“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 15
“Bereskan pakaian kalian, malam ini menginap di rumahku.”
“T-tapi—”
“Jangan membantah! Apa kau masih mau keras kepala setelah apa yang terjadi barusan? Rumah ini terlalu berbahaya untukmu dan Anne!” sergah Petter cepat.
Sulastri tertunduk sejenak, ia kemudian menatap Petter dengan wajah sendu. “Saya hanya ingin mengobati luka Meneer sebentar.”
Petter menelan ludah pelan, tatapannya menyapu sekitar. “Biar Anderson saja yang mengobati,” sahutnya, gugup.
Mbok Sum yang melihat kecanggungan kedua orang itu turut menimpali. “Sudah sana, kalian pergi lebih dulu, si Mbok beres-beres sebentar sekalian nunggu Pak No.”
“Biar Lastri bantu, Mbok?” sahut Sulastri saat melihat Mbok Sum membawa setumpuk pakaian yang baru di cucinya pagi tadi.
“Tidak usah, sudah sana cepat ikut pulang Meneer,” ujar Mbok Sum sembari menunjuk Petter yang sudah berjalan keluar.
Sulastri menurut, dia kemudian mengikuti Petter yang sudah membukakan pintu mobil untuknya. Laki-laki itu dengan hati-hati memindahkan Anne yang sudah tertidur pulas ke pangkuan Sulastri.
Mbok Sum menghela napas lega, menatap teduh mobil yang mulai berjalan pelan. Wanita sepuh itu kemudian kembali ke dalam rumah, membereskan beberapa pakaian dan barang yang dibutuhkan.
Tak lama Sumarno atau Pak No—suami Mbok Sum pulang dari kebun.
“Mbok!” panggil Pak No dari belakang rumah.
Mbok Sum yang mendengar kedatangan sang suami segera menghampiri seraya membukakan pintu.
“Tumben sekali pintu dikunci? Nduk Lastri belum pulang?” tanya Pak No begitu masuk rumah. “Itu aku bawakan mlandingan (pete cina), jare pengen bikin botok mlanding,” lanjutnya.
“Tanya itu satu-satu Pak! Jangan nyrocos saja,” protes Mbok Sum, kesal.
Pak No tersenyum kikuk, lalu meraih ceret air minum di atas meja. “Kok tumben pintu belakang dikunci, Wong ayu?” ulangnya.
“Takut ada tamu tak diundang lagi,” jawab Mbok Sum.
“Maksudmu opo, to?”
Mbok Sum menarik napas dalam, masih ada sedikit ketakutan dipikirannya. “Heh, tadi suaminya Lastri tiba-tiba datang mau menjemput paksa Lastri dan Anne. Un—”
Pak No seketika menegakkan badan, tatapannya berubah tajam. “Terus sekarang mereka dibawa?!” selanya cepat.
Mbok Sum berdecak kesal. “Uwong itu denger dulu kalo orang cerita, jangan asal potong!”
Pak No menepuk-nepuk pundak Mbok Sum pelan, seraya tersenyum canggung. “Maaf-maaf, jangan galak-galak to, Nimas Sumiatiku? Terus sekarang gimana keadaan mereka?”
“Di boyong Petter ke rumah utama. Untung dia dateng tepat waktu kalau tidak bisa mati berdiri aku,” jelas Mbok Sum. “Wes kono cepet bersih-bersih, Pak. Gek kerumah utama, Anne sebentar lagi waktunya mandi, kasian Lastri kerepotan nanti.”
Pak No pun bernapas lega, kemudian beranjak dari tempatnya. Baru saja laki-laki sepuh itu ingin meraih handuk, Mbok Sum kembali bicara. “Petik kelapa muda dulu, Pak. Buat bikin botok di rumah sana.”
Di mobil yang sedang melaju pelan, Petter dan Sulastri saling diam-diaman. Kurang dari tiga puluh menit mereka sampai rumah utama. Petter dengan sigap kembali membukakan pintu, lalu mengambil Anne untuk dibawanya masuk ke kamar.
Pemandangan bak pasangan suami istri itu sontak mencuri perhatian para pekerja di kebun belakang.
Surti yang pertama kali melihat, menoel caping Darmi yang berjongkok di depannya. “Eh, liat itu. Wedok'ane sudah muncul lagi,” bisiknya.
Darmi sontak mendongak disusul beberapa orang yang juga menyadari kedatangan Meneer mereka.
“Aleman'e, to, mudun dari mobil saja minta dibukakan pintu,” celetuk Siti.
Marni yang berjarak satu meter dari krumunan lain, sontak berdiri. Tangannya mengepal, matanya melirik sinis. “Gayanya sudah kaya Nyonya, padahal sama saja gedibal(babu).”
Darmi mengggeleng pelan sembari menghela napas kasar. “Guna-guna apa yang dipakai wanita itu, sampai Meneer klepek-klepek?”
Siti yang anak seorang dukun menimpali dengan tatapan menyelidik. “Mungkin pengasihan atau jaran goyang, jare bapakku dua ilmu itu yang sering dipakai untuk melet orang.”
“Bisa jadi,” sahut Surti.
“Aku pernah melihat si gundik itu membakar kemenyan kasturi di kamarnya waktu jum’at pon, mungkin sedang ritual. Waktu itu juga Meneer pas tidak ada di rumah,” balas Marni, mulai menebar fitnah.
Darmi sontak terbelalak, tangannya bertepuk kecil. “Aku inget sekarang!” serunya, “Pas baru semingguan dia di sini kalau tidak salah, kang Darpito ‘kan mengantar pesanan rumput untuk marmutnya Pak dokter, dia melihat si Sulastri itu umik-umik(gerakan mulut yang berulang dan tanpa suara) di depan jendela sembari memegang segelas kopi.”
Marni melirik kanan-kiri, “Amit-amit jabangbayik, kok bisa, menghalalkan segala cara demi jadi gundik!”
“Bisa saja, bahkan memecatmu pun bisa kalau dia mau,” suara dingin Broto mengejutkan kerumunan para biang gosip.
Seketika suasana sedikit menegang, Broto dengan wajah bringas dan kupis tebal menghampiri sembari berkacak pinggang.
“Kalau kalian masih saja bergunjing tentang Nyonya, bukan hanya rumput yang aku cabut, tapi rambut kalian, biar terang pikirannya!” geram laki-laki itu setengah mengancam.
Para biang gosip pun kembali merunduk, sebagian menyelesaikan di tempat mereka berdiri, sebagian memilih bergeser, menjauh dari tatapan tajam Broto.
Sementara itu di dalam rumah, Sulastri berdiri dengan gelisah. dia terus berjalan mondar-mandir di depan pintu ruang kerja Petter.
Samar terdengar suara Petter menyuruhnya masuk. “Masuklah, suara teklekmu(sendal dari kayu) bisa mengganggu tidur Anne nanti!” seru laki-laki itu.
Dengan ragu Sulastri memutar gagang pintu, wajahnya yang pucat pasi memancing tawa nakal dari Anderson.
“Kau tidak perlu sekhawatir itu, Nyonya, ini hanya luka kecil untuk si keras kepala,” godanya.
Petter berdecak kasar sembari memelengoskan wajah.
“Aku sudah mengobatinya, kalau tidak keberatan kau bisa membantu mengompresnya dengan air es,” ujarnya sembari memberikan bundelan batu es pada Sulastri.
“Aku bisa sendiri!” sela Petter.
Anderson melirik sekilas, bibirnya menahan tawa. “Lukamu itu butuh tangan yang hangat dan lembut untuk menghindari peradangan, kalau tangan dinginmu sendiri yang mengompres bisa jadi semakin bengkak nanti,” jelasnya, sengaja mencari alasan.
Sulastri kemudian mengambil bundelan batu es yang disodorkan Anderson, berniat mengompres wajah Petter. Namun, laki-laki itu malah memilih berjalan keluar ruangan.
“Menn—”
“Mengompresnya di kamarmu saja, kasian Anne sendirian di sana,” sela Petter.
Sontak hal itu membuat Anderson tertawa girang, Dokter paruh baya itu sampai bertepuk tangan saking tidak menyangka dengan apa yang di dengarnya.
“Jadi, sedari tadi kau malu-malu karena ada aku? baik-baik, aku akan pergi,” ujarnya sembari membereskan peralatan yang dia bawa.
Petter tak mengindahkan ledekan dari sahabat papanya itu, dia memilih berjalan cepat menuju kamar Anne yang berada dua ruangan di samping ruang kerjanya. Disusul Sulastri yang melangkah gontai di belakangnya.
Sesampainya di kamar, Sulastri dengan hati-hati mengompres sudut bibir Petter yang pecah, sesekali laki-laki itu meringis menahan perih.
“M-maaf, karena saya, Meneer jadi terluka begini,” lirihnya pelan.
Petter tersenyum lugas, tatapanya tegas. “Bukan salahmu, aku saja yang kurang waspada,” sahutnya menenangkan.
Sulastri mengerutkan alisnya, menatap iba seolah turut merasakan sakitnya. “Tapi, bagaimana bisa sampean kembali lagi?” tanyanya kemudian.
Petter menegakkan duduknya, sudut bibirnya terangkat tipis. “Aku sudah tau laki-laki itu mengikuti kita sejak pulang dari kota. Aku pikir suamimu itu cukup berani bertemu denganku, ternyata tak lebih dari pecundang kelas teri.”
“Dia sudah bukan suami saya!” sahut Sulastri, ketus.
“Apa kau sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu? Kau tidak akan menyesal di kemudian hari?”
Sulastri mengangguk mantap. “Apa yang harus di sesali dari laki-laki seperti itu?”
“Entahlah, mungkin saja kau masih … akhh!” pekik Petter saat Sulastri dengan sengaja menekan sedikit keras kompresannya.
Sulastri menatap tajam, bibirnya tersungging tipis —senyum yang dipaksakan.
Semilir angin dari jendela membuat Petter terhanyut pada suasana yang begitu hangat, laki-laki itu menatap Sulastri, lekat, mengunci—seolah mata mereka saling berbicara. Tanpa sadar jarak wajah mereka semakin terkikis hingga kurang dari sejengkal.
Keduanya masih saling menatap saat tiba-tiba Mbok Sum berdiri canggung di ambang pintu yang setengah terbuka.
Wanita sepuh itu seketika terbelalak, tangannya menutup mulut yang melongo—tak percaya.
“M-maaf, si Mbok salah kamar, aduh …,” ucapnya canggung, namun ada segaris senyum bahagia di dalamnya.
Sulastri lekas beranjak dari duduknya, matanya bergerak cepat mencari sesuatu. “Eh … anu, Meneer lanjutkan sendiri saja, saya mau menyiapkan air untuk mandi Anne,” ucapnya dengan suara bergetar, gugup—campur malu.
Petter mengaruk tengkuknya yang tak gatal, ia mengangguk pelan sembari tersenyum tipis.
Sementara itu, di luar jendela Marni menggertakkan giginya, sedari tadi wanita itu mengawasi pergerakan Sulastri dari halaman.
“Dasar perempuan murahan, lihat saja aku akan menghancurkanmu!”
Bersambung.
Petter Van Beek