Indah, seorang gadis dari kampung yang merantau ke kota demi bisa merubah perekonomian keluarganya.
Dikota, Indah bertemu dengan seorang pemuda tampan. Keduanya saling jatuh cinta, dan mereka pun berpacaran.
Hubungan yang semula sehat, berubah petaka, saat bisikan setan datang menggoda. Keduanya melakukan sesuatu yang seharusnya hanya boleh di lakukan oleh pasangan halal.
Naasnya, ketika apa yang mereka lakukan membuahkan benih yang tumbuh subur, sang kekasih hati justru ingkar dari tanggung-jawab.
Apa alasan pemuda tersebut?
Lalu bagaimana kehidupan Indah selanjutnya?
Akankah pelangi datang memberi warna dalam kehidupan indah yang kini gelap?
Ikuti kisahnya dalam
Ditolak Camer, Dinikahi MAJIKAN
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
BRAKK!!
Akhirnya Resti tak lagi bisa membendung amarah ya. Sudah cukup selama ini dia diam, sekarang tidak lagi.
Gebrakan meja yang dia lakukan membuat kantin seketika hening. Semua mata tertuju padanya. Wajahnya memerah, dengan sorot mata yang berkilat, menyiratkan amarah yang telah lama terpendam.
Dengan tangannya yang terkepal erat, bangkit dari duduknya, keluar dari bangku dan berjalan mendekati Monica yang melangkah mundur. Jangan lupakan urat-urat di lehernya yang sedikit menonjol.
Rani berusaha mencegah, dia takut mereka akan berurusan dengan pihak sekolah dan orang tua Monica. Namun, Resti menepis tangan sahabatnya dengan gerakan cepat. Tidak lagi peduli apapun.
"Sudah cukup!" Suara Resti lantang, menggema di tengah kesunyian. Suaranya bergetar karena amarah yang menggebu. "Kalian semua pikir kalian siapa? Kalian seenaknya menghina aku, menghina keluargaku! Apa kalian tidak punya hati?"
Monica dan teman-temannya terdiam, terkejut oleh keberanian Resti yang tiba-tiba meledak. Mereka terbiasa dengan sikap pasif Resti dan teman-temannya, sehingga reaksi ini benar-benar di luar dugaan. Sonia berbisik pada Monica, "Dia... Kok dia berani melawan kita?"
Resti melangkah mendekati mereka, tatapannya tajam dan menusuk. "Selama ini kalian mengolok kemiskinan kami, dan aku hanya diam. Lalu sekarang Kalian mengolok-olok kakakku? Kalian bicara tentang kehamilannya seolah itu adalah aib? Apa kalian merasa diri kalian paling suci?"
Resti terus maju, dan Monica serta kawan-kawannya semakin mundur. “Kalian bahkan lebih menjijikkan daripada kakakku. Apa kalian pikir aku tidak tahu?” bisik resti di telinga Monica.
Bisikan Resti membuat Monica terkesiap. Apa maksudnya, apa yang dia tahu? Apakah...
"Setidaknya kakakku menikah karena dicintai!" Suara Resti semakin meninggi. "Dan kehamilannya, Kalian tidak tahu apa-apa. Tapi kalian hanya melihat dari sudut pandang sempit kalian! Apa karena kalian sering melakukan hal menjijikkan, lalu kalian menganggap kakakku sama dengan kalian?"
Tak pelak ucapan terakhir Resti membuat seisi kantin gempar. Apa maksudnya dengan Monica and the Geng yang melakukan hal menjijikkan. Suara-suara sumbang mulai terdengar seperti kumpulan lebah di sekelilingnya, membuat wajah Monica mengeras.
"Kalian mungkin kaya, kalian mungkin punya pakaian bagus dan hidup mewah. Tapi kalian miskin hati! Kalian miskin empati! Kalian hanya tahu menghina dan merendahkan orang lain! Sungguh memalukan!"
"Aku mungkin miskin, aku mungkin tidak punya apa yang kalian punya. Tapi aku punya harga diri! Dan aku tidak akan membiarkan kalian terus-menerus menginjak-injak harga diriku dan keluargaku!!" Resti menatap tajam Monica dan teman-temannya.
Monica dan teman-temannya terpaku, tak mampu membalas ucapan Resti. Mereka baru melihat untuk pertama kalinya Resti berani melawan. Bahkan Rani dan Dinda, yang semula ketakutan, kini menatap Resti tak percaya. Tapi mereka bangga, Resti berani melawan.
Suasana tegang, beberapa siswa tampak mulai berbisik-bisik, mengomentari keberanian Resti. Beberapa dari mereka bahkan mulai bersimpati pada Resti dan teman-temannya. Tetapi ada juga yang mulai bertanya-tanya tentang apa yang tadi diucapkan Resti soal Monica dan gengnya.
Monica dan gengnya, yang biasanya menjadi pusat perhatian, terdiam, kalah telak oleh kemarahan dan keberanian Resti yang selama ini mereka remehkan.
Sekejap kemudian, Monica tersentak dari diamnya. Pipinya memerah. Malu sekaligus marah. Harga dirinya sebagai the most famous terluka. Ia tidak terima diremehkan oleh Resti, gadis miskin yang biasanya hanya menunduk diam.
"Kau berani melawan aku?" Monica mengepalkan tangannya, suaranya bergetar karena emosi. Ia menegakkan tubuhnya menghadang keberanian Resti. "Kau pikir kau siapa? Kau hanya anak kampung miskin yang beruntung punya kakak yang menjual dirinya untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik! Dasar perempuan murahan!"
Sebenarnya bukan hanya karena Resti yang berani melawan, yang menbuat Monica geram. Tapi juga ucapan Resti sepertinya mengetahui rahasianya.
Ucapan Monica menusuk seperti pisau. Resti merasakan darahnya mendidih. Ia tidak bisa menahan amarahnya lagi. Dia memang manja. Dia memang egois dan terkadang ingin menang sendiri. Tapi dia juga tidak akan rela jika ada yang menghina kakaknya. Kakak yang selama ini selalu mengalah dan berusaha menuruti semua keinginannya.
"Cukup!" Resti membentak, suaranya bergetar hebat. "Jangan lagi menghina kakakku! Kau tidak berhak!" Ia mendorong bahu Monica, membuat gadis itu terhuyung ke belakang.
"Kau berani mendorongku?!" Monica melotot, tak percaya dengan keberanian Resti. Ia langsung membalas dengan mendorong Resti. Perkelahian pun tak terelakkan lagi. "Kita lihat siapa yang akan menang!" seru Monica.
Kedua gadis itu saling dorong, saling pukul. Rambut mereka bahkan sudah tak berbentuk, seragam mereka kusut. Kantin yang tadinya hening, kini ramai dengan suara teriakan dan jeritan. Beberapa siswa ingin mencoba melerai, namun mereka takut ikut terkena imbasnya. Monica, yang lebih tinggi dan lebih kuat, berhasil menjatuhkan Resti ke lantai.
Monica mencengkeram rambut Resti, menariknya hingga gadis itu meringis kesakitan. "Aku akan membuatmu menyesal!" Suara Monica penuh kebencian. Tangannya terayun, bersiap melayangkan pukulan ke wajah Resti. "Rasakan ini!"
Namun, sebelum pukulan itu mengenai sasaran, sebuah tangan menahan lengan Monica. Rani dan Dinda, yang semula hanya menonton, kini ikut campur. Jika Resti berani melawan, mereka juga harus berani membela temannya itu. Mereka menarik Monica hingga terjengkang lalu membantu Resti berdiri.
"Monica!" Rani membentak, suaranya bergetar karena takut, namun tetap tegas. "Kau sudah semakin keterlaluan! Berhenti! Kau menggunakan kekuasan orang tuamu untuk menindas teman!"
Dinda memegangi Resti, mencoba menenangkannya. "Resti, sudah… kita pergi dari sini." Tapi Resti menepis tangan Dinda. Dia masih belum puas.
Monica semakin marah karena Rani dan Dinda ikut membantu Resti. Maka dia menyuruh teman-temannya untuk membantu. Perkelahian semakin sengit. Kain seragam mereka robek, wajah memar dan ada juga bekas cakaran.
Seorang guru, dengan wajah panik, memisahkan mereka. "Sudah! Berhenti!” Guru BP berteriak sambil menarik tubuh Resti dan mencoba menghalanginya dari amukan Monica. Kalau tetap dibiarkan, jelas resti yang kalah, karena dilihat dari ukuran tubuhnya saja sudah kalah dari Monica. “Kalian berdua ikut saya ke ruang kepala sekolah!"
Guru BP sedang sibuk dengan berkas absensi, serta mengatur berkas untuk kegiatan ekstra kurikuler, ketika seorang siswi melaporkan adanya perkelahian antar siswi.
Di ruang kepala sekolah.
Kepala sekolah, menatap mereka dengan wajah serius. "Jelaskan apa yang terjadi!"
Monica, dengan penuh percaya diri, berkata, "Dia yang memulai, Pak. Dia tiba-tiba saja menyerang saya."
"Itu tidak benar!" bantah Resti. "Dia dan teman-temannya selalu menghina saya dan keluarga saya!"
Pak Budi menghela napas. "Monica, apa yang dikatakan Resti benar?"
Monica dengan lantang menjawab, “Tidak, Pak. Itu tidak benar. Itu fitnah. Dia yang lebih dulu memukul saya.”
Kepala sekolah beralih menatap Resti. "Resti, apa yang akan kau katakan?"
"Saya memang memukulnya duluan, tapi itu karena saya membela diri dan keluarga saya, Pak," jawab Resti dengan suara bergetar. "Mereka selalu mengejek kami karena kami miskin."
Kepala sekolah menghela napas panjang. "Baiklah, saya sudah mendengar keterangan kalian. Keputusan saya adalah... Monica, kamu saya bebaskan dengan peringatan. Dan Resti, kamu diskors selama tiga hari. Setelah itu bawa orang tuamu ke sekolah untuk bertemu denganku."
"Tapi Pak, itu tidak adil!" protes Resti.
"Saya sudah memutuskan," bentak kepala sekolah tegas. "Ini keputusan final. Pulang! Dan jangan lupa setelah tiga hari masa skorsing, suruh orang tuamu menghadap!"
Resti hanya bisa menunduk, air mata menggenang di matanya. Ia merasa sangat kecewa dan tidak adil. Ia meninggalkan ruang kepala sekolah dengan perasaan hancur.
Bukan hanya sanksi skorsing yang dia sesalkan. Tapi, bagaimana caranya dia harus memberitahu kedua orang tuanya. Selama ini mereka tidak tahu kalau dirinya menjadi korban buly, lalu sekarang tiba-tiba dipanggil karena dia terlibat perkelahian.
Dalam hati dia menyesal karena terpancing oleh provokasi Monica dan kawan-kawan. Andai saja tadi dia mendengar kata-kata Dinda dan Rani, ini pasti tidak akan terjadi. Tapi dia juga tidak bisa diam mendengar kakaknya dihina. Lalu sekarang dia harus bagaimana?
bukan rama
tapi sama aja sih😅😅