pada cicak sampai tokek.
Ia teringat bagaimana Aira berlari ke teras sambil membawa spons dan tangan yang penuh dengan sabun.
Sudut bibirnya kembali terangkat... kali ini lebih lama.
“Ya Allah…”
“Kenapa hal-hal kecil begitu justru terasa… hidup.”
Ia menghentikan langkah sejenak di bawah pohon jambu.
Terdiam.
“Aku mau menikah.”
Kalimat itu terasa nyata sekarang.
Bukan sekadar rencana.
Bukan hanya niat.
Ustadz Fathur mengusap dadanya pelan.
“Tapi apa aku sudah pantas?”
Rumah wakaf yang sederhana.
Penghasilan dari mengajar.
Hidup yang selama ini ia jalani sendiri, tanpa banyak tuntutan.
“Aku bahkan belum bisa menyiapkan rumah sendiri.”
Ia kembali melangkah.
Namun kali ini langkahnya lebih mantap.
Terngiang ucapan Pak Hadi.
“Tinggal di sini saja.”
“Lebih baik kita berkumpul.”
Dada Ustadz Fathur terasa hangat, sekaligus berat.
“Ya Allah…”
“Aku tidak ingin merepotkan.”
Ia menatap ke depan, ke jalan yang membentang menuju rumah kecilnya di belakang masjid.
“Tapi jika ini jalan-Mu…”
“Ajari aku jadi imam yang layak.”
Ia teringat wajah Aira yang memerah seperti kepiting rebus saat ketahuan membawa sandal.
Bukan cantik yang dibuat-buat.
Bukan lembut yang dipaksakan.
Tapi jujur.
“Mungkin…”
“Dia bukan perempuan yang tenang.”
Ustadz Fathur tersenyum lagi, kali ini tanpa menegur dirinya sendiri.
“Tapi mungkin…”
“Dia yang membuat rumah nanti terasa hidup.”
Langkahnya berhenti di depan rumahnya.
Ia membuka pintu, lalu menoleh sebentar ke arah jalan yang baru ia lewati.
“Bismillah.”
“Semoga aku bisa menjaganya.”
***
Di rumah Aira.
Setelah suara langkah Ustadz Fathur benar-benar menjauh, Bu Maryam menutup pintu perlahan.
Ia menghela napas panjang, lalu menoleh ke arah Pak Hadi. “Kok jadi sunyi ya, Pa,” ucapnya pelan.
Pak Hadi hanya mengangguk. Ia berjalan lebih dulu ke ruang keluarga, duduk di kursi kayu yang sudah lama menemani mereka bertahun-tahun. Bu Maryam menyusul dan duduk di seberangnya.
Beberapa detik mereka diam.
Seperti sedang mencerna kenyataan yang baru saja terjadi.
“Jadi… beneran ya, Pa,” Bu Maryam memecah keheningan. “Anak kita mau menikah.”
Pak Hadi menatap lantai sejenak, lalu mengangkat wajahnya. “Iya, Ma. Cepat. Tapi rasanya… tenang.”
Bu Maryam mengangguk pelan. “Ustadz Fathur kelihatannya bukan orang macam-macam.”
“Bukan.” Pak Hadi menjawab tanpa ragu. “Cara bicaranya, caranya nunduk, caranya jujur soal keadaannya… itu jarang.”
Bu Maryam mengusap kedua telapak tangannya. “Aku cuma mikirin Aira, Pa. Anak itu keras di luar, tapi hatinya lembut. Takutnya dia kaget dengan perubahan.”
Pak Hadi tersenyum tipis. “Makanya dia butuh orang yang sabar, Ma. Bukan yang ingin menguasai.”
Bu Maryam terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. “Lihat tadi? Cicak aja bisa bikin rumah heboh.”
“Haha… iya.” Pak Hadi ikut tertawa. “Justru itu. Ustadz Fathur cuma senyum. Gak marah, gak heran.”
“Tadi mama lihat matanya,” lanjut Bu Maryam. “Bukan mata orang yang merasa terganggu. Tapi mata orang yang… menerima.”
Pak Hadi mengangguk setuju. “Papa juga mikir begitu.”
Ia menarik napas panjang.
“Papa tidak cari menantu yang kaya, Ma. Papa cuma mau orang yang mau jagain anak kita. Lahir batin.”
Bu Maryam menunduk. “Aira memang belum bilang apa-apa. Tapi mama tahu, Pa… hatinya lagi ribut.”
“Wajar.” Pak Hadi menepuk tangan istrinya pelan. “Kita juga dulu begitu.”
Bu Maryam tersenyum samar. “Semoga nanti dia bisa bahagia di rumah ini… meski dengan orang baru.”
“Insya Allah.” Pak Hadi menatap ke arah kamar Aira.
“Kalau niatnya baik, Allah pasti jaga.”
Di kejauhan, suara Aira terdengar dari kamarnya... seperti menggerutu sendiri.
Bu Maryam dan Pak Hadi saling pandang. “Hidup kita bakal rame lagi, Pa,” kata Bu Maryam lirih.
Pak Hadi tersenyum lebih lebar. “Iya, Ma. Tapi insya Allah… rame yang berkah.”
***
"Ustadz, apa tidak salah menikah dengan orang yang baru dikenal?"
"Iya. Kasih loh Neng Azwa yang sudah berharap bisa menikah dengan Ustadz."
"Apalagi sejak di sini yang mengurus Ustadz Kyai Huda. Beliau banyak jasanya untuk Ustadz."
Bersambung