Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 – Ketika Tatapan Tak Bersuara
Begitu lift berhenti di lantai sepuluh, pintunya terbuka dengan suara ding pelan yang tidak sebanding dengan ketegangan yang menyambut di luar. Lorong itu—biasanya tenang, dipenuhi suara printer dan langkah kaki para staf HR—kini berubah menjadi lautan orang yang berdiri berkerumun di depan ruang interview, wajah-wajah mereka dipenuhi kekhawatiran dan kebingungan, bisik-bisik kecil menyebar seperti arus listrik yang gagal diamankan.
Dan ketika Langit, Papi Arga, dan Reno melangkah keluar dari lift, kerumunan itu terdiam seketika. Semua kepala menoleh. Semua suara tenggelam. Dan hampir refleks, semua orang memberi jalan tanpa diminta—seperti air yang tersibak oleh kapal besar yang melintas.
Karena yang datang bukan karyawan biasa, bukan supervisor, bukan manajer.
Yang datang adalah:
Langit Atmaja — CEO, dingin, presisi, dengan aura yang membuat udara terasa tegang.
Arga Atmaja — Chairman, wibawa yang membuat siapa pun ingin berdiri lebih tegak.
Reno Bastian — tangan kanan sang CEO, yang wajahnya saja sudah mengatakan bahwa situasi ini tidak sederhana.
Mereka bertiga melangkah cepat menyusuri koridor, langkah mereka berat dan penuh tujuan. Tidak ada satu pun yang berani menghalangi. Bahkan tatapan pun orang-orang tahan.
Papi Arga berada sedikit di belakang, namun wibawanya tetap memenuhi ruang. Reno berjalan di samping Langit sambil terus menatap layar laptopnya, memonitor grafik yang sudah hampir mencapai titik bahaya.
Dan ketika mereka berhenti tepat di depan ruang interview, aura seluruh lantai terasa berubah total. Reno mengetuk pelan— namun sebelum ada jawaban, Langit menekan gagangnya dan membuka pintu.
Pintu terbuka perlahan, menciptakan suara gesekan halus yang membuat semua kepala menoleh — kecuali satu. Pak Sofyan langsung berdiri. Pak Ardan berdiri. Ferdi yang wajahnya sudah penuh keringat berdiri dengan gerakan tertahan.
Hanya Embun yang tetap duduk — bukan karena tidak sopan, tetapi karena tangannya masih berada di atas keyboard, layar laptopnya masih menampilkan denyut biru Blue Star yang belum sepenuhnya berhenti bergerak.
Atmosfer ruangan membeku. Seolah waktu menahan napas.
Langit melangkah masuk terlebih dahulu, tubuhnya tegap, rahangnya mengeras, sorot matanya langsung menyapu ruangan seperti scanner yang menilai ancaman. Cahaya proyektor memantulkan warna biru ke wajahnya, membuatnya tampak lebih dingin, lebih fokus, dan lebih… berbahaya.
Namun, di detik berikutnya— tatapannya tertarik pada sesuatu.
Pada seseorang. Seorang perempuan muda… yang duduk tenang, dengan laptop di pangkuannya, rambutnya yang diikat kuda jatuh lembut di tengah bahu, wajahnya diterangi cahaya biru dari layar, dan sorot mata yang tidak panik sama sekali meski seluruh ruangan sedang kacau.
Langit sempat tersentak ketika melihat perempuan itu, ya, ia pernah melihat perempuan itu waktu ia dan kedua sahabatnya liburan dipuncak. Tapi sepertinya perempuan itu tidak mengenalinya.
Detik itu juga, mata Langit berhenti bergerak. Sejenak. Namun cukup lama untuk membuat dadanya terasa seperti dipukul diam-diam oleh sesuatu yang tidak ia duga.
Ada sesuatu pada cara perempuan itu duduk tegak, cara bahunya santai, cara jari-jarinya berada di dekat keyboard dengan percaya diri, dan—entah bagaimana—suatu energi halus yang terasa familiar meski ia tidak bisa mengingat dari mana.
Sementara itu…
Embun sebenarnya sedang fokus memantau Blue Star, mencoba memastikan bahwa virusnya tetap berada pada jalur simulasi terisolasi. Namun begitu pintu terbuka, suara gesekan kecil itu membuat telinganya menangkap kehadiran yang lebih berat dan tegas daripada langkah staf biasa.
Ia menoleh hanya sedikit—sekadar refleks. Dan ia melihat tiga pria masuk.
Yang pertama, seorang pria muda berwajah tegas, bahu lebar, memakai kemeja formal dengan aura yang langsung memotong udara ruangan. Sorot matanya tajam, langkahnya mantap, tubuhnya seperti garis tegas yang bergerak—sebuah visual yang membuat Embun tanpa sadar menahan napas sepersekian detik.
‘Ya Tuhan… siapa itu?’ pikirnya spontan.
Wajahnya seperti seseorang yang sering muncul dalam iklan korporat: bersih, tampan, berwibawa, namun membawa aura dingin yang memabukkan. Dan entah mengapa, tatapan pria itu terasa seperti magnet yang ditarik oleh sesuatu yang tidak ia pahami.
Saking terpukaunya, jantungnya sempat berdetak tidak sinkron.
Namun secepat ia menyadari dirinya sedang menatap, ia buru-buru mengalihkan pandangan ke layar laptop.
Tidak sopan menatap bos orang seintens itu. Dan ini bukan waktunya untuk terpikat laki-laki.
Embun menelan napas pelan, lalu mengarahkan pandangan ke Ferdi, membiarkan komentar sarkas naik ke permukaan sebelum orang-orang lain bicara.
Dengan suara lembut namun penuh ironi halus, ia berkata ke arah Ferdi, “Bagaimana, Bapak?”
Ia menutup sedikit layar laptopnya, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Sepertinya bantuan Bapak sudah datang.”
Satu kalimat. Tapi dampaknya— seperti jarum menusuk balon ego yang sudah kembung. Ferdi menegang. Pak Sofyan menatap meja. Pak Ardan hampir tersenyum.
Langit… masih menatap Embun.
Namun kini, setelah mendengar suaranya— seperti suara lembut yang baru semalam ia dengar selama hampir dua jam dalam telepon misterius—
dadanya merapat, napasnya seperti berhenti sesaat. ‘Itu… suaranya. Itu suara perempuan yang seri voice note dengannya, bahkan baru semalam mereka call-an… mirip, sangat mirip ‘
Namun ia belum berkata apa pun. Belum memastikan apa pun. Belum mengizinkan dirinya mempercayai firasat yang datang begitu tiba-tiba.
Sebaliknya, ia melangkah maju. Pelan. Namun penuh otoritas.
Papi Arga berdiri di belakangnya, menilai situasi dengan pandangan seorang veteran perang bisnis. Reno memegang laptopnya, menatap grafik Blue Star yang masih bergerak.
Dan di tengah ketegangan itu, Embun duduk paling tenang. Seolah ia bukan pelamar kerja.
Seolah ia bukan orang yang baru saja menantang sistem sebuah perusahaan raksasa.
**
Sementara itu di gedung Wiratama Law Firm lantai delapan, setelah hampir dua jam bersembunyi di ruangannya dan mencoba memaksa napasnya kembali stabil, Angkasa akhirnya mengumpulkan keberanian untuk keluar. Ia menatap pantulan dirinya di kaca samping—wajahnya sudah kembali datar, rahangnya sudah tegas seperti biasa, dan satu-satunya tanda kekacauan batinnya adalah telinga yang masih sedikit memerah. Ia menarik napas panjang, membuka pintu, dan keluar seolah tidak terjadi apa apa.
Di luar, Bia sedang duduk rapi, fokus menelaah berkas-berkas pertamanya di lantai delapan, tangan kirinya memegang pulpen stabilo sementara tangan kanan membalik halaman dengan hati-hati.
Angkasa berhenti, berdiri di samping mejanya.
Suara yang keluar… terlalu dalam, terlalu rendah, terlalu dikontrol, padahal isinya hanya hal sederhana:
“Bia… kamu bawa berkas PT Jaya Sentosa-nya?”
Bia mengangkat wajah, refleks. “Bawa, Pak,” jawabnya sopan, sambil memberikan berkas itu tanpa melihat tanda-tanda kegugupan di wajah Angkasa.
Padahal, di dalam kepala Angkasa— ‘Astaga… kenapa suaranya harus selembut itu waktu jawab? Ini cuma tanya dokumen loh. Cuma DOKUMEN. Kenapa tangan gue panas begini?!’
Ia hanya mengangguk kecil, pura-pura membaca halaman depan, lalu kembali melangkah masuk ke ruangannya.
Dan dari dalam ruangan itu, tembok tipis sekali pun tidak akan mampu menahan kebenaran kalau Angkasa Wiratama baru saja gugup gara-gara interaksi 8 detik dengan seorang perempuan.
Beberapa menit kemudian, Bia dipanggil masuk ke ruangan Angkasa untuk rapat kecil.
Di sana sudah ada Amar, asisten senior yang sudah bekerja dengan Angkasa dan Pak Dirga selama bertahun-tahun. Amar menyapa Bia dengan ramah, tapi matanya sempat melirik Angkasa yang… berbeda hari ini.
Ruangan Angkasa dipenuhi nuansa modern maskulin: dinding kaca, rak kayu dengan buku-buku hukum tata usaha negara, industrial law, ekonomi korporasi, dan jurnal internasional. Cahaya matahari pagi menyusup dari jendela lebar, menerangi meja besar tempat dokumen-dokumen kasus menumpuk rapi.
Angkasa duduk di ujung meja, Amar di sampingnya, sementara kursi untuk Bia berada hanya satu kursi jaraknya—cukup membuat jantung Angkasa menegang tanpa alasan logis.
Mereka mulai membedah kasus.
PT. Jaya Sentosa, sebuah perusahaan yang merugi miliaran karena keputusan investasi yang dilakukan tanpa kajian memadai. Kasus ini menguji penerapan Business Judgement Rule—apakah direksi dapat dibebaskan dari tanggung jawab pribadi karena keputusan bisnis yang ternyata gagal, atau apakah ada unsur kelalaian fatal yang membuat mereka tetap harus bertanggung jawab.
Bia membuka berkas, suaranya tenang namun analitis.
“Saya sudah susun rangkuman dokumen finansialnya, Pak. Dari laporan audit independen, terlihat bahwa keputusan investasi dilakukan tanpa due diligence yang layak. Tidak ada riset pasar, tidak ada uji valuasi, dan tidak ada analisis risiko. Ini berpotensi menjatuhkan mereka di luar perlindungan Business Judgement Rule.”
Amar menambahkan, “Betul. Dewan komisaris pun tidak menandatangani risalah rapat. Itu memperlemah.”
Angkasa mengetuk ujung penanya ke meja pelan, ekspresinya fokus—atau setidaknya, berusaha fokus, meski sesekali matanya bergerak ke arah samping, ke arah Bia.
Dia tidak bermaksud. Sumpah, dia tidak bermaksud.
Tapi gerakan tangan Bia saat membalik halaman, cara ia memiringkan kepalanya saat membaca, alisnya yang sedikit bertaut ketika sedang menganalisis sesuatu—semuanya seperti magnet yang terlalu kuat.
“Bia,” suara Angkasa terdengar lebih lembut dari biasanya, “pendapatmu mengenai apakah ini termasuk gross negligence?”
Bia menoleh. Dan saat itulah…
Tatapan mereka bertemu. Dan bukan tatapan singkat yang langsung berpindah. Tidak.
Bia mengangkat wajah pada saat yang sama Angkasa sedang mencuri pandang ke arahnya. Alhasil, mata mereka bertaut… beberapa detik lebih lama dari pantas untuk hubungan atasan dan bawahan.
Mata Bia membulat sedikit—kaget karena tidak menyangka Angkasa sedang melihatnya tepat pada detik ia menoleh.
Angkasa, di sisi lain, seperti kena sengatan listrik. Ia cepat-cepat menunduk, pura-pura kembali fokus pada kertas, seperti anak sekolah yang ketahuan mencuri pandang gurunya.
Amar… hanya menahan senyum sambil pura-pura sibuk mencatat.
Bia menelan ludah pelan. Ada sensasi aneh—hangat, sedikit membuat pipinya memanas, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan saat bekerja bersama para pengacara senior lain.
Ia mencoba mengabaikannya dan menjawab dengan profesional. “Menurut saya, Pak, ini bisa dikategorikan kelalaian berat. Direksi tidak hanya membuat keputusan bisnis yang buruk, tapi mengabaikan standar kehati-hatian yang seharusnya menjadi kewajiban minimal.”
Angkasa mengangguk, mencoba—dengan segala kemampuan dirinya—untuk terlihat biasa saja.
Padahal dadanya seperti dihantam palu.
‘Dia barusan lihat gue. Dan gue barusan… ngeliatin dia. Astaga. Fokus, Sa. Fokus… please.’
*
Rapat kecil itu akhirnya selesai setelah hampir satu jam diskusi intens. Amar merapikan lembar catatannya, mengikat ulang bundel dokumen dengan karet tebal, sementara Bia menutup map birunya perlahan—hati-hati, seperti seseorang yang sangat menghargai setiap lembar yang baru saja ia bahas.
Angkasa berdiri sedikit lebih cepat dari semua orang, seolah ingin mengambil alih suasana untuk menjaga agar tidak ada lagi momen memalukan seperti ketika ia dan Bia saling memergoki tatapannya. Tetapi gerakan cepatnya justru semakin mencuri perhatian Amar, yang selama rapat tadi sudah sempat memperhatikan betapa tidak biasanya Angkasa kehilangan fokus setiap kali Bia bersuara atau memiringkan wajahnya saat menelaah dokumen.
Begitu Bia menunduk mengambil pulpen yang sempat ia letakkan di sisi meja, Angkasa hampir menjatuhkan berkas di tangannya karena refleks ingin membantunya, sebelum ia sadar bahwa tidak ada yang jatuh dan ia sedang bertindak terlalu berlebihan. Ia mengalihkan tatapan ke jendela, menarik napas panjang dengan gaya paling tenang yang bisa ia buat, lalu berkata dengan nada yang lebih stabil daripada kondisi batinnya:
“Baik, kita lanjutkan analisis detailnya nanti sore. Amar, tolong siapkan draft timeline investigasinya. Bia, kamu buat rangkuman legal opinion-nya, lengkap dengan kemungkinan skenario pembelaan Business Judgement Rule.”
Bia mengangguk, suaranya selembut biasa namun kali ini wajahnya sedikit kemerahan karena ia cukup yakin tadi mereka sempat saling memandang terlalu lama untuk ukuran rapat profesional.
“Baik, Pak. Akan saya kerjakan.”
Ia merapikan mapnya, menutup laptop, dan bersiap keluar ruangan.
Amar, yang sejak tadi memerhatikan dinamika ini dengan ketajaman seorang asisten senior yang sudah hafal betul bahasa tubuh para petinggi, langsung memasang senyum kecil begitu pintu tertutup di belakang Bia.
Amar meletakkan dokumen di meja dan berdiri tegap, tetapi ekspresinya berubah menjadi penuh arti—campuran antara rasa geli, rasa penasaran, dan rasa ingin mengungkap rahasia kecil yang baru saja ia lihat berkembang di depan matanya.
“Pak…” suaranya berat, pelan, tapi cukup untuk membuat Angkasa berhenti mengatur berkas.
Angkasa mengangkat satu alis. “Apa lagi, Mar?”
Amar menyilangkan tangan dan bersandar sedikit ke meja.
“Tadi… presentasinya Bia bagus ya. Rapi. Jelas. Sangat detail. Dan…” Ia berhenti sebentar, pura-pura berpikir. “…kelihatannya Pak Angkasa sangat… memperhatikan.”
Angkasa langsung memutar mata. “Mar, jangan mulai.”
Tapi Amar bukan staf baru yang mudah disuruh diam. Ia sudah bekerja dengan Angkasa sejak lama, sudah tahu persis kapan bosnya ini gugup, kapan ia sedang tidak suka, dan kapan ia sedang mencoba mati-matian terlihat normal padahal pikirannya berantakan.
“Pak Angkasa bahkan sempat catat sesuatu padahal tadi Bapak lagi nggak pegang pulpen,” lanjut Amar pelan sambil tersenyum tipis.
Angkasa terdiam. Ia ingin menyangkal, tetapi memori itu terlalu jelas. Ia memang sempat menunduk, seolah mencatat, padahal pulpen tidak ada di tangan dan ia bahkan tidak ingat lagi isi kalimat yang sedang dibahas saat itu.
Amar menepuk bahunya pelan.
“Pak… hati-hati ya. Bia itu kerjaannya bagus, pintar, dan cepat tanggap. Tapi kalau Bapak terus-terusan ketahuan curi-curi pandang, nanti dia sadar.”
Angkasa menghela napas, panjang sekali. Ia mengambil gelas air yang tadi ia biarkan menyisakan setengah isinya, meminumnya dalam satu tegukan, lalu berkata datar:
“Gue gak curi-curi pandang.”
Amar menaikkan alis tinggi-tinggi, ekspresi yang jelas-jelas mengatakan yeah right dalam bahasa tubuh paling sopan.
“Tentu saja, Pak. Tentu saja bukan curi-curi pandang. Itu hanya… evaluasi visual atas performa staf, ya?”
Angkasa meletakkan gelas agak keras—tidak membanting, hanya sedikit lebih cepat dari normal.
“Mar…”
Amar hanya tertawa kecil. Tidak berlebihan, hanya cukup untuk membuat ruangan terasa lebih hangat.
“Baik, Pak. Saya keluar dulu. Mau susun timeline-nya.”
Ia berjalan menuju pintu, tapi sebelum keluar sepenuhnya, ia menoleh sambil menahan tawa untuk kedua kalinya.
“Oh iya, Pak… kalau nanti kerja bareng Bia lagi, coba jangan terlalu tegang. Dia bukan singa kok. Dia cuma… perempuan yang bikin Bapak gugup saja.”
Pintu menutup. Dan Angkasa memijit pangkal hidungnya dengan satu tangan.
‘Kenapa semua orang hari ini ngeliat gue kayak orang lagi jatuh cinta? Padahal gue cuma… menghargai kerja kerasnya. Iya. Menghargai. Udah itu aja.’
Tapi sayangnya, telinganya yang kembali memerah tidak mendukung pembelaan logis itu.
*
Di luar ruangan, Bia berjalan kembali ke meja barunya sambil menekan map ke dadanya—seperti seseorang yang sedang berusaha menenangkan deg-degannya sendiri. Ia belum paham betul apa yang ia rasakan; bukan jatuh cinta, bukan suka, hanya… ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang baru, sesuatu yang membuat pagi ini terasa lain daripada biasanya.
Ketika ia duduk, ia membuka laptop kembali dan mulai mengetik analisis untuk kasus PT Jaya Sentosa. Fokusnya sempat terpecah ketika ia mengingat momen dalam rapat, terutama saat ia menoleh dan… mendapati Angkasa sedang menatapnya.
Bukan tatapan menghakimi. Bukan tatapan menilai. Bukan tatapan bos terhadap bawahan.
Tatapan itu… lebih lembut dari yang pernah ia lihat sebelumnya. Hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat Bia merasakan sesuatu turun dari dadanya ke perut—sensasi seperti ditarik benang halus.
Ia berhenti mengetik sebentar, menatap layar, mencoba menepis pikiran itu.
‘Ah… mungkin kebetulan saja. Lagipula Pak Angkasa kan orangnya fokus. Mungkin dia sedang mendengar penjelasan aku. Itu saja. Tidak ada apa-apa.’
Ia menggeleng, mengembalikan konsentrasi pada laptopnya. Tentu saja ia memilih logika.
Karena ia tidak tahu bahwa di ruangan di belakangnya… ada seorang laki-laki yang menunduk di meja, memukul pelan dadanya sendiri sambil berpikir
‘Kenapa gue deg-degan cuma gara-gara dia tatap balik ke gue?!’
**
tbc