Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 27
Dan saat jemarinya menyentuh gagang pintu itu... hatinya berdebar keras saat mendapati kunci tergantung begitu saja di sana. "Maaf, Adrasta..." bisik Rania pelan. "Aku cuma ingin tahu... sisi lain dari dirimu..."
Perlahan, pintu itu terbuka.
Dan di sanalah ia membeku.
Di ruangan sederhana yang dipenuhi aroma cat dan kanvas setengah kering, matanya langsung tertuju pada satu sudut lukisan besar seorang wanita cantik dengan senyuman yang teduh. Alina.
Rania menatap nanar. Ada banyak lukisan Alina di sana. Ada yang selesai. Ada yang setengah jalan. Ada yang bahkan hanya berupa coretan kasar penuh emosi. Tapi... Langkah Rania terhenti saat matanya menangkap sesuatu yang membuat dadanya mencelos.
Di sudut ruangan paling sunyi... ada sketsa lain.
Bukan Alina.
Tapi dirinya. Dirinya sendiri.
Rania. Dalam berbagai ekspresi sederhana. Tertawa kecil. Menunduk. Bahkan ada saat dirinya sedang marah, sedang menangis kertas itu. semua terpahat di atas Hatinya remuk. Matanya basah tanpa sadar. "Adrasta..."
Ternyata... lelaki itu melihatnya lebih dalam dari siapapun. Bukan sebagai bayangan Alina. Bukan sebagai pelarian. Tapi sebagai dirinya sendiri. Seseorang yang dia perhatikan diam-diam, dalam kesunyian paling dalam.
Dan saat Rania masih menatap sketsa itu suara berat nan familiar tiba-tiba terdengar di belakang punggungnya. Dalam. Serak. Menggetarkan seluruh isi hatinya.
"Kamu nggak seharusnya ada di sini, Rania..." Tubuh Rania membeku. Perlahan, ia menoleh... mendapati Adrasta berdiri di ambang pintu.
Tatapannya rumit. Luka. Tapi juga penuh cinta yang begitu nyata. Tidak ada marah di matanya. Hanya ada satu hal... Rasa takut kehilangan. Dan saat Adrasta melangkah mendekat, suaranya bergetar pelan... "Aku melukis Alina... untuk mengenangnya. Tapi aku melukis mu, Rania... karena aku takut kehilanganmu tanpa pernah sempat menjagamu dengan caraku."
Deg. Dada Rania terasa sesak. Lelaki itu... benar-benar berbeda dari yang selalu ia pikirkan.
Dia bukan lagi monster di masa lalu.
Dia adalah seseorang... Yang diam diam sedang jatuh cinta - jatuh terlalu dalam padanya.
Malam itu, setelah percakapan singkat yang menggetarkan hati, Adrasta berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegang. Ponselnya masih berada di genggaman, layar menyala menampilkan panggilan yang baru saja berakhir. Tatapannya tajam, penuh kewaspadaan. Rania, yang masih berdiri di tengah ruangan dengan sketsa dirinya di tangan, merasakan ketegangan yang tiba-tiba memenuhi atmosfer.
la menatap Adrasta dengan cemas. "Ada apa?" tanyanya, suaranya nyaris berbisik.
Adrasta menutup pintu di belakangnya, langkahnya mantap mendekati Rania. la mengambil sketsa dari tangan Rania, meletakkannya dengan hati-hati di atas meja dekat mereka. Kemudian, dengan suara rendah namun tegas, ia berkata, "Rey sudah menemukan kita. Kita harus segera pergi dari sini."
Jantung Rania berdebar kencang. Pikiran tentang Rey, pria yang pernah begitu dekat dengannya, kini menjadi ancaman nyata. la merasakan ketakutan merayap di hatinya. "Ke mana kita akan pergi?" suaranya bergetar.
Adrasta menatapnya dalam-dalam, seolah mencari kekuatan dalam diri Rania. la menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku punya tempat lain yang lebih aman. Tapi kita harus bergerak sekarang juga."
Tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, Adrasta meraih tangan Rania dengan lembut namun penuh determinasi. Sentuhan itu mengirimkan gelombang kehangatan yang aneh di tengah situasi mencekam. Rania mengikuti langkah Adrasta yang cepat, meninggalkan ruangan penuh kenangan itu.