Demi biaya pengobatan ibunya, Alisha rela bekerja di klub malam. Namun kepercayaannya dikhianati sang sahabat—ia terjerumus ke sebuah kamar hotel dan bertemu Theodore Smith, cassanova kaya yang mengira malam itu hanya hiburan biasa.
Segalanya berubah ketika Theodore menyadari satu kenyataan yang tak pernah ia duga. Sejak saat itu, Alisha memilih pergi, membawa rahasia besar yang mengikat mereka selamanya.
Ketika takdir mempertemukan kembali, penyesalan, luka, dan perasaan yang tak direncanakan pun muncul.
Akankah cinta lahir dari kesalahan, atau masa lalu justru menghancurkan segalanya?
Benih Sang Cassanova
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibu.peri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
UNCLE BAU
Setelah kepergian Jimy, Elsa membawa Thea kembali ke apartemen. Sepanjang jalan, gadis kecil itu terus mengeluh soal “uncle bau” yang memeluknya di taman. Tapi Elsa terlalu sibuk memproses kejadian tadi di kepalanya—pertemuan tak terduga dengan seseorang yang dikatakan sebagai CEO tempat mereka bekerja. Dan ya, itu bukan hanya mirip… tapi benar-benar dia. Elsa yakin seratus persen, terutama setelah melihat Jimy datang menyusul pria itu.
Begitu tiba di apartemen, Elsa langsung menggedor pintu dan masuk dengan gaya heboh seperti biasa.
BRAK!
"Alish! Alishh!" teriak Elsa sambil mendorong pintu dan masuk ke ruang tengah, napasnya ngos-ngosan, wajahnya penuh ekspresi panik campur semangat.
Alisha yang sedang duduk santai bersama Bibi Martha di dapur hampir menjatuhkan sendok sayur yang sedang dipegangnya. Ia baru saja pulang ke apartemen sebentar untuk buang air, tapi malah ketahan karena tergoda aroma masakan Bibi Martha. Saking sibuknya ngobrol dan mencicipi lauk, ia sampai lupa kalau Thea masih main di taman bersama Elsa.
"Ada apa Elsa? Kau seperti dikejar hantu?" ejek Alisha, melipat tangan di dada, sambil memandangi Elsa dari ujung kepala sampai ujung kaki.
Elsa tak menggubris ledekan itu. Dengan gaya dramatis, ia menarik napas panjang, bersiap membuka cerita hebohnya.
"Alish, dengarkan aku dulu... Ini lebih dari sekadar cerita horor! Ini... ini—"
Namun sebelum Elsa sempat mengeluarkan satu kalimat utuh, Thea yang sedari tadi berdiri di dekatnya langsung menyela dengan suara nyaring.
"Mommy, tadi ada—!"
Elsa mendelik ke arah Thea. “Aish! Thea, aunty dulu yang mau cerita!” keluhnya, lalu kembali menatap Alisha penuh semangat, berharap kali ini bisa bercerita tanpa interupsi.
"Jadi begini, Alish... Kau tahu tidak—"
"Tidak..," potong Alisha cepat, menahan tawa melihat ekspresi Elsa yang seperti kucing gagal lompat.
Elsa mendengus. “Aish! Kau ini. Aku bahkan belum bercerita!”
Thea malah terkekeh geli. Suaranya yang cempreng membuat tawa itu terdengar paling keras dibanding semua orang di ruangan itu.
"Aku serius!" Elsa menunjuk-nunjuk dirinya sendiri. “Tadi kami lihat seseorang yang mirip CEO. Eh, Maksudku... CEO tempat perusahaan kita bekerja! Tapi penampilannya seperti... orang gila. Serius! Rambut acak-acakan, wajah kusam, baju berantakan. Aku sampai curiga, Mungkin dia baru saja kabur dari rumah sakit jiwa!"
"Ya, Mommy! Dia juga bau! Hidung Thea sampai sakit!" Thea menambahkan sambil menutup hidung, ekspresinya lebay tapi menggemaskan.
Elsa mengangguk semangat, “Benar, benar! Dan apa kau juga tahu, aku lihat Tuan Jimy juga ada disana! Aku hampir tidak percaya jika tuan Jimy tidak mengatakan jika pria itu adalah CEO !”
Alisha menatap mereka berdua dengan alis terangkat. Tapi sebelum Elsa melanjutkan dramanya, Alisha langsung bangkit dan beranjak ke dapur.
"Kalian berdua bersihkan diri dulu. Aku mau siapkan makan malam," katanya tanpa ekspresi.
Elsa melongo, tidak menyangka cerita breaking news-nya ditolak mentah-mentah.
"Aku capek-capek cerita, tapi mommy-mu tidak mendengarkannya!" keluh Elsa.
"Hahaha! Aunty... ternyata cerita aunty membosankan, makanya Mommy pergi," goda Thea dengan ekspresi sok polos, lalu melenggang masuk ke kamarnya.
Elsa hanya bisa menatap kepergian bocah itu dengan ekspresi pasrah. “Aku disabotase anak kecil….”
Sementara itu...
Di apartemen yang sama, tapi milik Theo di lantai paling atas, suasana sunyi. Pria itu berdiri di depan cermin, menatap bayangannya sendiri.
Rambutnya kusut, mata cekung, kumis dan janggut yang mulai tumbuh, dan baju... bahkan dia sendiri tak ingat kapan terakhir kali berganti baju. Ia menghela napas panjang.
“Pantas saja anak itu takut. Aku... benar-benar terlihat seperti penculik kelas teri,” gumamnya dengan nada sarkastik pada diri sendiri.
Tanpa menunggu lebih lama, Theo masuk ke kamar mandi. Ia mencukur habis jenggot dan kumis, lalu mandi berendam selama hampir satu jam, membiarkan air hangat menyapu semua rasa lelah dan frustasinya.
Setelah keluar, ia mengenakan kaus hitam, celana jeans gelap, dan jaket kulit. Ia tampak lebih segar, meski sorot matanya masih menyimpan kekalutan yang belum selesai.
Saat membuka pintu kamar, ia terkejut melihat Jimy sedang duduk di sofa ruang tengah.
“Jimy? Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya heran.
Jimy berdiri dengan cepat. “Maaf, Tuan. Saya hanya ingin memastikan Anda baik-baik saja.”
Theo tersenyum miring, lalu menghela napas. “Aku tidak gila, Jimy. Aku hanya... hampir kehilangan akal. Tapi sekarang aku sudah sadar. Tidak seharusnya aku tenggelam dalam dugaan tanpa kepastian.”
Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas lalu meneguk air dingin langsung dari botol.
“Wanita tadi... Ibu dari gadis kecil itu. Tapi… wajah anak itu. Dia mirip dengan gadis kecil yang bersama wanita dalam rekaman CCTV. Matanya, bentuk dagunya... aku yakin, anak itu punya hubungan dengan masa laluku.”
Jimy hanya mengangguk, mendengarkan dengan khidmat.
“Aku akan ke markas. Aku butuh bantuan mereka untuk menyelidiki lebih lanjut. Mencari Dimana keberadaan anakku, karena aku benar-benar yakin, jika wanita itu ha mil setelah malam itu.”
Jimy ragu-ragu, lalu bertanya pelan. “Tuan, kalau ternyata gadis kecil itu bukan putri Anda... bagaimana?”
Theo terdiam sejenak, lalu menjawab tegas.
“Maka aku akan tetap menjaganya. Karena entah kenapa... hatiku bilang, aku tidak boleh membiarkan gadis kecil itu jauh dariku.”
Jimy menunduk, kagum dengan ketulusan pria yang selama ini dikenal dingin dan keras itu. Ia juga sempat melihat wajah Thea, dan banyak kemiripan pada sang tuan.
Theo pergi keluar apartemen miliknya, dan Jimy kembali ke apartemennya yang juga berada tak jauh dari sana.
Saat berada di dalam lift, tiba-tiba pintu terbuka. Masuk seorang anak kecil yang familiar baginya.
"Apa kau uncle bau tadi?,"