Hanasta terpaksa menikah dengan orang yg pantas menjadi ayahnya.
suami yg jahat dan pemaksaan membuatnya menderita dalam sangkar emas.
sanggupkah ia lepas dari suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elara21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanasta 22
Udara di ruang mesin panas dan bergetar.
Suara mesin besar berdengung, menelan setiap napas Hana.
Ia berdiri di depan Soni, tubuhnya kecil, bahunya gemetar, rambutnya berantakan oleh debu lorong servis.
Sementara Soni berdiri tegap, wajahnya tenang…
terlalu tenang.
Seolah ia sudah tahu semua sebelum terjadi.
Seolah pelarian Hana hanya bagian dari permainan yang ia biarkan terjadi.
Hana mencoba menyembunyikan ketakutannya, namun suaranya pecah saat ia berbicara:
“T-tuan… saya… saya tidak berniat lari dari Anda…”
Soni mendekat satu langkah.
Langkah itu saja cukup untuk membuat Hana mundur setengah langkah tanpa sadar.
“Tapi kau tetap melakukannya,” jawab Soni pelan.
Suara itu tidak keras.
Tidak marah.
Tapi membuat udara terasa menusuk.
“Tuan… Tolong dengarkan saya…”
Hana mencoba bicara lagi, tapi tangannya gemetar.
Soni menundukkan kepala sedikit, seolah sedang mendengarkan anak kecil yang berbohong.
“Kenapa kau kabur, Hana?”
tanyanya lembut, tapi matanya keras.
Hana menggigit bibir, hampir berdarah.
“Saya… saya hanya…”
“Kau ingin menyusul James.”
Hana menutup mata—
ketahuan.
Soni menghela napas, seperti kecewa.
“Hana… Hana… Aku sudah bilang kau bukan pelari yang baik.”
Ia berjalan mengitari Hana, langkah tenang seperti singa mengitari mangsanya.
“Dulu saat kau tinggal di rumah ibumu,
ketika kau takut, kau selalu sembunyi di lorong belakang dapur.
Di pojok gelap.
Di tempat teknisi menyimpan alat.”
Hana menahan napas.
Soni berhenti tepat di belakangnya.
“Kau pikir aku tidak mempelajari semua itu?”
Hana ingin mundur, tapi kakinya tak bisa bergerak.
Soni melanjutkan,
“…dan malam ini, kau ulangi kebiasaan lamamu.
Sembunyi di lorong gelap.
Berlari ke tempat servis.
Menuju jalur teknisi.”
Ia tertawa pelan, napasnya menyentuh tengkuk Hana.
“Kau terlalu mudah kubaca.”
Hana meremas kedua tangannya.
“Tuan… saya hanya tidak ingin James—”
“Diam.”
Kali ini Soni berbicara lebih keras.
Suara itu memantul di besi-besi ruang mesin.
Hana langsung terhenti, tubuhnya membeku.
Soni bergerak ke depan Hana dan menatapnya dalam jarak sangat dekat.
“Hana… kenapa kau begitu ingin menyelamatkan James?”
Hana menahan air mata.
Ia menunduk.
“Saya hanya… tidak mau dia terluka…”
“Kenapa?”
Soni memotong lagi.
Hana menggigit bibir.
“Karena… dia tidak salah…”
“Lalu aku?”
Soni mengangkat dagu Hana, mengarahkan wajahnya untuk menatap dirinya.
“Menurutmu aku yang salah?”
Hana tidak menjawab.
Dan itu lebih buruk daripada jawaban apa pun.
Soni tersenyum sangat tipis.
Senyum yang seperti retakan kecil di permukaan kaca sebelum pecah.
“Hana, kau sudah berubah.”
Hana menatap lantai.
Air mata jatuh.
Soni melanjutkan:
“Kau berani melawan.”
“Kau berani menangis untuk orang lain.”
“Kau berani keluar dari sangkar ini.”
Ia mendekatkan wajah.
“Karena James.”
Hana menutup mulutnya dengan tangan.
“Saya… saya tidak…”
“Kau tidak apa?”
Soni mencondongkan tubuh.
“Tidak peduli padanya?”
Hana menunduk.
“…saya peduli.”
Soni tersenyum…
tapi senyum itu sangat dingin.
“Akhirnya jujur.”
Ia memutar tubuh, membelakangi Hana.
“Hana… kau tahu kenapa aku sangat memperhatikanmu?”
Hana menggeleng pelan, bingung.
“Karena kau satu-satunya hal…”
Soni berhenti, suaranya rendah,
“…yang bisa menarik James kembali kepadaku.”
Hana terkejut.
Soni menatapnya lagi, mata gelap dan dalam.
“James adalah anak yang keras kepala. Dia tidak pernah takut padaku.”
“Tapi dia akan takut kehilangan seseorang.”
Hana merapatkan tangan ke dada.
“Karena itu…
kau adalah kunci.”
Soni mendekat lagi.
“Kalau James datang ke mansion ini—karena mencarimu—”
Hana membeku.
“…maka aku bisa mengakhirinya.”
Hana tersentak keras.
Matanya melebar.
“Tuan… tidak… tolong… jangan sakiti dia…”
Soni mendongak sedikit, menatap Hana dari atas.
“Kalau begitu berhenti membuatnya datang.”
Hana menggeleng cepat, air mata jatuh deras.
“Saya—saya tidak punya pilihan—”
“Punya.”
Soni memotong tegas.
Ia meraih lengan Hana perlahan, bukan kasar…
tetapi mengikatnya dengan kekuatan psikologis yang tidak bisa Hana putuskan.
“Kau tetap di dekatku.”
“Aku yang melindungi.”
Hana gemetar.
“Melindungi… atau menjebak saya…?”
Soni tersenyum.
“Dua-duanya.”
Hana merasa pusing.
Suaranya pecah.
“Tuan… biarkan saya pergi… hanya sebentar… biarkan saya pastikan James selamat…”
Soni mendekatkan wajah, menatap langsung ke matanya.
“Kau tidak akan pergi ke mana pun.”
Hana menahan tangis sampai tubuhnya bergetar hebat.
Soni mengangkat wajah Hana sekali lagi dengan dua jari.
“Dan dengarkan ini baik-baik…”
Suaranya turun menjadi sangat dingin.
“…kalau James menjejakkan kaki di dalam pagar mansion ini…”
Ia menahan napas.
“…dia tidak akan keluar.”
Hana akhirnya jatuh berlutut, menangis keras tanpa bisa menghentikan dirinya.
Soni berdiri di atasnya.
Raja dalam wilayahnya.
Pemilik permainan.
Dan bidak terakhir—
Hana—
telah kembali ke tangannya.
Soni menarik tangan Hana dengan kuat, namun tidak sampai menyakitinya secara fisik—justru seperti cara seseorang menyeret barang yang tidak ingin dilepas.
Napas Hana tersengal.
Ia berusaha menahan langkah, tapi sia-sia.
“Soni… tolong…”
Hana memohon.
“Tutup mulutmu,”
jawab Soni tanpa menoleh.
Ia menarik Hana keluar dari ruang mesin, melewati lorong panjang yang bergetar oleh suara mesin.
Ketika pintu logam besar terbuka—
Craaang…
Udara dingin koridor malam menyentuh kulit Hana.
Dua penjaga langsung menegakkan tubuh.
Soni menatap mereka tajam.
“Jangan biarkan siapa pun masuk atau keluar dari lantai ini.”
“Baik, Tuan!”
Soni berjalan lagi.
Pegangan tangannya di pergelangan Hana tidak kasar…
tetapi tak bisa dilepaskan.
Hana jatuh berkali-kali, lututnya tergores lantai, namun Soni tidak berhenti.
Ketika mereka sampai di depan pintu kamar Hana, Soni menoleh sedikit.
“Aku sudah terlalu baik padamu.”
Suara itu penuh amarah dingin—
tapi di baliknya, ada sesuatu lain.
Sesuatu seperti… kepahitan lama.
Soni membuka pintu dan mendorong Hana masuk.
Hana terjatuh di lantai, rambut kusut menutupi wajahnya.
Pintu belum ditutup.
Soni berdiri di ambang pintu, namun untuk pertama kalinya…
wajahnya berubah.
Matanya tidak hanya dingin.
Ada sesuatu yang jauh, gelap, dan sangat lelah.
Seperti ia terseret kembali ke masa yang selama ini ia kubur.
Sesaat, ia tidak melihat Hana.
Ia melihat dirinya sendiri, puluhan tahun lalu.
Kilasan Masa Lalu — “Keluarga yang Tidak Pernah Punya Rumah”
Soni muda duduk di tangga depan rumah, memeluk lutut.
Usianya tidak lebih dari dua belas tahun.
Di dalam rumah, suara pertengkaran terdengar keras:
“AKU SUDAH CAPEK DENGANMU!”
“KAU YANG TERLALU BANYAK MENUNTUT!”
“KALIAN BERDUA TOLONG BERHENTI!”
Soni kecil menutup telinganya.
Air matanya jatuh tanpa suara.
Setiap malam seperti ini.
Setiap hari seperti ini.
Hingga suatu hari—
Ibunya keluar dengan koper.
Tanpa menoleh.
Tanpa memanggil namanya.
Ayahnya pergi seminggu kemudian.
Tanpa penjelasan.
Dan Soni—
ditinggalkan bersama rumah kosong itu.
Beberapa tahun kemudian, keluarga besar memanggilnya.
Ia dijodohkan dengan putri seorang pengusaha kaya:
Melena.
Soni tidak mencintainya.
Soni tidak membencinya.
Ia hanya menerima.
Karena ia tidak ingin menjadi seperti orang tuanya—
yang “mencintai” tapi saling menghancurkan.
Melena dingin.
Manja.
Keras kepala.
Tapi Soni menahan semuanya.
Ia mengalah pada setiap permintaan:
rumah bagus, pesta mewah, uang jajan tak terbatas.
Ia berkata pada dirinya sendiri:
“Lebih baik aku yang sakit…
daripada keluarga ini berantakan.”
Ketika Melena mulai selingkuh,
Soni memejamkan mata.
Ia pura-pura tidak tahu.
Ia tidak ingin anaknya—James yang masih kecil—
mengalami trauma seperti dirinya.
Jadi Soni menjadi patung.
Patung hidup yang tidak bereaksi.
Tidak marah.
Tidak bicara.
Ia hanya bertahan.
Hingga suatu malam—
ia melihat dengan mata kepala sendiri
bagaimana Melena memeluk pria lain
di halaman rumah.
Dan saat itu…
sesuatu di dalam dirinya retak.
Kembali ke Masa Kini
Soni tersadar, kembali melihat Hana yang terjatuh di lantai.
Napasnya berat, tapi wajahnya kembali ke dinginnya.
Ia bergumam lirih, hampir tidak terdengar:
“…aku tidak akan biarkan keluargaku hancur lagi.”
Hana terangkat kepalanya, menatap Soni dengan mata merah.
“Tuan… keluarga Anda sudah hancur karena Anda mengurung diri… bukan karena James…”
Soni memejamkan mata sejenak.
Wajahnya bukan marah—
tapi luka lama yang tidak pernah sembuh.
“Kau tidak tahu apa yang aku lihat.”
Suara itu retak namun dipaksa stabil.
“Kau tidak tahu apa yang aku lindungi.”
Hana menangis pelan.
“Saya tahu… Anda terluka.
Tapi menyakiti James… tidak akan membuat rasa sakit itu hilang.”
Soni menegang.
Ia berbalik perlahan dan berjalan mendekat ke Hana, lututnya jatuh di depan Hana, menatapnya dari dekat.
“Menyakiti?”
Soni berbisik.
“Ini bukan tentang menyakiti.”
Ia memegang pipi Hana dengan tangan gemetar ringan—
bukan marah…
tapi seperti seseorang yang hampir… pecah.
“Aku hanya tidak ingin James menjadi seperti aku.”
Hana menggeleng cepat.
“James tidak akan seperti Anda.
Dia baik… dia lembut…”
Soni menatap mata Hana lekat-lekat.
“Justru karena itulah dia lemah.”
Hana tersentak.
“Itu bukan lemah!”
Soni mengencangkan rahang.
“Hana…”
Ia mendekat, suaranya turun jadi dingin lagi,
“…jika James tahu siapa ibunya sebenarnya…
jika dia tahu apa yang ibunya lakukan…”
Hana menahan napas.
“…dia akan membenci dunia.
Dan dia akan menjadi sepertiku.”
Hana baru sadar—
Ini bukan hanya tentang James.
Ini tentang trauma masa kecil Soni.
Tentang rasa takutnya kehilangan…
rasa takutnya ditinggalkan…
dan rasa takut James mengulangi nasib dirinya.
Air mata Hana semakin deras.
“Tuan… James bukan ayah Anda.
Dia tidak akan meninggalkan Anda.
Dia tidak akan membenci Anda.”
Soni tersenyum kecil—
sangat kecil.
Sedih.
Pahit.
“Kau tidak tahu…”
Ia berdiri.
“…anak selalu meninggalkan ayahnya.”
Kalimat itu membuat Hana terdiam.
Soni menutup pintu kamar.
Dengan pelan, tapi penuh keputusan.
“Tetap di sini, Hana.”
Hana berlari ke pintu.
“Tuan! Tuan, jangan lakukan apa pun pada James! Kumohon!”
Tapi Soni sudah berjalan pergi.
Tidak menoleh sedikit pun.
Penjaga mengunci pintu dari luar.
Hana terduduk.
Menangis tanpa suara.
By : Eva
21-11-2025