Kim Min-seok siluman rubah tampan berekor sembilan, yang sudah hidup lebih dari 1000 tahun,Kim Min-seok hidup dengan menyembunyikan identitasnya sebagai seekor gumiho,Ia berkepribadian dingin dan juga misterius.
Dirinya menjalin hidupnya dengan kesepian menunggu reinkarnasi dari kekasihnya yang meninggal Beratus-ratus tahun yang lalu.
Kim Min-seok kemudian bertemu dengan Park sung-ah mahasiswi jurusan sejarah, saat itu dirinya menjadi dosen di universitas tersebut.
Mereka terjerat Takdir masa lalu yang mempertemukan mereka, mampukah Kim Min-seok mengubah takdir tragis di masalalu yang terulang kembali di masa depan.
apakah kejadian tragis di masalalu akan kembali terjadi kepada dirinya dan juga kepada park sung-ah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Heryy Heryy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
༿BAB༌༚13
Saat itu, Kim Min-seok baru saja melangkah ke dalam ruang kantornya, matanya masih memandang pintu yang baru saja dia tutup.
Pikirannya tergelincir ke kelas tadi—ke wajah Park Sung-ah yang pucat seperti kertas, mata yang sayu dan merah karena kurang tidur, dan cara dia selalu menundukkan kepala setiap kali dia melihatnya.
Dia duduk di kursinya yang empuk, meletakkan tangan di mejanya yang bersih, dan mencoba menenangkan diri. Tapi sebelum dia sempat bernapas tenang, sesuatu yang aneh dan mengerikan menyentuh tubuhnya—sebuah getaran energi yang kuat, jahat, dan sangat akrab.
Energi dari kuil.
Dia berdiri dengan cepat, bulu rambut di lehernya berdiri tegak. Energi itu tidak mungkin salah—ia telah mengenalnya selama beratus-ratus tahun, sejak hari Song Hye-yoon mengorbankan dirinya untuk menyegel Imugi di sana.
Kuil itu seharusnya aman—dia telah menempatkan pelindung magis yang sangat kuat di sekitarnya, pelindung yang hanya bisa dilanggar oleh makhluk dengan kekuatan yang melampaui manusia, atau oleh seseorang yang mengetahui rahasia segel yang tersembunyi.
"Bagaimana bisa ini terjadi?" gumamnya dengan suara yang serak, matanya berubah menjadi warna emas yang menyilaukan sejenak—tanda bahwa kekuatannya sebagai gumiho mulai muncul.
Tanpa berpikir dua kali, dia memusatkan energi ke seluruh tubuhnya. Cahaya terang yang lembut tapi kuat menyelimuti dirinya, dan dalam sepersekian detik—seolah-olah waktu berhenti hanya untuk dia—dia telah berpindah tempat dari ruang kantor yang nyaman di kampus ke depan kuil yang angker di tengah hutan bukit Bukhan.
Malam sudah mulai menyebar di langit, membawa kegelapan yang tebal dan udara yang semakin dingin. Udara di sekitar kuil terasa kental dengan energi yang tidak nyaman, dan bau tanah basah, lumut, dan kayu tua menyebar di udara.
Dia memandang sekeliling dengan mata yang peka—menyelidiki setiap sudut hutan, setiap bayangan yang bergerak, setiap bunyi yang tidak biasa. Tapi tidak ada apa-apa. Hutan sunyi seperti kuburan, tidak ada tanda-tanda makhluk hidup atau manusia yang pernah berada di sana.
Dia mendekati pintu kuil yang terbuka sedikit, langkahnya lembut dan tidak terdengar. Dia memasuki ruangan yang gelap dan lembab, nafasnya terhenti sebentar ketika matanya menemukan lukisan yang tergantung di dinding paling dalam.
Lukisan itu masih utuh—gambar Song Hye-yoon yang cantik, memegang batu permata, dan Imugi yang terkurung di dalamnya masih jelas terlihat. Segelnya masih kuat, cahaya lembut dari batu permata masih menyebar, mencegah Imugi keluar.
Namun, energi jahat itu masih terasa. Tidak lagi sekuat tadi, tapi masih ada—seolah-olah sesuatu atau seseorang telah berada di sini baru-baru ini, lalu pergi dengan cepat sebelum dia tiba.
Dia memeriksa pelindung yang dia pasang di sekitar kuil—garis-garis energi yang terbenam di tanah dan pohon-pohon di sekitarnya. Ada sedikit retakan di salah satu bagian garis energi itu—sangat kecil, tapi cukup untuk memungkinkan sesuatu memasuki area kuil. Siapa yang bisa melakukannya? Siapa yang punya kekuatan untuk melanggar pelindungnya?
Dia berdiri di depan lukisan itu selama beberapa menit, pikirannya berputar-putar. Apakah ada gumiho lain yang ingin membuka segel Imugi untuk mengambil kekuatannya? Atau apakah reinkarnasi Hye-yoon sudah ada di dekat sini, dan energi dari dirinya yang membuat pelindung sedikit lemah? Dia tidak tahu, tapi dia tahu bahwa dia harus waspada.
Dia tidak akan membiarkan apa-apa membahayakan segel itu, atau membahayakan dunia dari bahaya Imugi.
Setelah yakin bahwa semuanya baik-baik saja di kuil dan segel masih kuat, dia memusatkan energi lagi. Cahaya terang menyelimuti tubuhnya sekali lagi, dan dalam sekejap, dia sudah kembali ke ruang kantornya di kampus.
Dia berdiri di tengah ruang kantor, menatap pintu yang tertutup, hati dia penuh dengan kekhawatiran dan pertanyaan yang tidak terjawab.
Sementara itu, Park Sung-ah masih berdiri di koridor luar ruang kantor Kim Min-seok, tubuhnya gemetar karena kedinginan dan rasa penasaran yang semakin membanjiri dirinya.
Dia jelas-jelas melihat Min-seok masuk ke ruang kantor tadi—dia melihatnya membuka pintu, melangkah masuk, dan menutup pintu dengan hati-hati. Tapi ketika dia membuka pintu beberapa detik yang lalu, ruang itu kosong.
Bagaimana bisa seseorang menghilang begitu cepat? Apakah dia keluar melalui pintu teras di belakang ruang kantor? Tapi dia tidak mendengar suara pintu terbuka atau tertutup.
Dia menutup pintu ruang kantor dengan perlahan, tangannya gemetar. Dia ingin pergi, ingin kembali ke In-a yang menunggu di luar gedung, tapi rasa penasarannya terlalu besar. Dia harus tahu di mana Min-seok pergi.
Dia harus memastikan bahwa apa yang dia lihat tadi bukanlah khayalan. Dia berdiri di koridor selama beberapa menit, memikirkan, sampai akhirnya keberaniannya menang.
Dia berjalan kembali ke pintu ruang kantor, memegang pegangan dengan kedua tangan. Dia menghembuskan napas dalam, lalu memutar pegangan dan membuka pintu perlahan-lahan.
Pada saat yang sama persis, Kim Min-seok yang baru saja kembali ke ruang kantor juga sedang memutar pegangan pintu dari dalam, berniat untuk keluar dan mencari tahu lebih lanjut tentang energi jahat di kuil.
Pintu terbuka dari kedua sisi, dan mereka bertemu tepat di tengah. Sung-ah terkejut sepenuhnya—dia tidak menyangka bahwa Min-seok akan membuka pintu dari dalam pada saat yang sama.
Dia terpleset, kakinya tergelincir di lantai koridor yang licin karena debu, dan secara tidak sengaja menarik tangan Min-seok yang sedang memegang pegangan pintu.
Tanpa mereka sadari, kedua tubuh mereka terjatuh ke lantai dengan bunyi yang lemah. Sung-ah terjatuh tepat di atas tubuh Min-seok, dada mereka saling bersentuhan, dan pada saat yang sama—seolah-olah takdir yang sudah direncanakan jauh-jauh hari—bibir mereka bersentuhan dengan lembut, seperti sentuhan bulu burung yang lembut.
Keduanya tercengang sepenuhnya.
Mata Sung-ah terbuka lebar sampai terasa sakit, matanya penuh dengan keheranan dan ketakutan.
Dia melihat wajah Min-seok yang ada tepat di bawahnya—wajah yang tampan, mata yang besar dan ceria tapi sekarang juga penuh dengan kejutan, dan bibir yang masih bersentuhan dengan bibirnya.
Dia merasa detak jantungnya berdebar kencang sampai seolah-olah akan meledak dari dada, dan darahnya berjalan cepat ke wajahnya, membuatnya memerah seperti apel matang.
Dia merasakan sentuhan bibir Min-seok yang hangat dan lemah—sentuhan yang sama persis seperti malam itu, yang dia selalu anggap sebagai mimpi tapi sekarang ternyata benar-benar nyata.
Min-seok juga tercengang. Matanya terbuka lebar, dan dia tidak bisa bergerak sama sekali. Dia melihat wajah Sung-ah yang memerah di atasnya, mata yang penuh dengan keheranan, dan bibir yang lemah yang masih menyentuh bibirnya.
Dia merasa detak jantungnya berdebar kencang—hal yang dia belum rasakan selama berabad-abad, bahkan ketika dia bersama Song Hye-yoon dulu. Dia merasakan energi yang lembut dari tubuh Sung-ah, energi yang membuatnya merasa tenang dan ganas pada saat yang sama.
Dia ingin menarik dirinya lebih dekat, ingin merasakan sentuhan itu lebih lama, tapi tubuhnya seperti beku—tidak bisa bergerak, tidak bisa berbicara.
Waktu berhenti berjalan. Kedua mereka berdiam diri begitu lama, hanya dengan sentuhan bibir yang lemah, di tengah lantai koridor yang sepi.
Udara terasa kental dan penuh dengan ketegangan yang tak terucapkan. Tidak ada suara selain detak jantung mereka yang kencang dan napas mereka yang pendek.
Mereka hanya saling melihat, penuh dengan kejutan dan kebingungan, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.