Kelahiran bayi hasil pengkhianatan tunangan dan adiknya, membuat Nara merasakan puncak kehancuran. Rasa frustrasi dan kecewa yang dalam membuat Nara tanpa sengaja menghabiskan malam dengan seorang pria asing.
“Aku akan bertanggung jawab dan menikahimu.” -Daniel Devandra Salim
“Menikah dengan pria asing? Apakah aku bisa bahagia?”
“Seluruh kekayaanku, akan kugunakan untuk membahagiakanmu.”
Dalam pernikahan yang dikira menjadi jalan bahagia, Nara justru menemukan sebuah fakta yang mengejutkan tentang Devan yang tidak pernah dia sangka. Di saat yang sama, ipar alias mantan tunangannya mencoba meyakinkan Nara bahwa dia hanya mencintai wanita itu dan menyesal telah mengkhianatinya.
Akankah Nara berhasil mendapatkan kebahagiaan dalam pernikahannya dengan Devan?
Ataukah dia mengalami kegagalan dan kembali pada mantannya?
*
*
Follow IG @ittaharuka untuk informasi update novel ini ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itta Haruka07, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18
Sesuai rencana, Devan membawa Nara pulang ke rumah orang tuanya. Suasana rumah terasa tegang. Devan tampak berbincang serius dengan Papanya di ruang tamu, suara mereka teredam, tetapi Nara bisa merasakan beratnya percakapan tersebut. Ia memilih untuk menemui Oma di halaman belakang, mencari suasana yang lebih tenang.
Nara menemukan Oma duduk di bangku taman, memandangi taman dengan tatapan sendu. Ia menghampiri Oma, duduk di sampingnya. Lalu, gadis itu langsung bertanya tentang Devan, kegelisahan yang selama ini terpendam akhirnya terungkap.
“Oma … sebenarnya, apa yang terjadi dengan Devan?” Nara bertanya, suaranya bergetar.
Oma tampak ragu-ragu, menatap Nara dengan tatapan yang penuh kerumitan. “Sebenarnya, Oma nggak mau cerita masalah ini sama kamu. Tapi, melihatmu khawatir dengan Devan semalam, dan kamu yang akan menghabiskan sisa umur bersamanya, Oma akan ceritakan ini …” Oma menghela napas panjang, seolah-olah hendak melepaskan beban berat yang telah lama dipikulnya.
Nara mengangguk. Tampaknya, dia begitu siap mendengar cerita yang akan disampaikan nenek mertuanya itu.
“Dulu … waktu usia sepuluh tahun … Devan beberapa kali mengalami kejadian seperti tadi malam. Dia tiba-tiba mengamuk, bukan seperti dirinya sendiri. Kaca jendela yang pecah, tetangga yang hidungnya berdarah, itu semua … bukan Devan yang melakukannya. Dia … dia menjadi orang lain. Dia membuat kerusakan, kekacauan, menghajar teman sekolahnya, dan …" Oma berhenti sejenak, tangannya gemetar saat menyeka sudut matanya. Tatapannya menembus Nara, mengungkapkan ketakutan yang terpendam dalam hatinya.
“Dan apa, Oma?” Nara mendesak dengan raut muka khawatir yang menyerang pikirannya.
“Dan … dia mengaku bernama Bara.” Suaranya nyaris menjadi bisikan.
Nara merasakan hawa dingin yang menusuk tulang punggungnya. Bukan hanya ketakutan, tetapi juga sebuah kesedihan yang dalam terpancar dari mata Oma.
Nara dapat membayangkan betapa beratnya beban yang dipikul oleh neneknya selama bertahun-tahun. Bayangan Devan yang mengamuk, membuat kerusakan, dan mengaku bernama Bara, terbayang jelas di benaknya. Rasa takut dan iba bercampur aduk dalam hatinya.
“Saat itu kedua orang tuanya berada di luar negeri. Oma sendiri yang membesarkannya. Setiap kali terjadi kekacauan, dia berubah menjadi Bara. Dan, Devan sendiri tidak ingat apa yang terjadi. Saat itu, oma takut membawanya ke psikolog atau apa pun itu. Oma khawatir pandangan orang-orang terhadap Devan akan lain. Oma dan Devan akhirnya menyusul orang tuanya ke luar negeri,” jelas Oma, suaranya terdengar lirih, seolah-olah ia kembali terbawa ke masa lalu yang penuh kepedihan.
Oma berdiri, melangkah pelan, tampak bernostalgia dengan masa-masa yang terberat itu. Nara memperhatikannya dengan simpati.
“Lalu … apa yang terjadi setelahnya, Oma? Apa Devan masih berimajinasi sebagai Bara?” Nara bertanya dengan hati-hati.
Oma berbalik badan, tatapannya kembali bertemu dengan tatapan Nara. Ada kelegaan dan juga kesedihan yang terpancar dari matanya. “Tidak. Dia hidup normal seperti anak seusianya. Tidak ada Bara dan tidak ada kekacauan. Dia bahkan menyelesaikan kuliahnya dengan cepat dan kembali untuk membantu mengembangkan bisnis orang tuanya.”
Namun, di balik kata-kata itu, tersimpan sebuah rahasia yang masih tersembunyi, sebuah rahasia yang mungkin akan kembali muncul kapan saja. Rahasia tentang Bara.
Dari cerita Oma, semuanya menjadi lebih masuk akal. Kejadian semalam dengan pamannya, kemesraan yang terputus di tengah jalan, semuanya mungkin ada hubungannya dengan masa lalu Devan yang kelam.
Nara mengerti, membawa Devan untuk memeriksakan dirinya ke psikolog atau ahli lainnya bukanlah perkara mudah. Itu membutuhkan kepercayaan dan kesiapan dari Devan sendiri, sesuatu yang mungkin belum ia miliki saat ini.
Sepanjang sore hingga malam, Nara menghabiskan waktu bersama keluarga Devan. Ia berusaha bersikap normal, menikmati keramahan mereka, tetapi pikirannya tetap tertuju pada Devan yang sedang bekerja. Ia khawatir, juga gelisah.
‘Apa yang bisa aku lakukan untuk membantunya? Aku yakin, ini bukan perkara sesederhana pengendalian emosi saja,’ batin Nara, mengulang-ulang pertanyaan itu dalam hatinya.
Usai makan malam, Nara menunggu Devan di kamarnya. Ia berbaring di tempat tidur, memainkan ponselnya, tetapi hatinya tidak merasa tenang.
Tak lama kemudian, Devan pulang. Ia tampak ceria, seolah-olah beban berat yang ia pikul telah sedikit berkurang.
“Kamu belum tidur?” Devan bertanya, suaranya lembut, ketika melihat Nara masih berbaring di tempat tidur, dan memainkan ponselnya.
Nara tersenyum, menatap Devan dengan mata yang penuh perhatian. “Mana mungkin aku bisa tidur di tempat asing ini. Aku menunggumu.”
Kata-katanya sederhana, tetapi mengandung makna yang begitu dalam. Nara ingin menunjukkan pada Devan bahwa ia ada di sisinya, siap untuk mendukung pria itu, apa pun yang terjadi.
Devan menghampiri Nara, duduk di tepi tempat tidur. Ia mengacak pelan rambut Nara yang terurai, senyumnya mengembang. “Apa sekarang kamu mulai merindukanku? Tidak bisa tidur tanpa melihatku?” suaranya terdengar menggoda, tetapi ada sedikit keraguan di balik candaannya.
Nara bangun, duduk tegak di hadapan Devan. Tatapannya serius, berbeda dari candaan Devan. “Dev,” suaranya sedikit gemetar, “aku sudah keluar dari pekerjaanku, dan sekarang aku menganggur. Aku … aku butuh sesuatu untuk mengalihkan pikiranku, untuk menyibukkan diri. Aku khawatir … aku takut … aku tidak bisa hanya menunggu di rumah. Bisakah aku … bisakah aku bekerja di tempatmu?” Matanya berkaca-kaca, mengungkapkan ketakutan dan kekhawatirannya. Bukan hanya tentang pekerjaan, tetapi juga tentang keinginan untuk lebih dekat dengan Devan, untuk memahami dan membantunya.
Namun, Devan langsung menolak dengan tegas. “Nggak! Suami istri dilarang bekerja satu kantor. Dan juga, aku tidak mau kalau kita terus bertemu. Nanti … kamu nggak akan merindukanku, dan malah muak karena selalu bertemu.”
Devan berbalik badan, melepaskan kancing lengan kemeja kerjanya, bersiap untuk mandi. Nara, yang baru saja ditolak, tidak menyerah begitu saja. Ia memeluk Devan dari belakang, menempelkan wajahnya di pundak suaminya itu.
“Kenapa harus muak kalau ketemu setiap hari? Justru, aku merasa bisa lebih mengenalmu kalau kita sering bertemu,” rayu Nara, suaranya terdengar manja, mencoba membujuk Devan dengan kelembutannya.
Devan menoleh, tatapannya bertemu dengan tatapan Nara. Jarak mereka begitu dekat, napas mereka saling bercampur. Nara tersenyum semanis mungkin, mencoba untuk meluluhkan hati suaminya.
Sayangnya, Devan tetap tegas menolak. “Nggak, Sayang. Kamu bisa kerja di tempat lain atau kamu santai saja di rumah. Besok kita akan pindah ke apartemen, jadi aku yakin kamu akan punya kesibukan,” jawab Devan, dengan senyum yang terasa dipaksakan. Ia mencium bibir Nara sekilas, lalu beranjak ke kamar mandi.
Nara menatap punggung Devan yang menjauh dengan perasaan kecewa. Tekadnya semakin bulat. Dalam hati, ia bergumam, “Aku harus cari cara untuk bisa kerja bareng kamu. Aku harus tahu, apa yang sebenarnya terjadi sama kamu, Dev!”
***
Like, komennya jangan lupa 😙😙
kak semangat up nya,,klo bisa yg banyak up nya😁
udah dilarang bejerja di oerusahaan suami tapi tetap dilanggar