NovelToon NovelToon
Perempuan Kedua

Perempuan Kedua

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Nadhira ohyver

Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.

kisah ini diangkat dari kisah nyata.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 11 Babak Penentu: Ikrar dalam Kesunyian.

Dua hari terasa bagai kerlipan bintang. Malam sebelumnya, calon suami Maya, Riski, telah tiba setelah perjalanan darat yang melelahkan. Dia singgah di hotel, mempersiapkan diri untuk esok pagi, menikahi wanita yang dipilihnya melalui perantara: Maya.

Pagi Akad Nikah

Pukul 10.00 pagi. Rumah Wawa diselimuti keheningan yang mencekam, sarat akan kesakralan dan juga kesunyian. Aroma melati buatan samar tercium, berpadu dengan ketegangan di udara.

Di ruang tengah, Maya merias dirinya sendiri. Jemarinya bergetar saat mengaplikasikan riasan tipis, hadiah dari Wawa. Di tubuhnya, tersemat gaun syar'i  yang sederhana namun anggun, mahar yang kini menjadi nyata.

Ruangan dipisahkan oleh selembar kain pembatas. Di balik kain itu, di ruangan depan, Riski duduk tegap bersama para saksi, teman-teman suami Wawa, dan Pak Ustadz yang akan menjadi wali nikah wakil dari Papah Maya. Papah Maya tak bisa hadir; realitas jarak dan kehidupan yang terpisah menjadi penghalang. Sesuai syariat, dinding pembatas itu memastikan Riski tak bisa menatap Maya sebelum akad selesai.

Maya duduk bersimpuh di atas sajadah putih, diapit Wawa dan Hana yang setia. Jantung Maya berdetak kencang, suaranya bergemuruh di telinganya, menenggelamkan suara napasnya sendiri. Sebentar lagi, statusnya berubah. Namun, label "perempuan kedua" itu kembali menghantamnya, memancarkan keraguan yang dingin di tengah suasana sakral.

Wawa dan Hana menatap Maya dengan mata berkaca-kaca, air mata haru dan empati tumpah tanpa bisa dibendung. Genggaman mereka menguat di tangan Maya, seolah menyalurkan seluruh kekuatan yang mereka miliki. "Kamu kuat, May," bisik Hana, suaranya sarat makna.

Keheningan melanda saat prosesi dimulai di ruangan sebelah. Suara berat Pak Ustadz terdengar memecah keheningan:

"Saudara Riski bin..."

Waktu terasa berhenti. Setiap detik adalah perjuangan bagi Maya untuk tetap bernapas normal. Lalu, dengan lantang, suara Riski yang asing namun tegas itu mengikrarkan:

"Saya terima nikah dan kawinnya Maya binti [Ahmad] dengan mahar tersebut, tunai!"

Serentak, suara para saksi mengucapkan "Sah!"

Disusul kumandang doa, yang terdengar jelas memohon keberkahan. Tepat pada detik itu, status Maya resmi berubah. Dia adalah Nyonya Riski, Perempuan Kedua.

Air mata Maya tumpah ruah, membasahi pipinya. Tangisan itu bukan hanya karena bahagia, tapi karena rasa perih kesunyian. Di momen paling sakral dalam hidupnya, tak satu pun keluarga kandungnya hadir. Ia merasa terasing, sendirian di tengah keramaian orang asing. Tangisan itu adalah luapan dari segala kesedihan, kekhawatiran, dan juga penerimaan pahit akan takdir yang kini resmi ia sandang.

Wawa dan Hana bergantian mengucapkan selamat dan memeluk Maya, pelukan yang terasa seperti jangkar di tengah badai keraguan Maya. Air mata mereka tumpah bersama pelukan yang erat, saling membasahi pipi. Dari bibir keduanya muncul kata-kata yang menguatkan Maya, bisikan tentang kesabaran, keikhlasan, dan kekuatan yang harus ia gali dari dalam dirinya.

Setelah pelukan terlepas, Wawa menyeka air matanya dan mencoba mencairkan atmosfer yang penuh haru. "Kami ke belakang dulu, May. Suami kamu pasti sudah nggak sabar ingin bertemu langsung istrinya," ujarnya, diselingi nada godaan.

Pipi Maya yang tadi basah oleh air mata kini bersemu merah mendengar godaan itu. Hana pun ikut menimpali, menggoda Maya dengan senyum jahil. "Ingat, cium tangannya dulu, ya! Untuk yang lain tunda dulu," katanya, lalu tergelak ringan.

Setelah mengatakan hal itu, Hana dan Wawa berpamitan, langkah mereka menjauh diiringi tawa ringan yang memudar. Maya ditinggalkan sendirian dalam keheningan yang mencekam.

Kini, menyadari sebentar lagi suaminya—pria asing yang kini sah menjadi pendamping hidupnya—akan masuk ke ruangan itu, dada Maya berdebar kuat, seolah ingin meledak. Debaran itu bukan karena cinta yang menggebu, melainkan kecemasan yang mendalam, rasa takut akan ketidakpastian yang kini nyata di depan mata.

Tangan Maya berkeringat dingin, ia terus meremas-remas kedua tangannya, mencoba menenangkan diri dari badai di dalam dadanya. Di pikirannya, seribu satu pertanyaan mengganggu. Bagaimana jika setelah melihat langsung Maya, suaminya tidak menyukai Maya? Bagaimana jika riasan sederhananya, atau penampilannya, tidak sesuai dengan ekspektasi pria asing itu? Ada banyak pikiran yang mengganggu Maya, membuatnya semakin gugup menanti momen pertemuan pertama mereka sebagai suami-istri.

Maya menunggu beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam dalam kecemasan yang menyiksa. Detak jantungnya berirama tidak karuan, memenuhi keheningan ruangan.

Pikiran-pikiran berkecamuk di benaknya, campuran antara kegugupan, harapan, dan sedikit rasa tidak percaya bahwa momen yang telah lama ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, menyadari bahwa sebentar lagi, hidup akan terasa berbeda, penuh dengan babak baru yang menanti untuk dijelajahi bersama seseorang yang kini akan menjadi pendamping hidup.

Tepat saat ketegangan mencapai puncaknya, suara bariton yang terdengar asing di telinganya memecah keheningan. "Assalamualaikum, saya masuk ya."

Jantung Maya semakin berdebar-debar, seakan-akan ingin lepas dari tempatnya. Dia menunduk dalam-dalam, pandangannya terpaku pada ujung sajadah. Pintu terbuka, langkah kaki berat memasuki ruangan, dan Riski pun masuk, lalu duduk tepat di hadapan Maya, menciptakan jarak fisik yang terasa dekat, namun secara emosional masih terasing.

Dengan wajah yang masih tertunduk, penuh rasa hormat dan juga gugup, Maya memberanikan diri meraih tangan di hadapannya yang kini sudah sah sebagai suaminya. Dia mencium lembut tangan tersebut. Sebuah gestur kepatuhan dan penerimaan terhadap takdir barunya sebagai Nyonya Riski.

Setelah mencium tangan Riski, Maya masih menundukkan wajahnya, pipinya merona merah. Ada rasa malu bercampur dengan gugup sehingga Maya rasanya berat sekali untuk mengangkat wajahnya, menatap sosok asing yang kini menjadi nahkoda bahtera rumah tangganya.

Melihat hal tersebut, dengan gerakan lembut Riski mengangkat dagu Maya. Keduanya saling berpandangan sejenak. Mata mereka bertemu, dan jantung Maya berdebar-debar semakin kencang di bawah tatapan mata Riski yang tenang namun penuh arti. Rasa malu kembali menguasai, dan Maya kembali menundukkan wajahnya, menghindari kontak mata lebih jauh.

Riski tersenyum tipis melihat tingkah laku istrinya yang polos dan malu-malu itu.

"Sesaat lagi kita ke hotel ya," ujar Riski, suaranya lembut dan menenangkan. "Saya mau ngobrol sebentar dengan suami Wawa dan Pak Ustadz di depan."

Maya menatap sejenak Riski, lalu mengangguk, menyetujui rencana suaminya. Riski tersenyum lagi, lalu membelai lembut pucuk kepala Maya yang terbalut khimar syar'i, sebuah sentuhan pertama yang penuh kasih sayang, menegaskan status baru mereka sebagai suami istri.

Beberapa menit kemudian, saat Maya masih duduk sendirian dalam keheningan, memproses sentuhan lembut Riski di kepalanya, ia dikagetkan dengan suara notifikasi pesan masuk di ponselnya.

Maya menatap heran nomor baru yang mengirimi pesan untuknya. Penasaran, Maya pun membuka isi pesan tersebut, dan seketika pipinya kembali merona merah, dadanya berdesir.

[Dari Nomor Asing]:

Maya, saya sudah di mobil di luar. Jangan lupa pamitan dulu. Saya tunggu ya, sayang.

Sayang. Satu kata itu terasa begitu intim, menggetarkan hati Maya. Ternyata yang mengirimi pesan adalah Riski, suaminya. Entah darimana Riski mendapatkan nomor Maya, mungkin dari Umma Fatimah yang memintanya dari Wawa, pikir Maya.

Maya segera berdiri, memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dia melangkah ke arah dapur, di mana Wawa dan Hana sedang berbincang.

"Kak Wawa, Kak Hana, aku pamit dulu ya. Riski sudah menunggu di luar," ujar Maya, tersipu malu.

Mereka berdua tersenyum mengerti. "Hati-hati di jalan, Maya," pesan Hana. "Jangan lupa kabari kami kalau sudah sampai hotel!" tambah Wawa dengan nada menggoda.

Maya hanya mengangguk sambil tersenyum. Dia memeluk kedua sahabat barunya itu erat, mengucapkan terima kasih sekali lagi. Setelah berpamitan, Maya melangkah keluar rumah, menuju mobil di mana Riski, suaminya, menunggu.

Langkahnya terasa mantap, meski ada debar ketakutan. Babak baru kehidupannya sebagai Nyonya Riski, sang Perempuan Kedua, benar-benar dimulai. Gerbang takdir telah terbuka, dan Maya melangkah masuk, siap menghadapi segala risiko dan tantangan yang menanti.

Bersambung...

1
Arin
Kalau udah kayak gini mending kabur...... pergi. Daripada nambah ngenes
Eve_Lyn: setelah ini masih banyak lagi kisah maya yang bikin pembaca jadi gedeg wkwkwk
total 1 replies
Arin
Kalau rumah tangga dari awal sudah begini..... Apa yang di harapkan. Berumah tangga jadi kedua dan cuma jadi bayang-bayang. Cuma dibutuhkan saat suami butuh pelayanan batin baru baik......
Eve_Lyn: hehehe....banyak kak kisah-kisah istri yang demikian...cuma gak terekspos aja kan,,,kalo kita menilainya dari sudut pandang kita sendiri, ya kita bakalan bilang dia bego,bodoh, tolol, dan lain-lain hehehe...intinya gak bisa menyamaratakan semua hal dari sudut pandang kita aja sih gtu hehehe...awal juga aku ngerasa gtu,,, tapi setelah memahami lebih dalam, dalam melihat dari sudut pandang yang berbeda, kita jadi bisa sedikit lebih memahami, walawpn kenyataannya berbanding dengan emosinya kita...hihihihi...makasih yaa,kakak setia loh baca novelku yang ini hehehehe
total 1 replies
kasychan04-(≡^∇^≡)
MasyaAllah
kasychan04-(≡^∇^≡)
mampir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!