Suamiku Pria Lumpuh

Seperti perjanjian awal mereka bahwa ucapan yang dilontarkan Bagas, jangan sampai bocor kemana-mana. Syifa pun menurutinya, dan hanya bicara jika mereka sedang berdua di kamar.

Hari ini, tiba waktu untuk Syifa mengantarkan Bagas kontrol di Rumah sakit. Mereka pun berangkat hanya berdua dengan supir yang mengantarkan mereka.

"Pak Tomo, nanti tunggu aja di mobil ngga papa. Biar saya antar Mas Bagas kontrol."

"Baik, Non."

Dan ketika tiba, Pak Tomo pun hanya membantu untuk memindahkan Bagas di kursi rodanya.

"Maaf, Mas... Kakinya harus diiket. Takutnya kemana-mana malah bahaya." ucap Syifa, yang mengikat kaki suaminya dengan selendang miliknya.

Ia lalu mendorong Bagas masuk, dan menuju ruang pemeriksaan.

"Ifa..." panggil Amy, sahabatnya.

Syifa pun membalik badan, lalu membalas sapaan sahabatnya itu. Merek saling melepas rindu dengan pelukan, bahkan saling mengusap deraian air mata masing-masing.

"Maaf, waktu kamu nikah, aku ngga bisa temenin." sesal Amy, yang kala itu memang sedang pelatihan di luar kota.

"Ngga papa, cuma kerabat dekat aja yang dateng. Ngga ada pesta ataupun yang lain." ucap Syifa.

"Iya, aku tahu. Orang kamu nikahnya juga di ruangan Rumah sakit 'kan?"

Syifa pun mengangguk meng' iyakan.

Tak ingin membuat Bagas menunggu lama. Syifa mengakhiri obrolan mereka. Ia lalu membawa Bagas ke ruangan dokter Bobi untuk kontrol kondisi Bagas. Mereka tak perlu terlalu lama mengantri, karena sudah membuat jadwal sebelumnya.

Dokter Bobi mulai melakukan pemeriksaan. Dari ujung kepala sampai ujung kaki, Ia cek dan Ia rengsang respon motoriknya. Tak ad Sarupun yang terlewat, apalagi Bagas harus kembali menjalani rontgen dan pemeriksaan MRI.

"Antar ke ruang MRI ya, Fa." pinta sang dokter.

Syifa pun menurutinya, dan segera membawa Bagas kesana.

"Fa, MRI lagi?" tanya Bagas, lirih.

"Kan mau periksa lagi. Tulang belakang, tulang kaki, dan semuanya harus diperiksa ulang. Ada perubahan atau engga. Siapa tahu, dokter nemu sesuatu lagi."

"Apa?"

"Ya ngga tahu. Semoga aja, penemuan yang baik, yang bisa buat Mas sembuh."

"Masih ada harpan sembuh?" tanya Bagas, seolah telah pasrah dengan nasibnya.

"Pasti ada harapan, sekecil apapun itu. Ifa akan terus disamping Mas, sampai Mas sembuh. Itu 'kan janji Ifa sama Mama?"

"Kalau ngga pernah sembuh, Ifa ngga pernah pergi?"

"Ish, ngga mau sembuh apa?" celoteh Syifa.

Hati gadis itu berdebar begitu kuat, ketika mendengar suara Bagas yang serasa begitu merdu baginya. Menenangkan, dan berkarisma.

"Suaramu, mengingatkan aku pada seseorang, Mas." batin Syifa.

Mereka pun tiba di ruang yang mereka tuju.

"Permisi, saya mau MRI pasien atas nama Bagas."

"Rujukan Pak Bobi? Loh, Syifa?" kaget seorang rekan.

"Iya, mau kontrolin suamiku." jawab Syifa, malu-malu.

"Hah, kapan Nikahnya?"

"Heh, kerja... Ngga usah banyak nanya." tegur salah seorang teman padanya.

Memang pernikahan Syifa tak terlalu banyak yang faham. Beritanya pun masih simpang siur antara para rekan, apalagi yang berbeda jauh bidangnya dengan Syifa. Tapi, pada saat itulah Syifa tahu jika banyak yang perduli dan mampu membantunya menjelaskan dengan baik.

"Syifa itu, menikah karena mau merawat pasien itu. Dia begitu, supaya Ayah nya ngga dipenjara sama keluarga pasiennya. Karena nyaris menjadi tersangka utama kecelakaan itu."

"Lah, tapi ngga cinta."

"Ya, gimana. Siapa tahu kayak di dunia novel, yang lama-lama jadi cinta. Tapi, kayaknya mereka ngga saling benci tuh. Jadi, bukan ceritanya benci jadi cinta." canda mereka.

Syifa pun perlahan membantu Bagas membuka bajunya, lalu menggantinya dengan pakaian yang disiapkan petugas disana.

" Mas ngga risih, sama aku? "

" Kamu 'kan istriku. "

" Ya, dari sebelumnya juga, Mas maunya sama aku, kenapa?"

" Ada, alasanku sendiri, Fa. Dan tak ada, yang bisa selain kamu." ucap Bagas, dengan suara terbata-bata.

Masih begitu sulit untuk nya bericara dengan kosa kata yang begitu banyak. Sehingga Ia meminta Syifa agar sabar menunggunya hingga dapat berbincang sebagai mana mestinya.

"Kamu istriku, dan hanya kamu yang bisa menyentuhku." ucap Bagas.