"Memang ayah kamu gak ada kemana?" tanya Dira yang masih merasa janggal dengan apa yang dimaksud anak itu.
Divan berpikir. Sepertinya ia mencoba merangkai kata. "Kabul. Cali mama balu," jawab Divan. Kata itu ia dapatkan dari Melvi.
****
Bia gadis yatim piatu yang haus akan cinta. Dia menyerahkan segalanya untuk Dira, pria yang dia cintai sepenuh hati. Dari mulai cintanya sampai kehormatannya. Tapi Dira yang merupakan calon artis meminta putus demi karir, meninggalkannya sendirian dalam keadaan mengandung.
Demi si kecil yang ada di perutnya Bia bertahan. Memulai hidup baru dan berjuang sendirian. Semua membaik berjalannya waktu. Ia dan si kecil Divan menjalani hari demi hari dengan ceria. Bia tak peduli lagi dengan Dira yang wara wiri di televisi dengan pacar barunya.
Tapi rupanya takdir tak tinggal diam dan mempertemukan mereka kembali dalam kerumitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon elara-murako, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku gak suka kopi juga gak suka kamu
Dira duduk di kursi dekat dengan jendela. Ia melihat pemandangan jalan dan juga etalase-etalase toko di luar sana. Dulu saat SMA pemandangan bangunan tua seperti ini bukan hal yang aneh. Namun dalam tiga tahun ini ia biasa melihat bangunan modern yang tinggi dengan kaca-kaca datar yang lebar serta toko dengan pintu otomatis.
"Ini!" Bia memberikan segelas kopi yang ia simpan di atas meja dekat dengan Dira. "Buatkan satu lagi untukmu, kau pikir aku nyaman minum sendirian?" protes Dira.
Bia menggeleng. "Aku gak suka kopi, tahu sendiri," tolaknya. Ia duduk berhadapan dengan Dira. Pria itu memperhatikan tubuh Bia selama ia dari posisi berdiri hingga duduk lalu tersenyum kecil. "Apa?" tanya Bia heran.
"Sejak kapan tubuhmu kurus begitu?" tanya Dira baru sadar jika Bia kehilangan sepuluh kilo berat badan karena menghadapi kehidupan yang berat.
Bia mendengus. "Padahal kata temanku, ini ukuran tubuh yang pas, tahu!" protes Bia tidak terima dikatai kurus. Mungkin karena Dira lebih terbiasa melihat tubuh gemuknya. Padahal sejak kecil Bia itu langsing. Hanya di usia dua belas tahun, berat badannya mulai naik akibat malas bergerak dan senang jajan. Biasa masa remaja awal.
"Jadi kamu benar-benar berhenti kuliah?" tanya Dira memastikan lagi. Bia mengangguk. "Kapan Tante meninggal?" tanya Dira mencoba merunut kisah yang sempat ia lewati.
"Tiga tahun lalu. Kena serangan jantung. Tante langsung meninggal di tempat. Umur orang memang tidak ada yang tahu," ucap Bia. Namun dari sudut matanya ia seperti berharap yang mati adalah manusia yang kini duduk di hadapannya.
Dira menyeruput kopi yang Bia sediakan. "Kuliah lagi. Biar aku yang bayar semuanya," saran Dira.
Sudut bibir Bia tersungging. "Bagaimana kalau kamu bayar harga keperawananku, harga meminjam rahimku, biaya melahirkan dan biaya mengurus anak? Itu sama sekali tidak setimpal dengan biaya kuliah," batin Bia.
Dengan tegas Bia menggeleng. "Aku sudah besar. Aku bisa menuntaskan masalahku sendiri," tolaknya. Ia harap Dira mengerti jika ia tidak ingin terlibat dengan Dira lagi. Secuilpun tidak akan Bia terima karena itu sama saja dengan menganggap rendah harga dirinya.
"Kau punya pacar?" tanya Dira membuat Bia tertegun. Gadis itu menggeleng. "Kenapa?" tanyanya lagi. Sungguh pertanyaan yang bodoh dan sama sekali tidak pantas ditanyakan pada wanita yang pernah menjadi budak nafsumu.
"Kamu bicara seolah kita ada di usia darurat menikah saja. Baru juga dua puluh satu tahun, orang lain masih main-main di playground di usia ini," ucap Bia enteng.
Dira tertawa. "Berarti kita lain, aku malah ingin menikah muda dan cepat punya anak," ucapnya. Bia melenguh. Kamu ingin menikahi wanita lain dan membangun rumah tangga dengannya serta memiliki keluarga. Di satu sisi ada seorang ibu dan anak yang tidak kamu berikan status. Sungguh ironi hidupmu, Dira Gavin Kenan.
Perbincangan hari itu Bia lewati dengan sukses. Sama sekali ia tidak menarik rasa penasaran Dira. Bahkan dibanding jiwa yang marah, Bia malah lebih terlihat seperti jiwa yang ikhlas. Jangan sebut dia bodoh, dia hanya melindungi apa yang harus menjadi haknya. Dira mendapat kehidupan baru dan Bia berhak mendapat Divan. Cukup, itu saja.
"Aku pergi," pamit Dira setelah membayar roti pesanan dan bertukar nomor ponsel dengan Bia. Pria itu berjalan ke luar dari toko. Dari kaca jendela besar di depan meja kasir, Bia masih bisa melihat punggungnya yang meninggalkan Bia. Punggung yang sama yang terakhir ia lihat di bandara sebelum Dira pergi ke Heren. Punggung yang dulu menjadi tempat Bia bersandar jika terluka, kini terlihat jauh lebih lebar dan lebih kokoh dibandingkan tiga tahun yang lalu. Sayang, kini perempuan yang bisa bersandar di sana bukanlah Bia.
🌿🌿🌿
LANJUT NANTI SIANG YA 😍😉
SUDAH BANTU SHARE GAK BIAR NAMBAH PASUKAN PEMBACA?