Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 - MENCARI JAWABAN TENTANG ZAINE (2)
Robot Zaine menyambut serangan Revan dengan cepat, menghindari pukulan pertama dan membalas dengan tendangan memutar yang nyaris mengenai kepala Revan. Namun, Revan berhasil menunduk tepat waktu dan meninju bagian samping tubuh robot itu.
DENT!
Bukannya membuat robot Zaine mundur, pukulan Revan justru terasa seperti menghantam baja murni. Tangannya berdenyut kesakitan.
"Sial… ini nggak bakal mudah," gumamnya.
Sementara itu, Emma dengan tangan gemetar mulai mengutak-atik panel kontrol di sudut ruangan. Jarinya menari di atas keyboard, mencoba meretas sistem yang mengendalikan robot Zaine.
"Riko, lu harus bantu gue ngulur waktu!" teriaknya.
Riko mengangguk dan langsung bergerak, meraih besi panjang yang tergeletak di lantai lalu mengayunkannya ke arah robot Zaine.
CRACK!
Besi itu menghantam bahu robot, menciptakan percikan api, tapi robot Zaine tidak menunjukkan tanda-tanda melemah. Justru, ia menoleh ke Riko dengan mata merah yang semakin bersinar terang.
"Target kedua terdeteksi."
Dalam sekejap, robot itu menyerang Riko dengan kecepatan luar biasa. Riko berusaha menghindar, tapi ia tidak cukup cepat.
DUGG!
Pukulan keras menghantam perutnya, membuatnya terlempar ke belakang dan menghantam rak besi. Riko meringis, berusaha bangkit meski rasa sakit menjalar di tubuhnya.
"Emma! Cepetan!" teriaknya.
Emma menggigit bibirnya, berkeringat dingin. "Sial… sistemnya lebih rumit dari yang gue kira!"
Revan, yang melihat situasi semakin buruk, langsung menarik napas dalam dan nekat menyerang robot Zaine lagi. Kali ini, ia memanfaatkan kecepatan dan refleksnya untuk menghindari setiap serangan balik robot itu.
Namun, robot Zaine bukan lawan yang mudah. Ia mulai menyesuaikan serangannya, membaca pola gerakan Revan, dan saat Revan mencoba melancarkan tendangan—
ZZTT!
Tangan robot Zaine menangkap kaki Revan dan mencengkeramnya dengan kuat.
"Mampus…"
Dalam satu gerakan brutal, robot itu melempar Revan ke udara sebelum menghantamnya kembali ke lantai.
BRAKK!
Revan terbatuk, rasa nyeri menjalar di seluruh tubuhnya.
Namun, tepat saat robot Zaine hendak menghabisinya
BIP
Panel kontrol berbunyi nyaring.
Emma menekan tombol terakhir dan berteriak, "GOTCHA!"
Mata robot Zaine berkedip. Gerakannya tiba-tiba berhenti, tubuhnya membeku di tempat.
Revan yang masih terbaring di lantai menoleh. "Lu berhasil?"
Emma mengangguk cepat, masih bernapas berat. "Iya… gue berhasil shut down sistemnya… buat sementara."
Riko berdiri dengan susah payah, menatap robot Zaine yang sekarang tidak bergerak. "Jadi, ini udah aman kan?"
Namun, sebelum mereka bisa menarik napas lega—
BZZT!
Tiba-tiba, seluruh ruangan bergetar. Panel kontrol mulai berkedip merah, dan suara Robert Marvolo kembali terdengar.
"Kalian pikir bisa semudah itu menghentikannya?" suaranya terdengar sinis.
Emma menatap layar dengan ngeri. "Oh, nggak… dia ngerestart sistemnya!"
Revan menggeram. "Kita nggak punya waktu! Kita harus pergi dari sini sekarang!"
Robot Zaine mulai bergerak lagi, mata merahnya menyala lebih terang dari sebelumnya.
Emma dengan panik membuka pintu keluar, sementara Riko membantu Revan bangkit.
"Kita harus lari!"
Tanpa pikir panjang, mereka bertiga langsung berlari keluar ruangan, meninggalkan robot Zaine yang baru saja kembali aktif.
Namun, mereka tahu satu hal pasti—
Mereka baru saja memulai perang yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.
Mereka berlari melewati lorong-lorong gelap gedung tua itu, napas tersengal saat suara langkah berat robot Zaine mulai mengejar dari belakang.
"Gawat, dia makin cepat!" teriak Riko sambil menoleh ke belakang.
Emma menekan tombol di gelang kecil di pergelangan tangannya. "Gue bakal coba nge-hack lagi, tapi kita butuh lebih banyak waktu!"
Revan menggertakkan gigi. "Nggak ada pilihan, kita harus keluar sebelum dia ngejar kita ke jalan!"
Saat mereka mencapai pintu keluar utama, tiba-tiba—
DENT!
Pintu baja besar di depan mereka tertutup otomatis.
"Astaga…" Emma mengutuk. "Robert nge-lock kita di sini!"
Revan mencoba menarik pegangan pintu, tapi tidak bergeming. Mereka terperangkap.
Dari belakang, suara robot Zaine semakin dekat.
"Target terkunci. Mode eksekusi diaktifkan."
Revan merasakan bulu kuduknya berdiri. Tidak ada jalan keluar.
Riko menoleh ke Emma. "Gimana? Bisa buka pintunya?"
Emma mengetik cepat di gelangnya. "Lagi gue coba… tunggu!"
BIP!
Tiba-tiba, seluruh lampu di gedung itu padam. Suara mesin mati, diikuti oleh keheningan yang mencekam.
Revan menegang. "Apa yang terjadi?"
Emma tampak bingung. "Bukan gue yang ngelakuin itu…"
Dari kegelapan, terdengar suara langkah pelan. Sesuatu… atau seseorang… ada di sini.
Tiba-tiba, lampu darurat berkedip lemah, cukup untuk memperlihatkan sosok di ujung lorong.
Seorang pria berdiri di sana, mengenakan mantel panjang, wajahnya sebagian tertutup bayangan.
"…Lama nggak ketemu, Revan."
Suara itu…
Revan membelalakkan mata.
"Darius?"
Emma dan Riko ikut menoleh, terkejut.
Darius, yang seharusnya sudah lumpuh, berdiri di depan mereka dengan ekspresi tenang.
"Keluar dari sini sekarang," katanya. "Aku yang akan mengurus robot itu."
Sebelum mereka sempat bertanya lebih lanjut, Darius melangkah maju. Dengan satu gerakan cepat, ia mengangkat tangannya—dan tiba-tiba, semua sistem di gedung itu langsung mengalami malfungsi. Robot Zaine yang hendak menyerang tiba-tiba membeku di tempat.
Mata merahnya berkedip, lalu padam sepenuhnya.
DUGG!
Robot itu jatuh ke lantai, tak bergerak.
Revan menatap Darius dengan bingung. "Apa yang lu lakuin?"
Darius hanya tersenyum tipis. "Bukan waktunya ngobrol. Pergilah sebelum Robert mengaktifkan sistem cadangannya."
Emma masih terlihat syok. "Tapi… gimana bisa lu berdiri ga pakai kursi roda?"
Darius menatap mereka satu per satu. "Aku akan jelaskan nanti. Sekarang pergi."
Revan ragu sejenak, tapi melihat kondisi mereka yang sudah kelelahan dan fakta bahwa mereka tidak punya pilihan lain, ia mengangguk.
"Baik… kita pergi."
Mereka bertiga bergegas keluar melalui pintu darurat yang Darius buka, meninggalkan gedung yang masih dipenuhi aura bahaya.
Saat mereka berlari menjauh, hanya satu hal yang ada di benak Revan.
Darius masih hidup. Dan itu berarti… semuanya baru saja berubah.
Mereka akhirnya berhasil keluar dari gedung tua itu dan bersembunyi di sebuah gang sempit beberapa blok jauhnya. Napas mereka masih terengah-engah, dada naik turun, dan keringat bercucuran.
Revan bersandar di dinding bata yang dingin, mencoba mengatur napasnya. Riko duduk di tanah, sementara Emma menatap layar gelangnya dengan ekspresi serius.
"Gue nggak bisa percaya ini," gumam Emma. "Darius... Dia masih bisa berdiri?"
Revan menatapnya, matanya penuh kebingungan. "Gue juga nggak ngerti, Emma."
Riko menyela. "Dan sekarang dia muncul entah dari mana, menyelamatkan kita? Ada sesuatu yang nggak beres."
Mereka bertiga terdiam. Pikiran mereka masih berputar dengan banyak pertanyaan.
Tiba-tiba, gelang Emma berbunyi pelan. Ia menatapnya, lalu mengerutkan dahi. "Ada pesan masuk."
Revan dan Riko mendekat.
Pengirim: Darius
"Kita perlu bicara. Besok malam. Lokasi akan dikirim nanti. Jangan ajak orang lain."
Revan membaca pesan itu berkali-kali. Ia masih sulit percaya bahwa Darius benar-benar kembali.
Riko menghela napas panjang. "Gimana nih? Kita datang?"
Revan menggigit bibirnya. "Kayaknya nggak ada pilihan lain."
Emma menutup gelangnya dan menatap mereka. "Kalau dia masih hidup, itu berarti kita selama ini hidup dalam kebohongan. Mungkin dia punya jawaban tentang apa yang sebenarnya terjadi."
Revan mengangguk. "Besok malam, kita cari tau kebenarannya."
Mereka bertiga akhirnya bangkit dan berjalan menjauh, meninggalkan gedung yang kini terasa lebih berbahaya dari sebelumnya.
Namun, di kejauhan, seseorang memperhatikan mereka dari balik bayangan. Sebuah suara pelan terdengar dari earpiece-nya.
"Target masih dalam permainan. Apa perintah selanjutnya?"
Sejenak, hanya ada keheningan.
Lalu, sebuah suara lain menjawab.
"Biarkan mereka. Untuk sekarang."