Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Pertama
Anna datang terlalu pagi, bahkan untuk ukuran lantai eksekutif yang biasanya baru hidup sekitar pukul delapan. Ketika ia mendorong pintu kaca besar itu, dingin AC yang belum bekerja sepenuhnya menyentuh kulitnya. Ia memegangi strap tasnya erat-erat, menahan degup jantung yang tidak kunjung stabil sejak semalam. Hari ini adalah hari pertama. Hari yang menentukan. Hari yang mungkin saja menjadi hari terakhirnya jika benar perkiraan Gema tentang karakter Liam.
Langkah Anna bergema di lantai marmer yang mengkilap. Tidak ada siapa-siapa kecuali petugas kebersihan yang sedang membersihkan pojok dekat pantry. Lampu-lampu corridor masih setengah redup, mode hemat energi sebelum karyawan datang. Ia berhenti sejenak, mengatur napas dalam, mencoba menenangkan diri. Namun sebelum ia sempat menyesuaikan ritme, ia melihat pintu ruang CEO terbuka sedikit. Hanya sedikit, tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa seseorang ada di dalam.
Liam.
Ia sudah datang.
Lagi-lagi lebih cepat dari siapa pun.
Anna mendekat perlahan, mengetuk pintu pelan. “Selamat pagi, Pak.”
Tidak ada jawaban selama beberapa detik. Kemudian suara berat Liam terdengar tanpa ia memalingkan wajah dari jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota.
“Kamu terlambat.”
Anna menatap jam tangannya refleks. 06.05.
Ia hampir ingin memastikan ulang apakah jamnya benar.
“Maaf, Pak. Saya datang—”
“Saya tidak membahas jam kantor.”
Suara itu memotong kalimatnya seperti pisau dingin.
“Jika kamu ingin bertahan, kamu datang sebelum saya membutuhkan kamu. Bukan setelah saya menunggu.”
Anna menunduk sopan. “Baik, Pak. Saya mengerti.”
Liam akhirnya menoleh. Tatapannya tajam, dingin, menghitung, menilai. Seolah sedang mempelajari seorang musuh yang kebetulan datang dengan ekspresi sopan.
“Letakkan dokumen itu di meja saya. Setelah itu siapkan presentasi revisi rapat pagi.”
Anna menelan ludah. “Yang revisi terbaru, Pak? Yang—”
“Yang belum saya berikan,” jawab Liam, masih dengan wajah datar.
Anna menatapnya sekejap. “Jadi saya harus membuat dari awal, Pak?”
“Kecuali kamu memiliki kemampuan membaca pikiran saya, ya.”
Tidak ada jeda. Tidak ada ruang. Tidak ada tone bercanda. Liam benar-benar serius.
Anna hanya menunduk sekali lagi dan keluar, menutup pintu perlahan.
Pagi itu bahkan belum resmi dimulai, tetapi rasanya seperti sudah melewati empat jam badai.
⸻
Di meja kecil dekat pintu ruang CEO, Anna membuka laptopnya dan menelusuri email Liam. Ia menemukan puluhan file yang tidak teratur, sebagian bahkan tidak memiliki judul yang bisa dipahami manusia.
Ia memijat pelipisnya. Jadi beginilah pekerjaan sekretaris pribadi seorang CEO. Menyusun apa yang bahkan pemilik dokumennya sendiri tidak berusaha menyusun.
Baru setengah jam bekerja, Gema lewat sambil membawa dua gelas kopi.
“Kamu oke?” tanyanya, suaranya menurun setengah oktaf, tahu betul ini hari yang berat.
Anna tersenyum tipis, meski matanya belum terlalu meyakinkan. “Masih belajar ritme, Pak.”
“Dia sengaja bikin kamu kelimpungan,” gumam Gema. “Jangan kaget. Tapi kamu pasti bisa, saya yakin.”
Anna hanya mengangguk. Ia tidak mau memulai hari pertama dengan mengeluh.
⸻
Pukul delapan lewat sedikit, ia berhasil mengumpulkan data yang relevan dari tiga divisi. Progresnya bagus, meski dadanya masih sesak oleh tensi dari ruangan sebelah. Namun belum lama ia merasa sedikit lega, interkom di meja kecilnya berbunyi.
Suaranya dingin.
“Ke ruangan saya.”
Anna masuk dengan map di tangan. Liam tidak melihat ke arah pintu, hanya meletakkan setumpuk tebal dokumen di tepi meja.
“Ini untuk rapat vendor jam dua. Rangkumnya. Semua poin penting. Ringkas. Jelas.”
“Baik, Pak.”
“Dan satu lagi.” Liam menatapnya dari balik laptop, tatapan yang membuat jantung Anna seperti berhenti sedetik.
“Jangan tanyakan detail apa pun. Sekretaris saya sebelumnya bisa melakukannya tanpa saya jelaskan. Kalau kamu tidak mampu, katakan dari awal.”
Napas Anna menahan ragu sejenak, namun ia menegakan bahu pelan. “Saya akan selesaikan, Pak.”
Liam kembali bekerja. Itu berarti percakapan selesai.
Anna keluar dengan tumpukan dokumen yang berat dan daftar tugas yang semakin panjang. Presentasi belum selesai, rangkuman vendor harus lengkap, dan jam sembilan rapat dimulai.
Ia segera berlari kecil kembali ke meja, jari-jarinya langsung sibuk mengetik.
⸻
Pukul sembilan, ia memasuki ruang rapat dengan degup tak stabil. Semua manajer sudah duduk. Presentasinya tampil di layar dan Anna berdiri di belakang para manajer, memegang laptop seandainya ia harus mengganti slide manual.
Slide demi slide berjalan. Beberapa manajer mengangguk. Gema terlihat bangga. Bahkan salah satu manajer operasional berbisik, “Ini rapi sekali. Siapa yang bikin?”
Namun Liam hanya duduk dengan wajah netral. Tidak ada sedikit pun reaksi. Tidak ada satu kata pujian.
Ketika salah satu manajer berkomentar, “Slide ini sangat informatif—”
Liam hanya menjawab pendek, “Itu standar minimal.”
Dan rapat berlanjut.
Tidak ada yang tahu, tetapi Anna mendengar jelas bagaimana jantungnya sedikit retak saat itu.
⸻
Saat jam makan siang tiba, Anna baru saja berdiri dari kursi ketika telepon meja berbunyi.
“Kamu bisa ke ruangan saya?”
Anna masuk.
“Buatkan tiga versi draft surat untuk investor. Nada berbeda. Saya ingin semuanya selesai sebelum saya kembali dari makan siang.”
Anna ingin bertanya jam berapa beliau kembali, tapi ia tahu Liam tidak suka itu.
“Baik, Pak.”
“Oh, dan kamu belum boleh makan siang. Fokus saja pada ini.”
Seperti itu. Sederhana. Seolah tubuh manusia tidak membutuhkan energi.
Tapi Anna hanya mengangguk, kembali ke meja, membuka dokumen kosong, dan mulai mengetik tanpa keluh.
⸻
Jelang sore, Liam memanggilnya lagi.
“Draft nomor dua ini apa?” tanyanya tanpa menyembunyikan ketidaksenangan.
“Itu versi dengan penekanan stabilitas jangka panjang, Pak.”
“Terlalu panjang. Investor bukan murid SD. Ulangi.”
“Baik, Pak.”
“Dan rangkuman vendor sudah selesai?”
Anna diam setengah detik. Salah satu kesalahan terbesar di hadapan Liam.
“Belum seluruhnya, Pak. Banyak poin yang harus saya—”
“Kamu tertinggal di hari pertama?” Nada suaranya menusuk. “Kalau seperti ini, kamu tidak akan bertahan dua hari.”
Anna tidak membalas. Ia tahu setiap kalimat hanya akan memperburuk situasi.
“Baik, Pak. Saya akan percepat.”
⸻
Waktu menunjukkan pukul delapan malam ketika lantai eksekutif sudah kosong total. Gema pulang setelah memastikan Anna baik-baik saja, namun Anna sendiri masih di sana, duduk tegak, menatap dokumen vendor yang terasa tak habis-habis.
Jam sembilan malam, ia sudah menguap lima kali. Jam sepuluh, ia merasakan punggungnya mulai nyeri. Jam sebelas lewat, ia masih menatap layar dengan mata setengah perih. Tapi tangannya tidak berhenti bergerak.
Ia tidak mau menyerah.
Ia tidak mau pulang dengan kekalahan.
Pukul 23.56, ia mengetuk pintu ruangan Liam lagi.
“Pak, rangkuman vendor sudah selesai.”
Liam menerima map itu, membuka satu halaman, kemudian menutupnya kembali.
“Taruh di meja saya. Besok kita lihat apakah ini bisa diterima.”
Hanya itu.
Tidak lebih.
Tidak kurang.
Anna menunduk. “Baik, Pak. Saya pamit pulang.”
Ketika pintu lift menutup, ia akhirnya menarik napas yang selama ini ia tahan. Matanya perih, tubuhnya lelah, otaknya penuh.
Tapi hati kecilnya berkata satu hal:
Ia tidak tumbang.
Ia melewati hari pertama.
Dan itu cukup.
Untuk saat ini.