Setelah mengetahui sebuah rahasia kecil, Karina merasa bahwa ia akan mendapatkan banyak keuntungan dan tidak akan rugi saat dirinya mendekati Steve, pewaris dari perusahaan saingan keluarganya, dengan menawarkan sebuah kesepakatan yang sangat mungkin tidak akan ditolak oleh Steve. Sebuah pernikahan yang mendatangkan keuntungan bersama, baik bagi perusahaan maupun secara pribadi untuk Karina dan Steve. Keduanya adalah seseorang yang sangat serius dan profesional tentang pekerjaan dan kesepakatan, ditambah keduanya tidak memiliki perasaan apa pun satu sama lain yang dapat mempengaruhi urusan percintaan masing-masing. Jadi, semuanya pasti akan berjalan dengan lancar, kan? * * Cerita ini hanyalah karangan fiksi. Baik karakter, alur, dan nama-nama di dalam tidak ada sangkut paut dengan dunia nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theodora A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 27
•
Keesokan paginya, Karina terbangun dengan flu dan demam terburuk dalam hidupnya.
Begitu tiba di mansion setelah kejadian semalam, Karina tidak ingat tubuhnya menunjukkan tanda-tanda akan jatuh sakit. Ia memang merasa tubuhnya sedikit menggigil, tapi Karina pikir itu hanya karena celana dan bagian bawah kaosnya yang basah kuyup. Maka karena itu ia dengan cepat melesat ke kamar mandi, menanggalkan pakaiannya dan mengguyur diri dengan air hangat.
Setelah selesai mandi dan mengeringkan rambutnya, Karina ingat dirinya yang merangkak masuk ke balik selimut tebal, memposisikan dirinya di tepi kasur untuk membuat jarak sejauh mungkin di antara dirinya dan Steve. Dan Karina merasa sepertinya Steve juga melakukan hal yang sama, karena ia sempat melirik dan melihat pria itu yang tidur memunggunginya di ujung kasur, tidak seperti biasanya. Karina kemudian menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya dan tidur meringkuk, berusaha mendapatkan kehangatan lebih. Saat itu dirinya tidak tahu mengapa ia membutuhkan lebih banyak kehangatan ketika pemanas ruangan sudah menyala.
Yang Karina ingat selanjutnya adalah, dirinya yang terbangun dengan keadaan pusing karena sakit kepala yang parah, ia merasa seperti baru saja menenggak dua botol minuman beralkohol. Langit-langit kamar tampak berputar-putar ketika ia membuka matanya, dan ketika ia meletakkan telapak tangannya di dahi, ia merasa kulitnya sangat panas. Karina juga mendengar suara yang terasa begitu jauh di telinganya, suara itu seperti teredam, menanyakan apakah dirinya baik-baik saja, sebelum akhirnya semua kembali gelap dan ia tidak bisa mendengar apa-apa lagi.
Dan kini, ketika dirinya kembali terbangun, kali ini dengan sakit kepala yang sudah terasa jauh lebih ringan, Karina berusaha melihat sekelilingnya. Dan matanya menangkap sosok ibu dan ibu mertuanya yang sedang duduk di ujung kasur, menatap ke arahnya dengan tatapan khawatir. Dan Steve yang duduk di kursi di samping tempat tidur, menatapnya dengan tatapan yang lebih terlihat prihatin daripada khawatir.
Setelah ia mengerjap beberapa kali, Karina berusaha untuk duduk, yang dengan sigap dibantu oleh kedua ibunya di sisi kiri dan kanan.
“Karina, kenapa tadi malam kamu keluar begitu saja padahal cuacanya sangat dingin? Mana kamu juga masuk ke dalam air hingga celana dan bajumu basah kuyup. Kenapa kamu melakukan itu?” cecar ibunya sambil menempelkan punggung tangannya pada gel pereda demam yang ada di dahinya. Dan Karina baru menyadari bahwa ada gel itu di dahinya. “Steve menghabiskan waktu berpuluh-puluh menit untuk mencarimu. Bagaimana kalau dia terlambat sampai di pantai? Kamu bisa saja terkena hipotermia. Angin laut di malam hari itu sangat dingin!”
“Madison, jangan memarahinya dulu. Dia baru saja terbangun.”
Suara yang lebih tenang dan lembut terdengar di sisi kirinya, dan itu adalah suara dari ibu mertuanya. Karina menoleh dan mendapati mata yang biasanya menatapnya lembut itu kini menatapnya dengan penuh kekhawatiran. Dengan nada suara yang tetap tenang seperti biasanya, ibu mertuanya kembali berbicara, “Karina adalah wanita yang cerdas, jadi aku yakin dia punya alasan kenapa keluar seperti itu. Yang terpenting saat ini adalah kesehatannya. Bagaimana perasaanmu sekarang, Karina?”
Sebut saja dirinya adalah wanita yang manja, tapi ia sangat senang mendapatkan perhatian seperti ini dari ibu mertuanya. Ibu Steve jelas naik ke peringkat satu di dalam hatinya saat ini. “Aku merasa jauh lebih baik, ibu. Terimakasih karena sudah mengkhawatirkanku, tapi aku benar-benar baik-baik saja.”
Segera setelah Karina selesai berbicara, ada suara lain menimpalinya, yang diikuti dengan tatapan tajam ke arahnya. Itu adalah suara Steve.
“Bohong,” ujar Steve dengan suaranya yang berat dari sebelah kanannya, dan Karina sedikit tersentak kaget mendengarnya. Karina tidak menyadari ada tubuh lain yang kini duduk bersamanya di atas kasur. Kapan Steve naik ke kasur? Dia berada di kursi di samping tempat tidur beberapa saat yang lalu. Mata Karina bertemu dengan mata Steve yang menatap tajam, dan tatapan itu jujur membuatnya sedikit ciut.
“Kamu membangunkanku jam empat pagi dan berbicara tidak jelas. Dan ketika aku mencoba menyentuh lenganmu, badanmu benar-benar sangat panas. Kamu tidak baik-baik saja.”
Steve tidak perlu membongkar kebohongan Karina seperti ini, Karina hanya tidak ingin kedua ibunya khawatir. Karina menatap Steve dengan tatapan datar, bingung melihat sorot kekhawatiran yang terpancar dari mata suaminya itu. Pada titik ini, ia tidak bisa lagi membedakan apakah Steve hanya berpura-pura khawatir untuk berkomitmen pada perannya sebagai suami yang peduli, atau dia benar-benar peduli. Seperti yang ditulis oleh Oscar Wilde di dalam bukunya, life imitates art... hidup itu meniru seni. Atau malah sebaliknya?
“Dengarkan suamimu, Karina,” ibu Karina angkat suara, sebuah tangan yang khawatir mengulur untuk mengusap pelan keningnya.
Karina menatap ibunya. Dirinya sama sekali tidak menyadari bagaimana Steve kini sudah duduk tepat di sampingnya, dengan punggung yang bersandar di kepala tempat tidur, dan satu tangan melingkari bahu Karina.
“Steve harus keluar dan meminta para pelayan untuk mencari obat-obatan di pagi-pagi buta untukmu. Kamu tidak boleh terlalu merepotkannya dia saat-saat pandemi seperti ini, Karina.” lanjut ibunya.
Mendengar hal itu, mata Karina membulat karena terkejut. Ia menoleh dan tatapannya bertemu dengan tatapan Steve yang terlihat sedikit bergetar. Karina menahan tatapannya lebih lama, seakan-akan mencoba bertanya. ‘apakah kamu benar-benar melakukan itu?’.
Dan dari cara Steve memalingkan wajahnya dan berdeham pelan membuat Karina langsung tahu jawabannya. Pria itu benar-benar melakukannya.
Hal itu membuat dada Karina terasa hangat, dan sebuah senyum kecil tersungging di bibirnya. “Kamu melakukan itu? Perhatian sekali,” gumam Karina, mencondongkan tubuhnya untuk memberi satu kecupan singkat di pipi Steve. Karina melakukannya lebih karena keharusan daripada keinginan, tapi jujur ia menikmatinya juga karena ekspresi di wajah Steve setelah itu terlihat sangat lucu. “Terima kasih, sayang.”
Sepersekian detik sorot terkejut yang terpancar dari mata Steve setiap kali Karina mengecup pipinya di hadapan ibu mereka tidak pernah gagal untuk membuat Karina tertawa di dalam hatinya. Itu sudah seperti sebuah hiburan gratis baginya, sangat lucu sekali.
“Tentu saja aku akan melakukan apa pun. Gimana kalau sesuatu terjadi padamu?” jawab Steve, menarik tangannya dari bahu Karina dan membelai bagian belakang kepalanya dengan lembut. “Istirahatlah lebih banyak. Aku akan meminta pelayan untuk membawakan makan siangmu ke sini. Dan juga jangan pikirkan soal pekerjaan, aku yang akan mengurusnya hari ini.”
Karina bersorak bahagia di dalam hatinya. Sepertinya membuat dirinya basah kuyup di pantai pada malam hari tidak terlalu buruk juga, ketika itu berarti dirinya bisa bolos dan mengalihkan beban pekerjaannya kepada Steve. Hal ini membuat Karina merasa ingin berdiri dan melompat-lompat di atas kasur seperti anak kecil yang kegirangan.
“Steve benar. Kami akan keluar dan membiarkanmu beristirahat lebih banyak. Tapi jika kamu tiba-tiba merasa tidak enak badan atau terjadi sesuatu, cepat panggil kami. Oke?” ujar ibu Steve sambil mencondongkan tubuh untuk memberikan satu kecupan lembut di puncak kepalanya. Karina langsung tersenyum lebar dan mengangguk.
“Jika kamu sudah merasa cukup baik untuk bergabung dengan kami saat makan malam, ibu akan membuatkan hotpot kesukaanmu.” Kata ibunya sambil memberikan cubitan lembut di ujung hidungnya.
Karina kembali mengangguk dengan senyum yang semakin lebar. Ia menatap ibu dan ibu mertuanya bergantian sambil berbicara, “Baik, ibu. Terima kasih.”
Setelah sedikit mengobrol, kedua ibunya berjalan keluar dari kamar, diiringi oleh Steve yang kemudian menutup pintu. Dan setelah kini mereka hanya tinggal berdua, Steve menghela nafas pelan dan berjalan menghampiri Karina. “Aku tidak percaya kebodohanmu dengan berlari keluar di malam hari membuatmu sakit. Dan aku juga jadi harus mengerjakan pekerjaanmu.”
Karina merapatkan bibirnya dan melayangkan tatapan bersalah, membuat Steve kembali menghela nafas sambil mendudukkan dirinya di meja rias, mulai menghidupkan laptop yang ada di sana. Perbedaan sikap Steve yang berbanding seratus delapan puluh derajat saat ibu mereka ada dan tidak ada selalu membuat Karina ingin mendengus. Begitu kontras, namun juga sangat menghibur untuknya.
•
•