NovelToon NovelToon
Dewa Pedang Asura

Dewa Pedang Asura

Status: sedang berlangsung
Genre:Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Tiandi

Di Benua Angin Dewa, di mana langit menjadi saksi lahir dan matinya para kultivator,
seorang pemuda fana bernama Liang Chen menapaki jalan yang tak seharusnya ditempuh manusia. Terlahir tanpa meridian, ia menolak menyerah pada takdir yang menutup gerbang menuju keabadian.

Namun di balik kehendak baja dan tekad yang murni, tersembunyi sesuatu yang lebih purba, warisan berdarah yang berdenyut di dalam jiwanya. Saat dunia menatap langit untuk mencari kekuatan, ia menemukan kekuatan itu di dalam gelap yang mengintai dirinya sendiri.

Perjalanan Liang Chen bukanlah pencarian keabadian, melainkan perjuangan melawan dirinya sendiri, antara manusia yang ingin tetap hidup… dan bayangan Asura yang menuntut untuk lahir kembali.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Saga 7: Darah yang Tumpah di Tanah Suci : Harga dari Keteguhan

Cahaya yang meledak dari serangan Elder Inti Berputar menelan langit, dan dalam sorot merah itu dunia seakan berhenti bernafas. Liang Chen berdiri kaku, tubuhnya tak mampu bergerak.

Setiap butir debu di udara terlihat jelas di matanya; setiap denyut darah di dadanya terdengar seperti dentang lonceng kematian.

Di antara cahaya itu, ia melihat sosok ayahnya bergerak. Tak ada teriakan, tak ada peringatan. Hanya langkah cepat yang lahir dari naluri seorang ayah yang tahu bahwa waktu telah habis.

Ayah menubruk Liang Chen dari samping, menyingkirkannya keluar dari jalur serangan.

Liang Chen terlempar ke tanah, napasnya hilang. Saat ia menoleh, kilatan merah dari serangan itu menghantam tubuh ayahnya. Tidak ada suara ledakan, hanya bunyi pendek seperti kain yang robek, diikuti kabut darah yang mengembang pelan.

Tubuh yang selama ini memeluk dan mengajarinya berdiri teguh kini terguncang, lalu ambruk.

Pedang Tumpul jatuh lebih dulu, menghantam batu dan mengeluarkan suara nyaring yang panjang, seolah dunia sendiri ikut meratap.

Liang Chen menatapnya tanpa bisa bersuara. Lidahnya kelu, tenggorokannya kering, seolah udara pun menolak berada di tubuhnya.

Api dari rumah-rumah yang terbakar memantulkan bayangan ayah di tanah, bayangan yang perlahan pudar.

Liang Chen merangkak, memanggil dengan suara serak, tetapi hanya angin yang menjawab. Setiap langkahnya terasa seperti menembus air yang berat. Ia sampai di sisi ayahnya, mengguncang bahunya, berharap tubuh itu masih menyimpan napas.

Mata ayah terbuka setengah. Senyum samar menghiasi wajah yang berlumuran darah. “Chen’er…” suaranya parau, seperti bisikan di antara retakan batu. “Jangan… biarkan mereka mengambil… apa pun darimu.” Lalu, tanpa gemetar, matanya menutup.

Dunia seolah runtuh tanpa suara. Liang Chen menunduk, meletakkan keningnya di tanah. Air matanya menetes, tapi panas darah di wajah ayahnya membuatnya menguap sebelum menyentuh tanah.

Dalam keheningan itu, waktu membeku di antara dua generasi: seorang ayah yang mati demi anaknya, dan seorang anak yang kehilangan separuh dirinya.

Di kejauhan, langkah kaki mendekat. Elder Inti Berputar berdiri tegak, jubah hitamnya bergetar lembut oleh energi spiritual yang belum padam.

Ia memandang tubuh ayah Liang Chen dengan pandangan hambar. “Fana selalu mengira cinta dapat menolak kekuatan,” katanya dingin. “Padahal cinta hanyalah rantai yang membuat mereka mati lebih cepat.”

Liang Chen tidak menjawab. Ia menatap tanah, jari-jarinya menggenggam Pedang Tumpul yang dingin. Dalam genggaman itu, ia merasakan nadi sendiri berdetak, memukul-mukul bilah logam.

Suara langkah lain terdengar. Ibunya berlari dari reruntuhan rumah, rambutnya kusut, pakaian terbakar di beberapa bagian. Ketika ia melihat tubuh suaminya, langkahnya goyah.

“Tidak…” bisiknya. Ia menutup mulutnya dengan tangan, lalu memandang ke arah Liang Chen. “Chen’er, bangun! Kita harus pergi!”

Namun Liang Chen tidak bergerak. Ia hanya menatap wajah ayahnya yang tenang dalam kematian, seperti batu di dasar sungai yang tak lagi melawan arus.

Elder itu menghela napas singkat, seperti bosan melihat drama fana. Ia mengangkat tangannya, memanggil kilatan energi hitam di ujung jarinya.

“Sudah cukup sentimentalitas. Artefak itu ada pada anak ini. Aku akan mengakhiri penderitaannya sekaligus mengambil apa yang kuinginkan.”

Cahaya di telapak tangannya berputar, menebarkan hawa panas yang menekan dada setiap makhluk di sana. Liang Chen masih berlutut, tidak beranjak, seolah tak lagi takut pada maut.

Tapi sebelum cahaya itu meluncur, ibunya berteriak dan berlari ke depan, berdiri di antara anak dan kilatan hitam itu.

Ia tidak membawa senjata, hanya sebatang kayu yang diambil dari puing. Ia mengangkatnya tinggi, meski tangannya gemetar hebat. “Cukup!” teriaknya. “Kalian telah mengambil segalanya! Jangan sentuh anakku!”

Elder menatapnya tanpa emosi. “Seorang wanita fana ingin menantang dewa?”

Cahaya hitam meluncur. Liang Chen berteriak memanggil ibunya, tapi suaranya tenggelam oleh gemuruh energi. Ledakan kecil mengguncang udara.

Ketika debu mereda, ibunya jatuh berlutut, dada terbuka oleh luka terbakar, namun matanya masih hidup, menatap ke arah Liang Chen, bukan ke arah pembunuhnya.

Ia tersenyum, darah mengalir di sudut bibirnya. “Chen’er… hiduplah.”

Tubuhnya roboh, dan api dari rumah di belakangnya menjilat kainnya, menutupnya dengan cahaya jingga yang lembut, seperti senja yang enggan pergi.

Liang Chen menatap tanpa suara, lalu menunduk. Tangannya menggenggam Pedang Tumpul hingga kulitnya robek, darahnya sendiri menetes di bilahnya.

Elder menurunkan tangannya perlahan, menatap anak itu dengan rasa ingin tahu yang baru. “Menarik. Tidak ada tangisan. Tidak ada lari. Hanya mata yang kosong.” Ia melangkah mendekat. “Mungkin inilah keteguhan yang disebut oleh manusia.”

Liang Chen berdiri dengan langkah gontai. Dunia di sekelilingnya kabur, seakan udara sendiri menolak bersuara. Api masih menyala di atap-atap rumah, tetapi baginya cahaya itu telah kehilangan warna. Ia hanya melihat merah, bukan warna kehidupan, melainkan warna akhir segalanya.

Elder Inti Berputar berhenti dua langkah di depannya. “Kau masih berdiri?” katanya perlahan. “Hebat juga ketahanan tubuhmu.” Ia menatap Liang Chen dari kepala hingga kaki, seolah menilai barang antik. “Warisan di dalam tubuhmu melindungimu, rupanya. Maka biar kuambil dengan cara yang lebih halus.”

Liang Chen tidak menjawab. Ia menggenggam Pedang Tumpul dengan kedua tangan, tapi bilah itu berat seperti batu. Setiap tarikan napas terasa seperti menelan bara.

Dalam pandangan matanya yang kabur, ia masih bisa melihat dua sosok di tanah: ayah dan ibunya, berbaring berdekatan, wajah mereka tenang seperti tidur.

Elder mengangkat tangannya, membentuk segel rumit di udara. Cahaya hitam berputar di sekelilingnya, menciptakan pusaran kecil di tanah. “Teknik Penyelam Inti,” gumamnya, “jurus untuk menyingkap rahasia tubuh. Mari kita lihat seberapa dalam artefak itu bersembunyi.”

Energi itu meluncur ke arah Liang Chen. Udara memekik, seolah langit menolak. Serangan itu menembus dadanya tanpa darah, tetapi meninggalkan jejak cahaya hitam yang membakar kulitnya dari dalam. Liang Chen terhuyung, tubuhnya membungkuk seperti batang padi diterpa angin.

Rasa sakit itu bukan milik manusia. Panas dan dingin bertemu di tengah dadanya, menciptakan letusan halus yang membuat tulangnya bergetar.

Ia terjatuh ke tanah, suaranya pecah di tenggorokan. Namun dari luka itu, bukan darah yang mengalir, melainkan semburat merah gelap, seperti kabut tipis yang bergerak sendiri, hidup dan bernafas.

Elder mundur setapak, terkejut. “Benar-benar artefak Asura,” katanya perlahan. “Aku bisa merasakan kebencian dan kehancuran di dalamnya. Tapi…

mengapa tidak keluar?” Ia mencondongkan tubuhnya, mencoba menarik aura itu dengan tangan. Namun setiap kali jarinya mendekat, semburat merah itu menolak, menelusup kembali ke dalam tubuh Liang Chen.

Elder mendengus. “Keras kepala.” Ia menguatkan energi spiritualnya, membentuk bilah hitam tipis di ujung jarinya. “Kalau begitu, aku akan membuka tubuhmu hingga artefak itu tak punya tempat bersembunyi.”

Ia menebas ke bawah. Liang Chen memutar tubuhnya dengan sisa kekuatan terakhir, mengangkat Pedang Tumpul untuk menangkis. Suara logam dan energi bertabrakan; bilah Pedang Tumpul terbelah sebagian, tapi tidak patah.

Guncangan itu membuat Liang Chen terpental, dadanya berdarah. Ia jatuh berlutut, matanya tetap menatap lurus ke arah Elder tanpa kata.

Elder terdiam sesaat, lalu tertawa pendek. “Lihatlah dirimu. Tubuhmu hancur, namun kau masih menatapku seperti ingin melawan. Warisan itu jelas memilih wadah yang keras kepala.” Ia menunduk, menatap liang luka di dada anak itu. “Sayang sekali, aku tidak punya waktu bermain dengan mayat hidup.”

Ia menatap sekeliling. Desa yang dulu hijau kini hanyalah arang dan asap. Tidak ada suara, hanya gemeretak api dan tangisan samar yang tak lagi jelas asalnya. Elder menghela napas panjang.

“Semua sudah berakhir. Aku akan kembali setelah artefak ini matang. Saat itu, anak ini tidak akan lebih dari cangkang kosong.”

Ia melangkah menjauh, meninggalkan Liang Chen yang tergeletak di tanah. Angin membawa jubah hitamnya berkibar, menebarkan abu di udara. Ketika ia lenyap di balik kabut, hanya keheningan yang tersisa.

Liang Chen mencoba bergerak, tapi tubuhnya tak lagi mau menuruti. Dadanya berlubang kecil, darahnya mengalir lambat ke tanah yang retak. Napasnya terputus-putus. Setiap tarikan napas terdengar seperti sayatan. Namun matanya tetap terbuka, menatap langit yang mulai kelabu.

Ia ingin menangis, tapi air mata tidak keluar. Yang tersisa hanyalah keheningan yang tebal, seakan dunia telah menjauh darinya. Dalam pikirannya, suara ayahnya bergema: Keteguhan, ingat itu… lalu suara lembut ibunya menyusul: Hiduplah…

Kata-kata itu berputar di kepalanya, menjadi satu dengan denyut pelan jantungnya. Ia tidak tahu apakah ia masih hidup atau sudah di ambang kematian. Di langit yang berasap, burung-burung hitam berputar perlahan, seolah menandai akhir dari sebuah zaman kecil.

Seketika itu juga Liang Chen tersadar, dirinya kini sendirian di dunia. Tak ada tangan yang bisa menggenggamnya, tak ada suara yang memanggil namanya. Hanya bau darah yang kental dan rasa besi di lidahnya. Ia menutup matanya perlahan, membiarkan gelap menelan pandangan.

Tanah di bawah Liang Chen terasa hangat oleh darahnya sendiri. Angin pagi yang lembut seperti tak berani menyentuhnya, seakan dunia pun berduka atas kebisuan yang turun di Desa Hijau. Api perlahan padam, meninggalkan arang hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Di antara reruntuhan rumah dan tubuh yang tergeletak, Liang Chen menjadi satu-satunya yang masih bernafas, meski napasnya nyaris tak terdengar.

Ia tidak tahu berapa lama ia terbaring di sana. Matahari sudah naik, tapi sinarnya kelabu, terhalang kabut tebal dan sisa asap. Burung-burung tidak berkicau, serangga pun membisu. Hanya bunyi angin yang lewat di antara pepohonan kering, membawa sisa abu dan aroma besi.

Liang Chen menatap langit. Warna birunya memudar, berganti abu pucat seperti wajah orang mati. Di sudut pandangnya, Pedang Tumpul tergeletak di tanah, bilahnya patah sebagian, tapi masih memantulkan cahaya tipis.

Ia berusaha merangkak mendekat, namun tubuhnya kaku, tulangnya terasa retak setiap kali bergerak. Darah menetes dari luka di dadanya, membentuk jalur tipis di tanah yang retak.

Saat tangannya menyentuh bilah pedang itu, dunia terasa sedikit lebih nyata. Ia menarik napas pendek, lalu memeluknya, menempelkan keningnya ke logam dingin yang dulu pernah dipegang ayahnya. Tidak ada kata-kata, tidak ada doa, hanya napas yang semakin pendek.

Dalam kehampaan itu, sebuah suara halus terdengar di telinganya. Awalnya samar seperti bisikan angin, lalu semakin jelas.

Apakah kau merasakan kehilangan itu, anak manusia?

Liang Chen tidak menjawab. Suara itu tidak berasal dari luar, melainkan dari dalam dadanya, dari tempat yang sama di mana cahaya merah pernah muncul.

Keteguhanmu tidak menolong mereka. Cintamu hanya memberimu luka. Dunia ini menolakmu, bahkan Langit pun menutup gerbangnya. Mengapa masih diam?

Ia mencoba menggerakkan bibirnya, tapi tidak ada suara yang keluar. Air mata akhirnya mengalir, perlahan, menuruni pipinya yang dingin.

Suara itu semakin dekat, lembut namun menggigit.

Aku bisa memberimu kekuatan. Bukan belas kasihan, bukan harapan palsu dari Langit. Hanya kekuatan yang lahir dari darah dan kemarahan. Bukalah pintu itu, dan dunia akan berlutut di bawah pedangmu.

Liang Chen menggigil. Ia ingin menolak, tapi tubuhnya lemah. Di pikirannya muncul wajah ibunya, tersenyum lembut di bawah cahaya lampu minyak. Suara lembutnya menggema: Jangan hilangkan cahayamu…

Namun di sisi lain, bayangan ayahnya muncul, berdiri tegak dengan tangan yang berlumuran darah, menatapnya dengan mata keras. Keteguhan… bertahan sampai akhir… bahkan bila langit mematahkanmu.

Kata-kata itu beradu dalam benaknya. Liang Chen berusaha menarik napas, tapi udara terasa berat, seperti diisi oleh racun. Tiba-tiba luka di dadanya berdenyut, bukan dengan rasa sakit, melainkan dengan panas yang membara.

Dari dalam dirinya, energi asing bergerak pelan, seperti ular yang baru bangun dari tidur panjang.

Tanah di sekitarnya mulai retak lagi. Garis-garis merah muncul di antara celah batu, membentuk pola yang samar-samar berputar ke arah dirinya.

Udara bergetar lembut, dan matahari yang tadi kelabu kini memantulkan warna merah tua di permukaannya.

Liang Chen membuka matanya. Pandangannya buram, tapi di tengah kabut ia melihat dua sosok kabur, ayah dan ibunya, berdiri jauh di ujung jalan desa, tersenyum, lalu memudar seperti debu diterpa angin.

“Jangan pergi…” bisiknya. Suaranya nyaris tak terdengar, tetapi dunia menjawab dengan hembusan angin dingin yang menerpa wajahnya.

Sekali lagi suara itu datang, kini lebih dalam, berat, dan tak terbantahkan.

Aku tidak akan memintamu memaafkan dunia. Aku hanya memberimu pilihan. Tetaplah menjadi debu, atau bangkit sebagai badai.

Liang Chen memejamkan mata. Di antara rasa sakit dan kehilangan, sesuatu di dalam dirinya retak. Keheningan berubah menjadi nada rendah, seperti gemuruh dari bawah tanah. Cahaya merah gelap mulai berputar di dalam pupilnya.

Angin yang tadi tenang berubah menjadi pusaran, mengangkat abu dan debu ke udara. Pedang Tumpul di tangannya bergetar keras, mengeluarkan suara halus seperti tangisan besi yang direndam api.

Liang Chen menggigit bibirnya hingga berdarah, menahan teriakan yang ingin pecah.

Dari dalam dadanya, aura merah gelap merembes keluar, menari di udara seperti kabut berdarah. Suara itu berbicara sekali lagi, kali ini dengan nada yang tidak bisa dibedakan apakah perintah atau takdir.

Bangkitlah, Liang Chen.

Dunia telah mengambil cahaya darimu. Kini giliranmu menebas kegelapannya.

Liang Chen membuka matanya perlahan. Pupilnya kini memantulkan cahaya merah samar, berdenyut seperti api yang menunggu bahan bakar.

Namun sebelum kekuatan itu benar-benar bangkit, tubuhnya kehilangan tenaga. Ia terkulai ke tanah, napas terakhirnya terdengar seperti hembusan angin yang pergi terlalu cepat. Dunia kembali tenang.

Di langit, awan bergerak lambat menutupi matahari. Di tanah, Pedang Tumpul yang setengah patah berdiri tegak di antara abu, menandai tempat di mana darah terakhir keluarga itu tumpah.

Dan dari dalam bumi yang hangat oleh darah, denyut samar terdengar,lambat, tapi nyata, seperti jantung yang belum berhenti berjuang.

Keteguhan… belum mati.

1
Nanik S
💪💪💪
Nanik S
Lanjutkan 👍👍👍
Nanik S
Hadir
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Tiandi: terimakasih udah mampir kak
total 1 replies
[ZH_FELRIX]™√
semangat berkarya kaka 😄
[ZH_FELRIX]™√: iyah sama sama kaka baik 😄
total 2 replies
Tiandi
Halo semuanya. Saya berharap kalian tidak merasa bosan ketika membaca Dewa Pedang Asura. Bagi pembaca yang belum terbiasa dengan novel berdurasi panjang, jumlah kata setiap bab yang berkisar antara 1500–2500 mungkin terasa melelahkan, terutama karena alurnya bergerak dengan ritme yang cukup tenang. Namun, gaya penyajian tersebut memang mengikuti outline dan struktur arc cerita yang telah saya rancang sejak awal.

Jika ada yang bertanya apakah novel ini layak dibaca, jawabannya kembali pada selera masing-masing pembaca. Saya tidak bisa menyebut karya ini bagus bagi semua orang, karena setiap orang memiliki preferensi yang berbeda. Karena itu, saya menyarankan kalian untuk mencoba membaca beberapa bab terlebih dahulu, lalu tentukan sendiri apakah ingin melanjutkan atau tidak.

Jika kalian merasa ceritanya kurang sesuai dengan selera, saya sepenuhnya memahami. Namun jika kalian menikmati perjalanan cerita ini, saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas dukungan kalian.

Sekian pesan dari saya.
Selamat membaca, dan semoga kalian menikmati perjalanannya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!