Original Story by : Chiknuggies (Hak cipta dilindungi undang-undang)
Aku pernah menemukan cinta sejati, hanya saja . . . Arta, (pria yang aku kenal saat itu) memutuskan untuk menjalin kasih dengan wanita lain.
Beberapa hari yang lalu dia kembali kepadaku, datang bersama kenangan yang aku tahu bahwa, itu adalah kenangan pahit.
Sungguh lucu memang, mengetahui Arta dengan sadarnya, mempermainkan hatiku naik dan turun. Dia datang ketika aku berjuang keras untuk melupakannya.
Bak layangan yang asyik dikendalikan, membuat aku saat ini tenggelam dalam dilema.
Hati ini. . . sulit menterjemahkan Arta sebagai, kerinduan atau tanda bahaya.
°°°°°°
Airin, wanita dengan senyuman yang menyembunyikan luka. Setiap cinta yang ia beri, berakhir dengan pengkhianatan.
Dalam kesendirian, ia mencari kekuatan untuk bangkit, berharap suatu hari menemukan cinta yang setia. Namun, di setiap malam yang sunyi, kenangan pahit kembali menghantui. Hatinya yang rapuh terus berjuang melawan bayang masalalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chiknuggies, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Hai aku Airin Putri Rahantya (Rin). Tidak banyak yang dapat kukenalkan selain, aku yang kini berada diumur 20-an dengan pekerjaan sebagai cashier, di restoran kecil bernama "OISHI KA?".
Aku tumbuh dari seorang ibu bernama Rahantya, ibu yang tangguh menghidupi anak tunggal nya ini tanpa figur seorang suami. Ayah memilih pergi meninggalkan ibu ketika aku masih berada di dalam kandungan.
Segala macam pekerjaan ia geluti demi mengisi perut mungil ku yang sering merengek ini, dari menjual makanan keliling, hingga mencuci baju tetangga pun ia lakoni meski upah yang ia dapat tidak seberapa.
Hingga ketika aku lulus dari SMA, pandangan yang tidak dapat ku jelaskan terpancar dari mata ibu. Saat itu aku pulang kerumah membawa ijazah yang tak pernah ragu kami perjuangkan bersama.
Ibu menjawab salam ku dan membukakan pintu dengan wajah haru, memandangku dari ujung kaki hingga kepala. Dapat ku lihat dari mengintip pintu, telah tersaji berbagai hidangan yang menurutku mewah, sudah tersusun rapih di meja ruang tamu.
"Ibu? Ini nggak, kebanyakan?" Tanya ku yang sedikit terkejut, sembari berjalan ke arah prasmanan kecil karya ibu.
Ibu hanya tersenyum, sepertinya sedang menghindari berbicara kepadaku, takut-takut kalau seluruh air mata bahagia yang ia tahan akan langsung membanjiri pipinya bila berbicara denganku.
Oh iya, mungkin sedikit berlebihan, tetapi apa kalian juga sering mendengar kata "maaf" dari mulut ibu kalian sepertiku? Jika iya, mungkin kita satu frekuensi.
Bagi kalian yang tidak merasakannya, lebih baik jangan. Dahulu, aku tidak begitu paham maksud dari permintaan maaf ibu. Hingga seiring kami tumbuh bersama, ibu baru berani menjelaskan arti dari kata maaf yang sering keluar dari mulutnya.
"Rin, ibu minta maaf kalau selama ini kamu harus tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Ibu juga minta maaf bila kamu tidak mendapatkan cinta pertama mu dari seorang ayah. Sekarang kamu sudah besar, kamu harus pandai memasak, juga mengatur keperluan rumah karena itulah tugas seorang ibu. Dan kelak nanti, kamu juga akan menjadi ibu seperti aku, jadi kamu harus menjaga keutuhan keluarga agar anak mu nanti tidak merasakan apa yang kamu rasa sejak dahulu." Jelas ibu yang menitipkan pesan kepada ku, sebelum aku memutuskan keluar dari rumah untuk mencari pekerjaan di luar kota.
Dan entah sampai kapan aku akan terus berlari dari tangkapan langit, dengan cara terus mencoba tidak terima akan takdir yang telah tuhan berikan kepadaku. Kurang bijak memang bila berfikir demikian, namun aku letih... Terus dibayangi oleh masa lalu dan di sudutkan kenyataan bahwa diumur sekarang ini, aku belum bisa membahagiakan siapapun.
°°°°°
"Rin-rin?" Panggil Ruel yang bingung melihatku melamun di tengah- tengah jam kerja, rupanya di depan ku sekarang terdapat pelangan yang ingin membayar.
Aku segera tersadar dari lamunan. "Eh! Iya, silahkan bapak." Lalu lanjut melayani pelanggan.
Di OISHI KA ada tiga pekerja termasuk aku. Aku sebagai kasir dengan tugas menerima pesanan berikut pembayaran, Ruel sebagai pramusaji menyajikan makanan juga merapikan meja, dan yang terakhir Sandi juru masak yang di percayakan secara penuh menjadi leader kami.
"San-san!! Kata Rin-rin, shoyu ramen nya dua ya!" Teriak Ruel ceria seperti biasanya kepada Sandi.
Aku menarik kerah baju Ruel akibat jengkel atas energi lebih yang ia miliki, "Gak usah pake kata rin-rin bisa nggak??".
"Heheng~ iya Rin-rin, el nggak ulangin lagi."
Ruel, ia memang selalu terlihat ceria sepanjang waktu, dengan sifat nya yang kekanak-kanakan, di dukung oleh tubuh nya yang tidak terlalu tinggi, ia mudah menarik hati pelanggan dengan daya tariknya. Meski dengan tingkah juga parasnya itu, ia lahir di tahun yang sama denganku.
"El... Hari ini, kamu ada acara?" Tanya ku ragu-ragu dari belakang counter pembayaran.
"!? Aku? Nggak kok, emang kenapah? Rin-rin pasti mau ajak Ruel main ya." Ia merespon sumringah sambil menggenggam lap meja dengan kedua tangga nya.
Aku menghela nafas kepada Ruel yang ceplas-ceplos kepada hatinya yang peka. Aku yang tidak bisa berdalih, mengajaknya secara terang-terangan untuk menemaniku di rumah malam ini. Mungkin hanya sekedar menonton, lalu kalau boleh.. aku ingin bercerita- atau lebih tepatnya aku ingin mengadu.
Waktu menunjukkan pukul 20:30 kami memutuskan untuk merapikan seisi resto, karena jam tutup di tempat kami ialah pukul 21:00. Berhubung besok hari senin yang adalah jatah libur dari resto ini, kami bertiga tidak ingin menyia-nyiakan waktu untuk segera menikmati indahnya beristirahat.
Aku mengusap keringat yang tanpa henti menetes di kening "San? Lu mau gw bantuin gak di dapur? Biar bisa langsung pulang." Teriakku setelah selesai merapikan bagian depan resto.
"Saya masih ada lembur untuk menyiapkan bumbu, kalian kalau sudah selesai tinggalkan saja kuncinya di meja kasir." Jawab Sandi dengan logat formalnya yang sedikit mengganggu.
Ruel menghampiriku dengan jaket yang sudah terpasang, menandakan bahwa ia siap untuk segera pulang. "Rin-rin, ayo pulang." Ajak nya kepadaku sambil menarik lengan terburu-buru.
"Loh, itu si Sandi nggak apa-apa El?" Tanyaku kepada Ruel yang terlihat mendesakku dengan tatapannya.
"Tadi kata San-san dia cuma numis bumbu aja bentar kok abis itu pulang, biar lusa tinggal masak aja katanya." Terus menarik lenganku semakin kuat.
Dengan berat hati juga penuh keraguan, ku letakkan kunci di atas meja kasir untuk di berikan kepada Sandi. "San, gw tinggalin kunci di sini ya!" Nadaku tinggi setengah khawatir. Sandi membalas seadanya bersamaan dengan Ruel yang ikut pamit pulang bersamaku.