NovelToon NovelToon
Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Saat Mereka Memilihnya Aku Hampir Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Bad Boy / Diam-Diam Cinta / Cintapertama / Enemy to Lovers / Cinta Murni
Popularitas:931
Nilai: 5
Nama Author: his wife jay

Dilarang keras menyalin, menjiplak, atau mempublikasikan ulang karya ini dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis. Cerita ini merupakan karya orisinal dan dilindungi oleh hak cipta. Elara Nayendra Aksani tumbuh bersama lima sahabat laki-laki yang berjanji akan selalu menjaganya. Mereka adalah dunianya, rumahnya, dan alasan ia bertahan. Namun semuanya berubah ketika seorang gadis rapuh datang membawa luka dan kepalsuan. Perhatian yang dulu milik Elara perlahan berpindah. Kepercayaan berubah menjadi tuduhan. Kasih sayang menjadi pengabaian. Di saat Elara paling membutuhkan mereka, justru ia ditinggalkan. Sendiri. Kosong. Hampir kehilangan segalanya—termasuk hidupnya. Ketika penyesalan akhirnya datang, semuanya sudah terlambat. Karena ada luka yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan kata maaf. Ini bukan kisah tentang cinta yang indah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon his wife jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

cemburu ?

Elara melangkah santai keluar dari toilet khusus perempuan, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Saat dia Baru berjalan beberapa langkah, dua cowok dari sisi koridor tiba-tiba menghadangnya.

“keluarin semua uang lo,” ucap salah satu dari mereka sambil menyeringai.

“Atau kita bakal ngelakuin sesuatu yang bikin lo nyesel.”

Elara mendongak, menatap mereka datar. “Kalian nggak ada kerjaan lain, ya, selain malakin orang?”

“Gak usah banyak bacot Lo tinggal ngasih apa susahnya sih” sahut yang satunya ketus.

“Ayo dong, neng geulis. Kasih aja uangnya. Kita suntuk, mau ngerokok. Atau…” ia tertawa kecil, disusul temannya. “Lo mau main sama kita?”

Elara mendecak pelan.

“Mulut lo berdua tuh kayak nggak pernah diajarin sopan santun.”

Ia melipat tangan di dada. “Lo pikir gue cewek lemah yang bakal nurut gitu aja? Big no.”

Ia melangkah maju setengah langkah, tatapannya tajam.

“Dan sumpah, kalian cowok paling nggak modal yang pernah gue temuin, dan malah Minta duit cuma buat beli rokok.”

Elara menggeser bahu, berniat pergi.

“Sana minggir. Gue mau ke kelas.”

Baru satu langkah, tangan kasar mencekal lengannya.

Elara refleks berontak, tapi sebelum ia sempat bereaksi lebih jauh, tangan lain menyambar pergelangan si cowok itu dan menepisnya keras.

“Lepasin.”

Suara itu dingin.

Elara menoleh.

“Kaizen…” gumamnya.

Kaizen berdiri di sampingnya, tubuhnya sedikit condong ke depan, tatapan tajam mengunci dua cowok itu. Ia merogoh saku celananya, lalu menyodorkan beberapa lembar uang.

“Ambil. Terus pergi. Jangan ganggu elara lagi.”

Kedua cowok itu saling pandang, lalu nyengir. “ nah gitu dong thanks, bro.”

Mereka buru-buru pergi.

Elara langsung menoleh ke Kaizen.

“Ck. Ngapain sih lo kasih mereka uang? Duit itu pasti dipake buat hal nggak bener. Ngerokok lagi, ngerokok lagi.”

Kaizen menghela napas kecil.

“Daripada masalahnya makin panjang. Gue milih yang simpel.”

Elara mendengus.

“kalo gak ada Lo, gue juga bisa lawan mereka berdua kok!”

Kaizen meliriknya dari atas ke bawah, lalu tertawa kecil.

“lawan mereka berdua? Dengan badan lo yang sekecil ini?”

Ia menepuk ringan kepala Elara.

“Heh! Gue gak sekecil itu, ya,” protes Elara kesal.

Kaizen hanya terkekeh.

“Udah. Ayo ke kelas.”

Mereka berjalan berdampingan, masih tertawa kecil.

Namun dari kejauhan, sepasang mata memperhatikan semuanya.

Awalnya, ia sudah melangkah maju—siap menghampiri Elara. Tapi langkahnya terhenti saat melihat Kaizen muncul lebih dulu.

Ia berdiri di sana, diam.

Melihat Elara tertawa ringan.

Melihat kebersamaan yang sudah terlalu sering ia saksikan sejak kecil.

Ini wajar, katanya pada diri sendiri.

Mereka sahabat.

Tapi entah kenapa, dadanya terasa sesak.

Dan untuk pertama kalinya, ia sadar—

perasaan itu tidak lagi bisa ia bohongi.

★★★

Bel istirahat berbunyi nyaring, memecah suasana kelas yang sejak tadi penuh gumam pelajaran. Elara segera berdiri, meraih tas kecilnya, lalu berjalan keluar kelas bersama Nayomi dan Keira.

“Kantin belakang, kan?” tanya Nayomi sambil mengaitkan lengannya ke lengan Elara.

“Iya,” jawab Elara singkat.

Mereka bertiga mengambil tempat di sudut kantin. Beberapa menu sederhana sudah terhidang di atas meja—nasi, ayam goreng, dan segelas es teh. Elara membuka bungkus makanannya, tapi matanya justru sibuk menyapu sekitar.

Satu menit.

Dua menit.

Alisnya sedikit berkerut.

“El,” panggil Keira sambil menyendok nasi. “Kenapa?”

Elara menoleh. “Kalian liat arsen nggak?”

Nayomi ikut melihat ke sekeliling. “Nggak. Biasanya dia udah duduk bareng Ezra sama yang lain.”

“Itu dia yang aneh,” sambung Keira pelan. “Dari pagi juga kelihatan beda.”

Elara berhenti makan. “Beda gimana?”

Nayomi menurunkan sendoknya. “Dia lebih diem. Kayak lagi… banyak pikiran. Ezra tadi nyariin dia, tapi katanya Arsen gak mau ke kantin.”

Keira mengangguk. “Kaizen bilang dia naik ke rooftop.”

Rooftop.

Kata itu langsung membuat dada Elara terasa sedikit sesak.

Elara bangkit berdiri. “gue tinggal sebentar, ya.”

“Loh, mau ke mana?” tanya Nayomi heran.

“Ke toilet,” jawab Elara dengan cepat dan sedikit berbohong yang bahkan tak ia pikirkan dua kali.

Ia berjalan meninggalkan kantin, langkahnya makin cepat saat arah tangga rooftop semakin dekat. Setiap pijakan terasa lebih berat dari biasanya.

Tangga terakhir.

Pintu besi rooftop sedikit terbuka.

Elara mendorongnya perlahan.

Dan di sanalah Arsenio.

Berdiri membelakangi pintu, tubuhnya bersandar pada pagar besi, satu tangan menyelip di saku celana, tangan lainnya memegang sebatang rokok yang mengepul pelan. Asapnya melayang ke udara, bercampur dengan angin siang

yang panas.

Elara terdiam.

Arsenio… merokok.

Arsenio bukan tipe yang merokok sembarangan—apalagi di area sekolah. Ia hanya melakukan itu ketika pikirannya benar-benar kacau. Ketika ada sesuatu yang tak bisa ia ucapkan pada siapa pun.

Langkah Elara pelan mendekat.

“nio…”

Arsenio menoleh cepat. Sekilas terlihat keterkejutan di wajahnya, sebelum kembali tertutup ekspresi datar. Ia segera menjauhkan rokok itu dari bibirnya.

“Elara,” ucapnya rendah. “Ngapain ke sini?”

Elara mendekat satu langkah lagi. “Kamu kenapa?”

Arsenio terdiam. Asap rokok masih mengepul di sela jarinya.

“Kamu nggak ke kantin,” lanjut Elara. “Nggak bareng mereka. Dan sekarang…”

Matanya jatuh ke rokok itu. “Kamu ngerokok.”

Arsenio memalingkan wajah. “Cuma sebentar.”

Elara menatapnya lekat.

“Biasanya kamu nggak gini.”

Hening.

Angin berdesir, membawa bau asap yang samar.

Elara menggenggam ujung bajunya sendiri. "Seberat itu ya, masalah kamu hari ini?”

Arsenio menutup mata sesaat.

Dan untuk pertama kalinya hari itu, Elara merasa—arsenio yang berdiri di depannya bukan Arsenio yang selalu kuat dan tenang.

____

Elara melangkah mendekat, berdiri di sisi Arsenio. Tanpa banyak bicara, Arsenio langsung mematikan rokok itu—diinjaknya hingga bara kecilnya padam.  karena satu hal sederhana: ia tidak mau asap itu sampai ke Elara.

“El,” ucapnya pelan. “Apa gue boleh cerita sedikit ke lo?”

Elara menoleh, menatap wajah Arsenio yang terlihat jauh lebih lelah dari biasanya.

“Nggak usah sungkan, Nio. Kita bareng dari kecil, inget?” katanya lembut.

Arsenio mengangguk kecil. “Kemarin malam… ortu gue ribut lagi.”

Elara terdiam sesaat. Ia memang sering mendengar kabar tentang orang tua Arsenio—dua orang dewasa yang sama-sama sibuk, jarang pulang bersamaan, dan entah kenapa selalu berakhir dengan pertengkaran setiap kali bertemu.

“Masalah apa?” tanya Elara pelan.

Arsenio menghela napas panjang. “Mama nuduh ayah selingkuh.”

Mata Elara sedikit membesar. “Hah?”

“Mereka ribut hebat semalem,” lanjut Arsenio, suaranya menurun. “Gue denger semuanya dari kamar. Gue takut, El… takut mereka pisah. Gue nggak tau harus gimana.”

Untuk pertama kalinya, Arsenio terdengar rapuh.

Tanpa pikir panjang, Elara melangkah maju dan memeluknya. Tubuh Arsenio sempat kaku sepersekian detik, sebelum akhirnya balas memeluk Elara—erat, seolah gadis itu satu-satunya tempat berpijak yang ia punya saat ini. Ia menghirup aroma rambut Elara dalam-dalam, aroma yang selalu berhasil menenangkannya sejak dulu.

“Aku yakin tante cuma salah paham,” ucap Elara lembut sambil mengelus rambut Arsenio. “Kurang komunikasi, kurang perhatian… kadang itu bikin orang mikir yang aneh-aneh. Tante sama om pasti masih sayang. Mereka cuma lagi capek.”

Arsenio tak langsung menjawab. Pelukannya mengendur sedikit, tapi tangannya masih berada di punggung Elara.

“Makasi,” gumamnya.

Elara mendongak. “Ada lagi yang kamu pikirin?”

Arsenio menatap langit sebentar, lalu kembali menatap Elara. Bibirnya sedikit terbuka… lalu tertutup lagi.

Ada banyak hal di kepalanya.

Tentang rasa cemburu yang nggak masuk akal.

Tentang Elara yang terlalu berharga.

Tentang perasaan yang tumbuh diam-diam dan makin susah dikendalikan.

Ini tentang lo, El, batinnya.

Tapi kayaknya… gue belum pantes buat ngomong semuanya sekarang.

Arsenio akhirnya hanya menggeleng kecil. “Nggak. Itu aja.”

Elara menatapnya sejenak, seolah tahu Arsenio menyembunyikan sesuatu—tapi memilih untuk tidak memaksa.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!