"Lebih baik, kau mati saja!"
Ucapan Bram membuat Cassandra membeku. Dia tidak menyangka sang suami dapat mengeluarkan pernyataan yang menyakiti hatinya. Memang kesalahannya memaksakan kehendak dalam perjodohan mereka hingga keduanya terjebak dalam pernikahan ini. Akan tetapi, dia pikir dapat meraih cinta Bramastya.
Namun, semua hanya khayalan dari Cassandra Bram tidak pernah menginginkannya, dia hanya menyukai Raina.
Hingga, keinginan Bram menjadi kenyataan. Cassandra mengalami kecelakaan hingga dinyatakan meninggal dunia.
"Tidak! Kalian bohong! Dia tidak mungkin mati!"
Apakah yang terjadi selanjutnya? Akankah Bram mendapatkan kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Yune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Bertemu Reyhan
Cassie duduk termenung di balkon kamarnya, menatap halaman rumah yang sepi. Tangannya memeluk tubuh sendiri, mencoba menenangkan gemuruh di dada yang tak kunjung reda sejak kepulangan Bram.
Pria itu terus menerus mendatangi rumahnya tanpa henti. Meskipun, dirinya sendiri ingin mengakhiri semuanya. Akan tetapi, perasan yang dimilikinya tidak dapat dia akhiri begitu saja.
Pintu kamar diketuk pelan.
"Ayah boleh masuk?" suara Gunawan terdengar.
Cassie berdiri dan mempersilakan. Ayahnya masuk dengan wajah yang tak lagi setegang sebelumnya, tetapi garis tegas di wajahnya menunjukkan bahwa amarah belum sepenuhnya padam.
"Ada apa, Cass?"
Cassie menarik napas panjang. "Ayah, aku ingin kembali ke kantor."
Gunawan mengerutkan dahi. “Belum waktunya, Cass. Kamu masih belum stabil. Lihat dirimu…”
"Aku tahu. Tapi Ayah, aku tidak bisa seperti ini terus. Terpenjara di rumah sendiri seolah aku yang salah." Suaranya pelan, tapi tegas. "Aku butuh bekerja. Butuh menyibukkan diri agar aku tidak tenggelam dalam pikiran yang meracuni hati."
Gunawan terdiam. Ia tahu putrinya bukan tipe perempuan yang mudah dikekang. Ia lembut, tapi punya prinsip. Ia rapuh, namun tahu kapan harus berdiri sendiri.
"Kau yakin bisa fokus bekerja dengan situasi seperti ini?"
Cassie menatap ayahnya. "Tidak ada jaminan. Tapi aku ingin mencoba. Hidup harus tetap berjalan, Yah. Aku tidak ingin hidupku berhenti hanya karena masalah rumah tanggaku."
Gunawan menghela napas panjang. "Baiklah. Tapi hanya setengah hari untuk minggu ini. Aku tak mau kau memaksakan diri."
Cassie mengangguk. "Terima kasih, Ayah."
Setelah sang ayah keluar dari kamar, Cassie kembali duduk, lalu menulis sesuatu di buku catatannya:
“Aku tidak akan lagi menyerahkan kebahagiaanku pada ketidakpastian.”
***
Keesokan harinya, Cassie mempersiapkan diri untuk kembali ke kantor. Dia memiliki keinginan untuk kembali bangkit dari keterpurukan akibat pesoalan yang berlarut-larut.
Cassie berjalan melewati lorong kantor dengan langkah pelan namun mantap. Tatapan pegawai lain tertuju padanya, sebagian dengan rasa iba, sebagian lagi dengan kekaguman karena ia mampu kembali berdiri.
Lambat laun, Cassie terbiasa dengan kegiatan barunya. Hingga, Cassie harus hadir dalam ruangan rapat besar tempat beberapa orang duduk membahas kerja sama baru antara dua perusahaan. Cassie duduk di salah satu sisi meja, mengenakan setelan formal.
“Baik, karena kerja sama ini melibatkan kedua perusahaan, pihak dari perusahan sudah mengutus perwakilannya untuk mendampingi pengawasan awal proyek,” ucap seorang manajer proyek dari divisi luar negeri.
Cassie mencatat dengan cepat. Saat pintu terbuka, matanya terangkat secara refleks.
Reyhan masuk dengan langkah percaya diri. Jas gelap membalut tubuhnya yang sedikit lebih kurus dibanding terakhir Cassie lihat. Ketika pandangan mereka bertemu, waktu seolah berhenti sesaat.
“Reyhan...” gumam Cassie lirih, nyaris tak terdengar.
Reyhan sedikit terkejut, tetapi segera mengulas senyum tipis yang canggung. “Sudah lama, Cass.”
Cassie hanya bisa membalas dengan anggukan kecil. Adik iparnya tentu kembali pada saat yang tepat. Cassie memahami bila Bram tidak mungkin diutus untuk kerja sama kedua perusahaan. Ayahnya pasti sudah memastikan hal ini.
Mereka duduk saling berhadapan. Suasana rapat tetap berjalan profesional, tapi ketegangan emosional itu terasa di antara mereka—dua orang yang dulunya dekat karena keluarga, lalu berjauhan karena luka yang belum sembuh.
Setelah rapat selesai dan peserta mulai meninggalkan ruangan, Cassie hendak melangkah pergi, namun Reyhan memanggilnya.
“Cassie. Boleh bicara sebentar?”
Cassie berhenti. Menoleh, kemudian mengangguk. Mereka pindah ke lounge kantor yang lebih sepi.
“Aku nggak nyangka kita ketemu dalam situasi seperti ini,” ucap Reyhan pelan.
“Aku juga,” jawab Cassie datar. “Tapi hidup terus berjalan, Rey.”
Reyhan mengangguk, mengamati wajah Cassie dengan sorot mata yang tidak bisa ia sembunyikan. “Aku dengar semuanya... soal Bram, soal Raina.”
Cassie mengalihkan pandangan. “Aku nggak mau membicarakan itu sekarang.”
“Baik.” Reyhan menahan diri. “Kalau begitu, kita bicara soal kerja sama saja dulu.”
Cassie tersenyum kecil, lalu berjalan menjauh. Tapi di dalam hatinya, ada getaran kecil yang belum bisa ia kenali.
***
Di sebuah hotel tempat dulunya pelatihan kerja berlangsung, Bram sedang duduk di lobi sambil berbicara dengan salah satu staf kantor cabang yang ikut dalam perjalanan dinas saat itu.
“Kamu ingat dengan jelas, kan, siapa saja yang ikut waktu itu?” tanya Bram serius.
Staf itu mengangguk. “Iya, Pak. Kami semua satu kamar sesuai jadwal. Raina memang sempat pamit lebih dulu karena alasan kesehatan. Tapi setahu saya, dia langsung dijemput sopir hotel menuju rumah sakit malam itu. Tidak ada yang menginap bersama Anda.”
Bram mengangguk. “Ada bukti CCTV? Atau daftar shuttle yang bisa saya minta?”
“Ada, Pak. Saya bisa bantu minta ke pihak hotel.”
Bram menghela napas berat, setitik harapan muncul di matanya. Jika ia bisa mendapatkan bukti bahwa ia tidak pernah bermalam dengan Raina, maka ia punya dasar untuk membuktikan bahwa anak itu mungkin bukan anaknya.
Tapi ia tahu, waktu tak berpihak padanya. Cassie sudah menggantung hubungannya, dan perlahan, orang-orang di sekeliling Cassie mulai mengisi ruang yang seharusnya untuknya.
Termasuk... Reyhan.
***
Bersambung...
Terima kasih telah membaca...
Dan juga keluarga Adrian kenapa tdk menggunakan kekuasaannya untuk menghadapi Rania yg licik?? dan membiarkan Bram menyelesaikannya sendiri?? 🤔😇😇
Untuk mendapatkan hati & kepercayaannya lagi sangat sulitkan?? banyak hal yg harus kau perjuangan kan?
Apalagi kamu harus menghadapi Rania perempuan licik yg berhati ular, yang selama ini selalu kau banggakan dalam menyakiti hati cassie isteri sahmu,??
Semoga saja kau bisa mendapatkan bukti kelicikan Rania ??
dan juga kamu bisa menggapai hati Cassie 😢🤔😇😇
🙏👍❤🌹🤭
😭🙏🌹❤👍