Anara Bella seorang gadis yang mandiri dan baik hati. Ia tak sengaja di pertemukan dengan seorang pria amnesia yang tengah mengalami kecelakaan, pertemuan itu malah menghantarkan mereka pada suatu ikatan pernikahan yang tidak terduga. Mereka mulai membangun kehidupan bersama, dan Anara mulai mengembangkan perasaan cinta terhadap Alvian.
Di saat rasa cinta tumbuh di hati keduanya, pria itu mengalami kejadian yang membuat ingatan aslinya kembali, melupakan ingatan indah kebersamaannya dengan Anara dan hanya sedikit menyisakan kebencian untuk gadis itu.
Bagaimana bisa ada rasa benci?
Akankah Anara memperjuangkan cintanya?
Berhasil atau berakhir!
Mari kita lanjutkan cerita ini untuk menemukan jawabannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama eNdut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjelasan
Nara menyalami Pakde dan Budenya secara bergantian, saling bertanya kabar dan berbicang ringan. Sebenarnya mereka sangat penasaran dengan cerita Nara namun mereka memilih diam dan menunggu Nara untuk memulainya sendiri. Setelahnya mereka berpindah ke ruang makan di mana beberapa menu makanan sudah tersaji di atas meja.
“Wah, masakan kesukaan Nara, Bu”, ucap Nara dengan mata yang berbinar saat melihat ayam goreng, sambal tomat, lalapan serta terong goreng kesukaannya.
“Iya, tadi Ibu di bantu oleh Ami menyiapkan makanan ini Nar”.
“Uh, kamu memang adikku yang paling cantik”, ucap Nara seraya memeluk gemas adik sepupunya yang kini duduk di sebelahnya.
“Ah ah ah, lepas kau menyakitiku Mbak, dasar hulk”.
“Hulk cantik”, balas Nara dengan gaya genit, sementara itu Ami hanya menaggapinya dengan memanyunkan bibirnya.
“Sudah-sudah kalian ini, ayo ambil makanan kalian dan makan”.
Kedua keluarga itu menikmati makan malamnya dengan suka, sesekali mengobrolkan tentang tanaman dan persawahan begitupun dengan Ami yang membicarakan kegiatan sekolahnya yang semakin padat. Tentu saja dalam obrolan itu Amilah yang paling crewet. Sementara Nara hanya menyimak dan sesekali menanggapinya dengan senyuman.
Suara gemericik air serta piring yang saling bersentuhan mengakhiri makan malam mereka, Nara dan Ami sibuk mencuci piring sementara yang lainnya berada di ruang tamu sembari menyaksikan acara pertandingan voli di televisi.
“Bikin apa kamu Mi?”, tanya Nara yang tengah mengelap tangannya yang basah dengan kain kering yang menggantung di sebelah wastafel.
“He he he, bikin sirup Mbak, mumpung Bapak enggak tau”.
“Sedikit saja dan ingat jangan terlalu manis, banyakin air putihnya”.
“Iya iya Mbak, aku mengerti. Mbak Nara ini kalua udah ngomong mirip banget sama Bapak, tidak boleh ini, tidak boleh itu, bla bla bla”.
Nara tersenyum mendengar omelan Ami, gadis itu selalu menggerutu setiap kali di nasehati. Kedua orang tua Ami memang mewanti-wanti Ami untuk tidak mengonsumsi minuman ataupun makanan yang terlampau manis, apalagi mengingat riwayat kesehatan Ibu Ami yang rentan diabetes. Penyakit tersebut merupakan faktor turunan dari nenek Ami yang meninggal akibat komplikasi yang di sebabkan diabetes. Itu sebabnya keluarga Ami termasuk dengan Nara yang juga mengetahui hal itu tidak lelah untuk mengingatkan Ami. Di samping itu Ami yang memang sudah bisa berpikir dewasa juga sedikit demi sedikit menjaga pola makannya walaupun kadang ia sering tergoda saat melihat teman-temannya memakan makanan manis dan berakhir ikut menikmatinya.
“Apa semuanya sudah selesai Nar?”, tanya Bu Murni saat melihat Nara dan juga Ami tiba di ruang tamu.
Nara mengangguk sembari duduk di kursi dekat dengan Ibu serta Budenya, sementara Ami memilih duduk lesehan bersama dengan Abas yang tengah tiduran dengan toples berisi keripik pisang yang membuat mulutnya tidak berhenti mengunyah.
“Ibuk, Pakde dan semuanya yang ada disini, Nara ingin bicara”.
Mendengar perkataan Nara, sontak semuanya menoleh dan menjadiakan Nara sebagai focus mereka saat ini. Melihat Nara yang terlihat ragu Abas mengegser duduknya mendekat kearah gadis itu.
“Katakan saja Nar, jikapun semua yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang kami harapkan, kami akan mencoba menerimanya, kita itu keluarga tidak mungkin kami akan menghakimimu”, ucap Abas sembari menepuk pelan pundak Nara, memberikan semangat untuk Nara, mencoba meyakinkan Nara jika semua akan baik-baik saja. Dan ucapan itu di angguki oleh yang lainnya.
Namun baru saja Nara hendak bicara sebuah seruan dari luar mengalihkan perhatian mereka, Bu Yati salah satu tetangga Nara yang terkenal sebagai warga ternyinyir di kampung tersebut datang dengan kertas undangan di tangannya.
“Loh Nara datang, kapan pulang Nar?”.
“Tadi sore Bu Yati”.
Bu Yati menganggukkan kepala, namun kepalanya tak berhenti celingukan kesana kemari seperti ada sesuatu yang di carinya. Melihat itu Ami hanya berdecih karena ia memang sudah hafal dengan sikap kepo tetangganya itu.
“Bu Yati maaf, sebenarnya ada apa tumben malam-malam begini kemari?”, tanya Bu Murni yang mulai risih melihat sikap Bu Yati.
“Oh ini Bu, saya mau mengantarkan undangan ini untuk Bu Murni dan Pak Darno”.
Pak Darno alias Bapak dari Ami itu mengambil undangan yang di sodorkan oleh Bu Yati lantas memberikannya satu kepada Ibu Aya.
“Terimaksih Bu”.
“Iya iya. Em ngomong-ngomong kamu pulang sendiri Nar?”, ucap Bu Yati menyelidik.
“Iyalah pulang sendiri memang mau sama siapa? Cha Eun Woo!”. Bukan Nara yang menjawab melainkan Ami yang sudah merasa kesal.
“Jadi nama suamimu Woo Woo, Nar?”. Bukannya mengerti atas sikap kesal Ami, Bu Yati yang memang dasarnya tidak mahu tahu malah mengira jika Cha eun Woo adalah nama dari suami Nara.
“Suami, suami. Suami apa to Bu Yati mbok ya kalau ngomong itu di pikir dulu”.
“Lah memang benar to? Memangnya kabar itu tidak benar, iya begitu Nak Nara?”.
Abas hendak berdiri dan mengusir Bu yati namun niatnya itu ia urungkan karena Nara menarik tangan serta menggelengkan kepalanya.
“Kabar itu memang benar adanya, aku sudah menikah”. Ucapan Nara cukup mengejutkan semuanya. Gadis itu beralih menatap dalam mata Ibunya yang kini juga menatapnya dengan mata merah berkaca-kaca, namun ia tidak cukup berani untuk menatapnya terlalu lama hingga akhirnya ia menunduukkan kepalanya.
“Kabar mengenai pernikahan itu benar Bu, namun yang pasti pernikahan itu terjadi karena kesalahpahaman. Nara tidak berbuat yang tidak-tidak Bu, Nara juga tidak berzina. Nara mohon Ibu percaya sama aku ya. Maafkan Nara Bu".
Nara meraih tangan Bu Murni dan menciumnya. Takut, dia benar-benar takut Ibunya marah. Tak mendapatkan respon dari sang Ibu, Nara lantas memberanikan diri untuk menegakkan kepalanya, di lihatnya wajah sang Ibu yang kini penuh dengan lelehan air mata.
“Ibu menangis, Ibuk maafin aku, Nara memang anak yang tidak berguna, Nara sudah mngecewakan Ibuk”.
Bu Murni menggerakkan tangannya, mengelus pelan pucuk kepala Nara.
“Ibu memang kecewa nak, tetapi yang lebih membuat Ibu sedih karena kamu tidak menceritakannya sejak awal. Bagimana kamu melewati ini semua? Kamu menghadapinya sendiri pasti itu sangat berat”.
“Ibu…”.
Ibu Ami mengelus pundak Bu Murni sementara Ami memeluk Nara dari belakang, semuanya terbuai susana sedih dan haru dari pasangan Ibu dan anak tersebut, namun tidak dengan Bu Yati yang malah menanyakan keberadaan suami Nara. Dia tidak bisa menahan kekepoannya lebih lama.
Abas yang mendengarnya segera meminta Bu Yati untuk pergi karena masalah ini adalah masalah keluarganya dan bukan bahan konsumsi para tetangga. Mau tak mau Bu yati akhirnya pergi dengan perasaan kesal karena bahan gibah untuk esok tidak semuanya ia dapatkan.
Setelah Bu Yati pergi, suasana di rumah kembali tenang. Nara masih memeluk Ibunya, menangis dan meminta maaf. Bu Murni memeluk Nara erat, menenangkan dan menghiburnya.
"Ibu tidak marah, Nak. Ibu hanya sedih karena kamu tidak berbagi dengan Ibu. Tapi sekarang Ibu sudah tahu, dan Ibu akan selalu mendukungmu."
Nara mengangguk, masih menangis. Ia merasa lega karena Ibunya tidak marah. Ami masih memeluk Nara dari belakang, memberikan dukungan dan kasih sayang. Abas dan Ibu Ami duduk di sebelah mereka, memberikan ruang bagi Nara dan Ibunya untuk berbicara dan menyelesaikan masalah mereka. Setelah beberapa saat, Nara berhenti menangis dan memisahkan diri dari Ibunya. Ia memandang wajah Ibunya yang masih basah oleh air mata. "Ibu, Nara ingin menceritakan semuanya. Nara ingin Ibu tahu apa yang sebenarnya terjadi." Bu Murni mengangguk, menunjukkan bahwa ia siap mendengarkan. Nara mengambil napas dalam, memulai ceritanya tentang pernikahannya dengan Vian.